Jakarta (ANTARA News) - Kebijakan Bank Indonesia untuk menaikkan BI rate 25 basis poin menjadi 9,25 persen dianggap akan semakin mempersempit gerak dunia usaha mengingat kenaikan itu akan ditindaklanjuti oleh kenaikan suku bunga kredit perbankan.
"Ini berarti terjadi `tight money policy` (kebijakan moneter ketat-red). Kredit akan semakin mahal. Seharusnya BI menahan dulu, supaya `tight money policy` tidak terjadi dan orang masih bisa leluasa melakukan pinjaman dengan suku bunga yang pantas," kata Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat di Jakarta, Kamis.
Jika mempertahankan suku bunga, dia mengatakan, BI sebenarnya berpeluang untuk mengkoreksi suku bunga pada Desember mendatang, terutama karena potensi yang lebih tinggi dalam beberapa bulan ke depan.
"Jika inflasi lebaran tinggi, bisa lah dinaikkan sedikit tapi pada Desember saja," katanya.
Sementara itu Ketua Komisi Tetap Fiskal dan Moneter Kadin Bambang Soesatyo mengatakan, kenaikan BI rate akan langsung direspon oleh perbankan dengan cara menaikkan suku bunga kredit mereka dari level saat ini.
Dijelaskannya, semula perbankan sudah menskenariokan kenaikan suku bunga kredit mulai kerja pada triwulan II/2008, dari 12,94 persen pada triwulan I/2008 menjadi 12,98 persen per thn pada triwulan II/2008. Sedangkan Kredit konsumsi akan naik dari 14,99 persen menjadi 15,34 persen per per tahun.
"Suku bunga bank mungkin akan lebih tinggi dari skenario sebelumnya. Bahkan bunga pinjaman diperkirakan akan mencapai diatas 20 persen," jelasnya.
Dalam kaitan ini, tambahnya, Kadin menghimbau agar pemerintah tidak membiarkan Bank Indonesia (BI) berjalan sendirian dalam menghadapi tekanan inflasi yg tinggi.
"Harus ada kerjasama dan koordinasi yang baik guna memperoleh langkah solutif, kreatif dalam upaya meredam inflasi tanpa memberatkan masyarakat, dunia usaha dan keuangan pemerintah," kata dia.
Sebab, tambahnya, jalan pintas sepihak yang selalu ditempuh BI dengan menaikan BI rate dua kali berturut-turut sebesar 25 basis poin mulai Mei hingga September 2008, diperkirakan akan mendorong kenaikan suku bunga kredit perbankan dan permintaan kenaikan suku bunga obligasi pemerintah.
Diakatakan bahwa jika tidak dikawal pemerintah, maka kerja BI dipastikan akan semakin berat pada bulan depan hingga diperkirakan BI akan kembali menempuh jalan pintas dengan menaikan BI rate pada masa sidang Rapat Dewan Gubernur (RDG), Oktober mendatang.
"Padahal, masih tersedia instrumen lain untuk menjinakan inflasi dengan pengendalikan likuiditas dan cadangan devisa serta mendorong pemerintah mengkreasi kebijakan fiskal yang mampu mengurangi percepatan laju inflasi," jelasnya.
Dikatakannya, pihak menyadari bahwa BI mulai serius mengadopsi konsep inflasi inti yg meminggirkan faktor yg bersifat musiman dalam perhitungan inflasi.
"Namun, ada bahayanya jika setiap kesimpulan BI mengerek naik BI rate nya. Pasar akan menduga BI memproyeksikan inflasi akan terus bergerak naik. Akibatnya, bisa fatal. Di satu sisi pelaku pasar akan menuntut suku bunga lebih tinggi," jelasnya.
Di sisi lain, katanya, karena BI memberi sinyal tren inflasi tetap tinggi, maka nilai tukar rupiah menjadi tertekan akibat hengkangnya modal asing di SBI. Asing dianggap mengkhawatirkan tidak terkendalinya inflasi.
"Langkah-Langkah harus disiapkan. Otoritas moneter harus didukung oleh kebijakan fiskal yang terfokus pada upaya meredam tekanan inflasi dari faktor non moneter," jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, Kadin melihat sudah menggejalanya
kenaikan harga karena terdorong oleh bahan baku (cost push inflation).
Dorongan kuat pada laju inflasi juga muncul akibat kegagalan pemerintah mengendalikan pasok dan distribusi kebutuhan pokok rakyat, seperti BBM, gas dan beras. "Kegagalan ini menyebabkan harga bergerak naik sangat liar," katanya
Memang, jelasnya, pemerintah berupaya menurunkan harga komoditas pangan dengan operasi pasar dan menurunkan PPh serta bea masuk bahan pangan impor. Juga berusaha meredam laju kenaikan harga Gas elpiji.
"Tetapi, tindakan-tindakan reaktif itu gagal meredam kenaikan harga. Ditambah dengan rangkaian akibat dari ulah spekulan sebelum bulan puasa. Akumulasi daya dorong terhadap laju inflasi demikian besar," ujarnya.
Dengan demikian, jelas bahwa tim ekonomi di kabinet harus membenahi apa yang salah dalam struktur perekonomian nasional. "Jangan biarkan otoritas moneter berjalan sendirian menghadang inflasi dg cara jalan pintas menaikan BI rate," katanya
Faktor yang sudah jelas, tambahnya, adalah pola pasok dan distribusi barang yang terkesan masih amburadul mengingat hingga kini pemerintah pun belum mampu menyingkirkan ulah spekulan dari pasar.
Dia mengusulkan, untuk memperkecil "cost push inflation", penurunan bea masuk perlu diperluas pada sejumlah bahan baku dan barang modal, kebutuhan industri makanan dan manufaktur lain yang menjadi kebutuhan rutin masyarakat.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008