Jakarta (ANTARA News) - Wacana budaya unggul yang dimunculkan Stephen Covey dan pernah diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awal Desember 2005, dapat dimulai dalam proses pendidikan nasional di Indonesia.
Pendidikan, menurut peraih nobel dari Princeton University, John Nash, memberikan kontribusi tertinggi dalam perekonomian suatu bangsa.
Di Republik Indonesia, bidang pendidikan dan pendidikan tenaga kerja berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia masing-masing sebesar 17 dan 19 persen. Angka tersebut jauh di atas kontribusi investasi yang hanya empat persen saja.
Terkait dengan hal itu, berbagai upaya dilakukan baik oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan, mulai dari pembuatan Undang-Undang, perubahan kurikulum, lokakarya para guru sampai dengan standarisasi
pendidikan.
Bahkan untuk tahun anggaran 2009, pemerintah berani memenuhi amanat konstitusi mengalokasikan 20 persen anggaran APBN untuk bidang pendidikan tersebut, walaupun harus menempuh cara berhutang.
Pada saat yang sama, walaupun banyak lokakarya, penataran dan musyawarah yang menghabiskan banyak dana serta energi telah digelar pemerintah maupun kelompok masyarakat untuk meningkatkan mutu guru, namun belum tampak perubahan yang positif dan signifikan dalam praktik-praktik pengajaran di sekolah-sekolah.
Kelemahan utama dari lokakarya, penataran, musyawarah ini adalah pendekatan "top-down" yang seringkali mengabaikan realita pengalaman guru di sekolah serta metodologi yang tidak melibatkan guru sebagai partisipan aktif.
"Memang pernah pemerintah mengadakan pelatihan-pelatihan, tetapi sifatnya hanya umum saja. Beberapa instruktur hadir dan kasih ceramah setelah itu selesai," kata Sugimun (40), seorang guru SMPN I Lumbis, Nunukan, Kaltim.
Selain itu, katanya lagi, waktunya juga terlalu singkat dan tidak ada simulasi-simulasi yang sebenarnya dibutuhkan para guru tersebut.
Sugimun bersama 45 orang guru dan kepala sekolah dari 18 SD dan lima SMP yang berlokasi di daerah terpencil di Kabupaten Nunukan, Bulungan, Tana Tidung dan Malinau, Kaltim, mengikuti program pelatihan profesionalisme guru dan kepala sekolah di Tarakan, Kaltim, belum lama ini.
Program kegiatan yang diselenggarakan Tanoto Foundation, organisasi nirlaba yang didirikan keluarga Sukanto Tanoto itu, didesain dengan memperhatikan latar belakang pendidikan dan pengalaman nyata para guru beserta segala sumber daya dan hambatan
yang ada di tingkat lokal.
"Kita memerlukan suatu program yang holistik dan komprehensif yang bisa memberdayakan guru untuk melakukan pengembangan profesionalisme bagi diri mereka sendiri," ujar Prof Dr Anita Lie, salah seorang instruktur dalam pelatihan tersebut.
Hasil dari proses refleksi dan evaluasi ini nantinya bisa menjadi masukan berharga dan bahan bagi penyusunan strategi pembelajaran yang efektif dan benar-benar dilaksanakan di sekolah.
Pada tahap selanjutnya, para guru di daerah terpencil yang telah berhasil membuat perubahan positif di kelas diharapkan untuk menjadi agen perubahan dan membawa "multiplier effect" bagi guru-guru lainnya di sekitarnya.
Diharapkan pula "best practices" yang juga merangkum keberhasilan nyata berlatarbelakang sumber daya dan hambatan-hambatan dalam tingkat lokal yang bisa didokumentasikan serta digunakan sebagai referensi untuk pengembangan profesionalisme guru yang berkelanjutan.
KTSP
Salah satu materi yang menjadi fokus dalam pelatihan itu adalah bagaimana menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang telah digariskan Depdiknas sejak 2007 lalu.
Pelaksanaan KTSP mengasumsikan guru mempunyai kompetensi untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan konteks siswa mereka di tingkat satuan pendidikan masing-masing.
Menurut Anita Lie, banyak kepala sekolah dan guru di daerah-daerah terpencil yang tidak paham tentang KTSP yang telah digariskan pemerintah itu.
Faktanya, sejak setahun KTSP itu diluncurkan dan diterapkan, ternyata belum tampak adanya perubahan yang signifikan dalam pola pengajaran di sekolah-sekolah, apalagi untuk daerah terpencil.
"Untuk menyusun saja mereka belum tahu, lalu bagaimana mereka mengembangkannya. Karena itu kami mencoba mengajak mereka untuk menyusun bagaimana kurikulum itu disusun," katanya.
Untuk kepentingan itu, pelatihan lebih banyak diisi dengan simulasi-simulasi permainan quiz yang menarik dan bisa diterapkan untuk berbagai mata pelajaran untuk merangsang murid mengetahui materi yang ditanyakan gurunya ataupun praktek berdemokrasi dalam skala kelas.
Berbagai simulasi itu dimaksudkan agar para guru mampu menerapkan pola belajar yang menarik bagi murid serta kreatif dalam melakukan perubahan bagi praktek-praktek pengajaran di kelas ataupun manajerial di sekolah.
Terkait penyusunan KTSP, para guru diwajibkan menyusun strategi pembelajaran untuk bidang studi pilihan, yakni matematika dan IPA atau IPS dan bahasa serta selanjutnya menuangkannya dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berdasarkan silabus sekolah yang akan mereka laksanakan seusai pelatihan tersebut.
Marson, guru di SDN 017 Sembakung, mengatakan bahwa melalui RPP yang dikontrol oleh setiap kepala sekolah itu sangat membantunya dalam memberikan materi pelajaran kepada murid-muridnya.
"Sebelumnya kita hanya mengajar dengan materi yang diambil dari buku-buku saja. Sekarang guru dituntut untuk menyusun RPP ini. Dengan begitu ada pedoman yang bisa kita gunakan," katanya.
Pasca pelatihan, program pengajaran yang telah disusun masing-masing guru itu harus dilaksanakan di sekolah masing-masing selama periode September 2008 hingga Januari 2009.
"Nanti pada tahap kedua kita akan melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah peserta pelatihan ini dan memantau apakah RPP yang mereka buat kali ini dilaksanakan atau tidak," ujar Anita Lie.
Selanjutnya pada tahap akhir program, para peserta pelatihan profesionalisme guru akan saling mengevaluasi dan berbagi pengalaman atas berbagai program yang telah mereka lakukan tersebut.
Pesan yang ingin ditekankan adalah berada di daerah terpencil bukanlah hambatan bagi sebagian guru untuk mengembangkan berbagai teknik mengajar siswa dengan pola yang menarik dan diminati murid-murid dibangku sekolahnya.
Selain itu para "pahlawan tanpa jasa" dari daerah-daerah terpencil yang telah mendapatkan pembekalan dan pemberdayaan tersebut, diharapkan menjadi agensia-agensia perubahan yang efektif bagi komunitas yang sama.(*)
Oleh Oleh Djunaedi S.
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008