Banyak perusahaan melepas tanggung jawabnya terhadap hak pekerja, sementara pemerintah kesulitan meminta pelaku bisnis agar memperhatikan kebutuhan mendasar para buruh, kata Sharan Burrow, kepala Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ITUC).
Sekitar dua miliar pekerja atau lebih dari 60 persen buruh di dunia bekerja di sektor informal, sehingga mereka rentan dibayar murah, terlalu banyak bekerja, dan diperlakukan seperti budak, kata dia.
Baca juga: Pekerja domestik rentan praktik perbudakan modern
Bahkan, pertumbuhan bisnis berbasis digital mulai dari aplikasi jasa transportasi dan pengantar makanan justru membuat pekerja kian rentan karena mereka kesulitan mendapatkan kontrak kerja yang jelas serta jaminan sosial. Akibatnya, banyak buruh kesulitan memperoleh hak mendasar seperti gaji yang layak dan hak untuk berserikat, terang Burrow.
"Model perekrutan pekerja dunia tidak lagi memadai dan kita butuh kontrak sosial yang baru untuk menghapus sistem kerja paksa," kata Burrow, sekretaris jenderal ITUC yang menjadi pembicara pada diskusi panel Trust Conference, Rabu.
Trust Conference merupakan forum diskusi hak asasi manusia yang diadakan tiap tahun oleh badan amal Thomson Reuters Foundation.
Baca juga: Para pemuka agama bersatu lawan perbudakan modern
Kerja paksa dalam pengertian modern, menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), mencakup upah yang tidak dibayar, jam kerja yang terlalu lama tanpa ada waktu istirahat cukup, penyitaan dokumen pribadi, keterbatasan ruang gerak, aksi penipuan/manipulasi, intimidasi, dan kekerasan secara fisik ataupun seksual.
"Jika tidak ada hukum ataupun peraturan pemerintah yang mengatur perusahaan dan praktik bisnis, maka tak ada dari kita yang dapat menjamin masa depan para pekerja," tambah dia.
ITUC, organisasi dengan lebih dari 207 juta anggota, merupakan salah satu lembaga non-pemerintah yang aktif memperjuangkan hak-hak pekerja.
Sekitar 25 miliar warga dunia diyakini merupakan korban kerja paksa. Oleh karena itu, banyak perusahaan telah ditekan oleh konsumer untuk segera mengkaji ulang manajemen buruhnya agar tidak jatuh pada masalah tersebut. Pasalnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa menargetkan dunia bebas perbudakan pada 2030.
Dengan demikian, Burrow meminta pelaku bisnis untuk lebih jauh meninjau usahanya agar tidak mengeksploitasi pekerja apalagi menjadikan mereka sebagai budak modern. Sekjen ITUC itu juga meminta perusahaan untuk menyediakan sistem pelaporan yang aman bagi para pekerja di saat mereka menjadi korban pelecehan. Alasannya, korban yang melapor kerap mendapat ancaman atau aksi balas dendam dari pelaku.
Baca juga: Apa itu perbudakan modern?
Burrow juga pemerintah untuk memastikan hak-hak pekerja dilindungi.
Dalam pidatonya, ia menyebut Qatar, negara yang bergantung pada dua juta buruh migran, sebagai negara yang dapat dicontoh untuk memulai perubahan. Pasalnya, aksi berbagai serikat pekerja yang meminta pemerintah mengakhiri perbudakan modern berujung dengan reformasi buruh.
Pemerintah Qatar pada bulan lalu mengesahkan aturan baru pengupahan minimum, serta menjalankan sejumlah langkah mengakhiri "kafala", sistem perekrutan yang mengikat pekerja dengan satu majikan. Sistem itu telah lama dikritik sebagai bentuk penyiksaan dan pelecehan terhadap pekerja.
Meskipun ada perbaikan terhadap nasib buruh di Qatar, tinjauan terhadap hak-hak pekerja di dunia masih cukup mengkhawatirkan. Penelitian terbaru ITUC menunjukkan pekerja di 72 persen negara-negara dunia tidak memiliki atau punya keterbatasan akses terhadap keadilan.
Riset ITUC juga memperlihatkan bertambahnya jumlah negara yang membatasi ataupun menghalangi kegiatan serikat pekerja.
"Bagi para pekerja, perjuangan untuk mendapatkan hak mendasar, upah minimum, dan hak untuk berunding bersama, serta jaminan ruang kerja aman akan terus berlanjut," kata Burrow.
"Tiap pelaku bisnis..... dan pemerintah harus ikut bertanggung jawab (menjamin hak mendasar buruh, red)," tambah dia.
Sumber: Reuters
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2019