Ulama yang lahir tahun 1908 di Kotagede, Yogyakarta, dan wafat tahun 1973 itu dikenal sebagai perintis sekaligus rektor pertama Sekolah Tinggi Islam (STI), yang kemudian berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).
Rektor UII Fathul Wahid menyebut KH Kahar sebagai ulama sekaligus akademikus yang tak pernah marah-marah dalam berdakwah.
Fathul menuturkan, suatu ketika ada beberapa mahasiswi yang mengenakan rok mini di kelas Kahar, namun Kahar tidak memarahi mahasiswi-mahasiswi itu.
Kahar hanya meminta satu per satu mahasiswi itu ke depan kelas, kemudian memberikan lembaran koran bekas yang ia bawa dari rumah agar bisa mereka gunakan untuk menutupi lutut mereka.
"Itu bagian cara Pak Kahar dalam berdakwah, dengan tidak pernah marah," kata Fathul.
Kahar juga selalu menekankan bahwa merawat persaudaraan merupakan hal yang sangat fundamental dan menurut dia persaudaraan tidak akan terwujud tanpa saling memuliakan.
Pada 1956, Kahar pernah diundang ke Singapura untuk berceramah mengenai pentingnya persaudaraan.
Merawat Keislaman dan Kebangsaan
Selama menempuh pendidikan di Universitas Al Azhar dan Universitas Darul Ulum di Mesir, Kahar aktif memperkenalkan Indonesia sekaligus menggalang dukungan bagi kemerdekaan Indonesia melalui berbagai organisasi, tulisannya di surat kabar yang terbit di Mesir, serta Muktamar Islam Internasional.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Mesir, Kahar kembali ke Tanah Air. Awalnya, dia bekerja sebagai pengajar dan kemudian dia menjabat sebagai direktur di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Dia juga berkiprah di organisasi Muhammadiyah yang dirintis oleh KH Ahmad Dahlan, antara lain sebagai pemimpin sayap kepemudaan dan badan kesejahteraan sosial.
Pada masa pendudukan Jepang, KH Kahar menjadi komentator luar negeri di Radio militer Jepang dan kemudian menjadi Kepala Kantor Urusan Agama.
Pada April 1945, Pemerintah pendudukan Jepang membentuk Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan KH Kahar menjadi salah satu anggotanya.
Ia kemudian masuk dalam jajaran Panitia Sembilan yang dibentuk BPUPKI untuk membahas pembentukan dasar negara Indonesia merdeka bersama Ir Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, AA Maramis, Ahmad Subardjo, Haji Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, serta KH Abdul Wahid Hasyim.
Panitia Sembilan saat itu menggagas Piagam Jakarta, yang kemudian menjadi cikal bakal pembentukan UUD 1945 dan Pancasila.
Selanjutnya, di lembaga pendidikan yang dia rintis, STI yang kemudian menjadi UII, Kahar menanamkan nilai-nilai keislaman, intelektualitas, serta kebangsaan pada masa perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan RI.
Ketika rakyat Indonesia berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan, UII libur, dosen serta mahasiswanya ikut berjuang bersama rakyat.
"Beliau menanamkan kepada kami, bagaimana tidak lelah mencintai bangsa ini," demikian Fathul Wahid.
Baca juga:
Sembilan tahun UGM perjuangkan Sardjito sebagai Pahlawan Nasional
Enam Pahlawan Nasional, dari wartawati hingga rektor pertama UGM
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019