Para pemuda saat itu juga memantapkan keyakinannya bahwa dasar persatuan Indonesia itu akan diperkuat dengan; kemauan, sejarah, Bahasa, hukum adat, pendidikan dan kepanduan. Hukum adat adalah satu dasar yang diyakini pemuda kala itu untuk memperkuat persatuan bangsa.
Di pihak lain, Presiden Joko Widodo dalam pidato perdananya pada pelantikan sebagai Presiden RI Periode 2019-2024, menekankan perlunya Omnibus Law untuk mengatasi ketidaksinkronan 72 Undang-undang yang menghambat kegiatan perdagangan, bisnis dan investasi di Indonesia.
Menarik untuk dianalisis perjalanan sejarah bangsa yang pada satu sisi menghendaki “hukum adat” dan di sisi lain Indonesia sedang memasuki Era Revolusi Industri 4.0, yang notabene dipengaruhi oleh sistem hukum kapitalis.
Akankah kita dapat memadukan kedua sistem hukum yang berbeda ini atau sistem hukum yang satu akan menyingkirkan sistem hukum yang lain, tulisan ini ingin mengajak kita untuk berdiskusi seraya berbagi pengetahuan.
Hukum Adat
Pilihan Hukum Adat untuk dijadikan alat pemersatu yang diputuskan dalam Kongres Pemuda Tahun 1928 itu, bukan tidak beralasan. Pengalaman sejarah, penjajahan bangsa ini diperkuat dengan pemberlakuan sistem hukum kolonial. Inilah salah satu alasan, mengapa Hukum Adat itu menjadi bahagian yang penting yang muncul sebagai isu yang dibahas dalam Kongres itu.
Upaya Pemerintah Belanda untuk memberlakukan Hukum Kolonial di wilayah jajahannya dirasakan pemuda sebagai gerakan kolonialisme, yang tidak hanya menjadi alat eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam dan manusia, tetapi lebih jauh akan menghancurkan sendi-sendi ekonomi, kebudayaan, dan peradaban bangsa.
Salah satunya adalah dengan tujuan untuk membuka peluang yang lebar bagi masuknya modal swasta Eropa ke wilayah jajahan. Di samping itu untuk menekan berbagai pergerakan rakyat memperjuangkan kemerdekaan negerinya, melalui hukum (pidana) yang represif.
Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda ialah melalui penerapan azas konkordansi, yakni pemberlakuan beberapa bidang hukum besar yang berlaku di Negeri Belanda untuk diberlakukan juga di wilayah jajahannya yakni; Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata, dan Hukum Acara Pidana, Hukum Dagang dan lain-lain.
Politik hukum yang mereka tempuh adalah melalui instrumen persamaan hak (gelijke steling), pernyataan berlaku (toepaslijk verklaring) dan tunduk sukarela ( vrijwillige onderwerping ) yang kesemuanya diberlakukan sebelum tahun 1928. Namun tidak mudah bagi Pemerintah Kolonial untuk menggantikan sistem Hukum yang sudah ada dan dianut oleh masyarakat Indonesia.
Kisah tentang itu, diawali dari para pejabat Eropa yang direkrut untuk mengisi jabatan dalam pemerintahan kolonial dan untuk itu perlu pendidikan secara khusus di berbagai kota di Belanda yaitu di Leiden. Delf dan Utrech yang sebahagian besar diajarkan mengenai hukum, bahasa, adat, kebiasaan dan lembaga-lembaga agama rakyat pribumi di daerah koloni.
Di ketiga kota yang beroperasi lembaga pendidikan itu, Leiden tercatat paling besar dan paling banyak berpengaruh karena Rijks Universiteit yang berkedudukan menjadi pusat pemikiran liberal yang menganut garis politik etis dalam menangani urusan koloni.
Akan tetapi secara mengejutkan Leiden ternyata tidak bisa sejalan dengan rencana orang-orang resmi pemerintahan untuk menjalankan politik hukum pemerintah Hindia Belanda dan di antara orang-orang yang menggagalkan upaya ini adalah Van Vollen Hoven dan Ter Haar.
Lewat kedua orang inilah akhirnya orang-orang pribumi di Indonesia memiliki hukumnya sendiri yang kemudian dikenal dengan Adat Rechts (Godien Stigwetten, Volkinstelingen en Gubreiken)atau hukum adat yang untuk pertama kalinya dipergunakan oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjech Hers dan Het Gajo Land (Soetandyo Wignjosoebroto, 1994).
Kesadaran akan hal itu menyebabkan pemuda dalam Kongresnya tahun 1928 memasukkan isu Hukum Adat sebagai isu penting dan menjadi dasar bagi terbentuknya persatuan Indonesia.
Masyarakat Indonesia yang plural tak mungkin dapat dihimpun dalam satu kekuatan tanpa diikat secara normatif dalam satu ikatan hukum yang berlaku untuk semua (omni yang disebut dengan Hukum Adat.
Ada yang unik dalam Hukum Adat, yakni model hukum yang diberlakukan mirip dengan sistem hukum di negara-negara common law system. Eksistensi Hukum Adat keberadaannya di tangan Pengetua Adat (Beslissingen Leer) dan di negara-negara yang menganut common law systemkeberadaan hukum itu ada di tangan para juris (all the law is judge made law).
Pasca Kolonial
Kilas balik dalam perjalanan bangsa Indonesia untuk mempertahankan eksistensi Hukum Adat, tampaknya tak berjalan seperti yang diharapkan pasca Kolonial. Pasar II Aturan Peralihan UUD 1945 telah membuka peluang yang lebar bagi diberlakukannya UU produk Kolonial untuk masa yang tidak pernah ditentukan.
Ditambah lagi masuknya instrumen hukum asing melalui berbagai konvensi Internasional dan kerja sama perdagangan dan investasi melalui perjanjian bilateral dan berbagai kesepakatan kolektif lainnya seperti WTO, membuat Indonesia masuk ke alam hukum kapitalis yang dibawa oleh negara-negara Industri maju.
Dalam pertarungan politik dan ekonomi global, saat ini penjelajahan pemahaman tentang berbagai faktor yang mengendalikan jalannya arus politik global itu tak dapat lagi hanya ditelusuri melalui garis linier. Akan tetapi harus ditelusuri pula melalui garis non linier melalui bantuan berbagai disiplin ilmu.
Dengan cara itu akan dapat diketahui mengapa suatu negara tampil menjadi negara yang sangat kuat, namun di sisi lain muncul negara yang sangat lemah, di bahagian bumi di tempat lain muncul negara yang sangat kaya dan pada saat bersamaan di tempat lain muncul negara yang sangat miskin.
Demikian pula di negara-negara di Eropa, di Asia Tenggara, di Timur Tengah dan di Indocina, muncul negara yang relatif bersih dari korupsi, tapi di negara lain muncul negara yang sangat tinggi angka korupsinya.
Di berbagai negara dalam kawasan itu muncul negara yang sangat patuh terhadap penegakan hukum yang bersumber dari Hukum Asing, akan tetapi pada saat yang sama di negara lain yang masih bersama-sama berada dalam kawasan itu muncul negara dengan pelanggaran hukum yang tinggi.
Contohnya dalam bidang Hak Kekayaan Intelelektual, hari ini Indonesia bersama-sama dengan negara Algeria, Argentina, Chile, India, Kuwait, Russia, Saudi Arabia, Ukraina, dan Venezuella masuk dalam daftar "Priority watch list” yang dirilis oleh United States Trade Representative (USTR) (Special 301 Report, April 2019).
Setiap bangsa sebenarnya mempunyai harapan yang sama untuk mendapat posisi yang berharga di mata dunia dalam kehidupan bersama dengan bangsa lain. Pesan nilai “kebangsaan” diyakini sebagai pesan yang lahir dari bibit yang sama oleh tiap-tiap bangsa yang ada di dunia, sehingga sebenarnya tidak ada keunggulan suatu bangsa atas bangsa lain yang didasarkan pada pesan yang berharga dari nilai kebangsaan itu.
Bangsa-bangsa di dunia seharusnya tumbuh bersama dengan bangsa lain dengan memanfaat potensi yang dimiliki bangsanya sendiri. Bahwa kemudian perbedaan dalam keberhasilannya mengelola potensi yang ada yang berpengaruh terhadap kesejahteraan di dalam negaranya itu adalah resultan dari pemahaman anak bangsanya dalam pengelolaan kehidupan nasionalnya.
Garis batas yang telah disepakati oleh dunia Internasional adalah suatu bangsa tidak boleh mengintervensi kedaulatan negara lain.
Penjajahan atas suatu bangsa terhadap bangsa lain tidak mungkin dapat lagi dilakukan seperti terjadi di masa lampau dan larangan itu telah dimuat dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa.
Namun hari ini, model penjajahan itu telah berubah. Tidak lagi menggunakan senjata, tetapi menggunakan instrumen hukum atau kesepakatan Internasional (baik bilateral maupun multilateral).
Kasus investasi PT Freeport adalah salah satu contoh saja untuk menyebutkan berbagai bentuk perjanjian investasi yang cenderung menciptakan neo-impralisme dengan segala kecanggihannya. Instrumen lain seperti hasil capaian WTO yang melahirkan GATT 1994 yang antara lain memuat persetujuan TRIPs dengan konvensi ikutannya, juga telah mendorong Indonesia untuk mengubah peraturan perundang-undangan HKI-nya yang semakin condong ke arah kapitalis.
Belum lagi kita lihat dalam bidang hukum Penanaman Modal, Perbankan, Pelindungan Konsumen, Perpajakan dan lain sebagainya termasuk dalam bentuk rancangan undang-undang antara lain Rancangan UU Pertanahan. Sehingga semakin sulit untuk menapaki kembali dan menguatkan posisi hukum adat dalam Tatanan Hukum Indonesia. Namun demikian hal itu bukan tidak mungkin untuk dilakukan.
Omnibus Law
Omnibus Law yang tidak dikenal dalam tradisi Common Law System adalah sebenarnya sejalan dengan sistem Hukum Adat. Ada kesamaan antara sistem hukum adat dengan Common Law System. Oleh karena itu memadukan model hukum Common Law yang sejalan dengan konsep Hukum Adat adalah satu cara yang yang dapat dilakukan Indonesia di tengah-tengah sisuasi dunia yang sedang mengalami disrupsi ini.
Apa-apa yang ditawarkan oleh Common Law System dan dipadukan dengan Hukum peninggalan Kolonial Belanda yang berlaku hari ini, tidaklah terlalu buruk untuk diteruskan, asal saja kita bisa meracik formulanya dengan menggunakan Pancasila dan Hukum Adat sebagai filter.
Hukum adat dapat diabstraksi untuk mendapatkan sejumlah asas atau nilai yang dijadikan tempat bergantung atau berpijaknya norma hukum, sehingga dalam norma hukum itu secara inheren tersembunyi nilai-nilai hukum adat.
Nilai atau asas itu harus embodieddi dalam norma, tak boleh dipisahkan. Sehingga Nilai-nilai Hukum Adat yang terefleksi dalam Pancasila sebagai Gerund-norm sebagai sumber dari segala sumber hukum, sebagai ideologi negara dapat terejawantahkan dalam norma hukum positif.
Omnibus Law yang dicanangkan oleh Presiden tak boleh terbatas pada penyelesaian hambatan perdagangan dan investasi, tetapi juga harus menghapuskan semua instrumen hukum yang membuka ruang yang lebar bagi masuknya ideologi asing, menutup peluang bagi terbukanya neo-imprialism. Itulah dahulu yang ditentang oleh Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Pemanfaatan Teknologi Digital, dapat digunakan untuk menyisir bidang-bidang hukum yang menghambat investasi dan perkembangan ekonomi negara. Tapi penelusurannya tidak berhenti sampai di situ, harus juga dilakukan penelusuran tentang norma-norma hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila bertentangan dengan nilai-nilai Hukum Adat sebagaimana yang menjadi concern pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Imperialisme Tersembunyi
Harus ada penguatan secara internal di dalam negeri, mulai dari penguatan birokrasi, sistem politik yang lebih menyuarakan republik, sistem penegakan hukum yang merujuk pada nilai-nilai atau gerund-norm Pancasila, sistem pengelolaan ekonomi yang memihak pada kepentingan rakyat, sistem pendidikan yang membuka peluang kesempatan yang luas bagi rakyat untuk dapat mengecapnya sampai pada sistem pertahanan keamanan dan pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang berkeadilan.
Secara simultan hubungan Internasional dibangun dengan pemahaman bahwa kebijakan lintas batas negara yang menjangkau jauh ke masa depan dapat dilaksanakan dengan meletakkannya dalam koordinasi manajemen internasional. Memang sangat sulit untuk dapat menjangkau itu tanpa kepiawaian berdiplomasi.
Sangat sedikit lembaga yang berwenang di negeri ini yang mampu mengkoordinasikan masalah-masalah lintas batas yang menjangkau jauh ke depan itu dengan kebijakan dalam negeri.
Kekeliruan dalam menyikapi ini, akan dapat berakibat fatal bagai suatu negara, karena sekalipun imperialism tidak lagi diperkenankan tapi karena kesalahan dalam mengambil langkah, hasilnya tidak menutup kemungkinan terjadi imperialism tersembunyi.
Imperialis yang halus yang lebih modern yakni melalui kebijakan utang dan pinjaman luar negeri yang menciptakan ketergantungan atau melalui instrumen hukum internasional yang dikenal dengan Neo-Imperialism.
*) OK Saidin adalah Guru Besar Fakultas Hukum USU
Pewarta: OK Saidin
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2019