Oleh Syahruddin Hamzah
Banda Aceh (ANTARA News) - Bagi kebanyakan kaum perempuan asal Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, mandi balimau untuk membersihkan diri memasuki bulan ramadhan merupakan bagian tidak terpisahkan dari rangkaian hari saat berniat untuk menjalankan ibadah puasa.
Banyak wanita Singkil yang mengaku kurang afdhol jika tidak menjalani mandi balimau.
Tradisi itu hingga kini tetap hidup dan berkembang dalam budaya kaum hawa di wilayah pesisir barat selatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), termasuk saat menyambut puasa Ramadhan 1429 H.
Mandi balimau dengan meramu puluhan jenis bunga, termasuk daun serai pulau pinang serta dicampur daun pandan, disiapkan secara khusus. Ramuan itu kemudian ditumbuk, disaring untuk mendapatkan air bersih antara satu sampai dua liter yang akan digunakan untuk keramas.
Ny. Juliwaty (38), warga Desa Pulau Sarok, mengatakan, mandi kembang, sebutan lain bagi balimau dikalangan etnis jawa, dilakukan pada petang hari.
Air bunga tersebut dipakai untuk membilas, setelah para perempuan itu mandi dan keramsa dengan air biasa. Maka, wangi air bilasan tersebut tetap menempel di tubuh.
Mandi balimau dilakukan beramai-ramai dengan berdiri secara berderet di sungai Elsoraya, ibukota Aceh Singkil. Pada kesempatan itu, kesemarakkan tercipta dengan terdengarnya derai tawa para perempuan yang sedang menyiapkan diri memasuki bulan suci ramadhan.
"Itu tradisi kami di Singkil, sedangkan bagi mereka di perantauan, mandi balimau dilakukan di rumahnya masing-masing," kata perempuan dua anak itu.
Kebanyakan perempuan Singkil mengaku, walau pun mereka tidak sedang berada di kampung halamannya, mereka pasti menyempatkan diri mandi balimau menjelang puasa. Itu dilakukan, tak terkecuali, oleh anak-anak, remaja, dan nene-nenek.
"Entahlah, saya tidak tahu, mandi balimau itu budaya atau sunnah Rasul, yang jelas bagi kaum perempuan asal Singkil tetap melestarikannya hinggi puasa Ramadhan ini," kata Juliwaty sambil tersenyum saat membeli aneka bunga sebuah pasar, di Pulau Sarok Singkil, beberapa hari menjelang Ramadhan 2008.
Sama halnya bagi perempuan asal Singkil di Banda Aceh, tradisi mandi balimau sulit dilupakan pada setiap mereka menyambut bulan suci ramadhan.
Walaupun disibuki dengan pekerjaan lain sebagai ibu rumahtangga, namun bagi kebanyakan perempuan asal pesisir barat selatan Aceh itu, tradisi itu harus tetap dilaksanakan.
Raziani Umayuddin, perempuan asal Desa Pulau Sarok, Singkil, yang mengaku sudah belasan tahun berada di Banda Aceh, mengatakan, tradisi mandi balimau menyambut bulan suci ramadhan juga dikenal luas di kalangan kaum perempuan yang bermukim di daerah pesisir Sumatera Barat.
Bagi mereka yang di perantauan, melakukan mandi kembang tersebut dilakukan sekembalinya berziarah ke makam orangtuannya, namun jadwalnya tetap pada petang hari, menjelang matahari terbenam. Tidak namun tidak ada larangan bagi mereka yang mandi balimau pada pagi atau siang harinya, walau itu tidak lazim dilakukan.
Tradisi itu berbeda dengan kebanyakan masyarakat di Aceh. Kalau kaum perempuan di Singkil dengan cara mandi balimau, sementara kebanyakan masyarakat Aceh melakukan rekreasi ke lokasi wisata, baik laut maupun wisata alam bersama sanak keluarga.
Antara masyarakat pesisir barat selatan Aceh dan Sumatera Barat sebetulnya memiliki banyak kesamaan dalam kehidupan sehari-hari, selain sebagai pemuluk Islam yang taat juga dalam adat-istiadat, termasuk bahasa yang digunakan sehari-hari.
Mereka hanya berbeda dalam dialek, walau mereka kebanyakan saling mengerti.
"Kegiatan wisata, atau meramin dalam bahasa Aceh, dilakukan khusus hari libur atau juga dikenal sebagai minggu terakhir karena setelah itu mereka mulai memasuki bulan suci ramadhan sehingga mereka lebih memfokuskan diri untuk beribadah," kata Raziani.
Bagi kebanyakan masyarakat Aceh di pedesaan, kata Irmiwaty Syamsuddin, warga Aceh Besar, bulan suci ramadhan dimanfaatkan sebagai bulan beribadah sehingga kegiatan rutin lainnya, seperti bekerja di sawah dan kebun dikurangi.
Selama bulan suci ramadhan, mereka lebih banyak memanfaatkan waktu malam hari untuk beribadah, baik shalat terawih atau tadarus (mengaji Al-quran), sedangkan di siang harinya lebih banyak istirahat dengan berdiam diri di rumah, termasuk bagi anak-anak mereka yang lebih banyak berada di mushalla.
"Anak-anak remaja, setelah makan malam mereka sudah berada di mushalla dan baru kembali ke rumah pada saat makan sahur. Selama di mushalla atau masjid mereka membaca al-Quran secara bergiliran bersama teman-teman, namun di siang hari kebanyakan tertidur dan baru saat shalat dhuhur baru kembali," katanya menambahkan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008