Namun, setelah belajar mengenai seluk beluk kredit karbon, dia menjadikan tawaran bisnis itu sebagai tantangan.
Pria kelahiran Medan yang mempelajari sains dalam riset operasional dan teknik industri serta financial engineering di Cornell University di Amerika Serikat itu kemudian terjun ke dunia bisnis baru tersebut.
Usaha itu tidak mudah. Pengurusan izinnya saja butuh waktu lima tahun lebih dan kerja keras mengumpulkan berbagai data di areal kerja yang mencakup ekspedisi 30 hari di kawasan hutan gambut Kalimantan Tengah. Selain itu perusahaan harus membayar iuran izin usaha pemanfaatan hutan Rp15 miliar lebih.
Tahun 2013, setelah proses panjang yang tidak mudah, PT Rimba Makmur Utama (RMU) pimpinan Dharsono mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Restorasi Ekosistem Dalam Hutan Alam (IUPHHK-Restorasi Ekosistem). Namun izin itu baru mencakup sebagian dari seluruh luas area konsesi yang diajukan, izin area sisanya baru diperoleh 2016.
"Dari tahun 2007/2008 sampai sampai 2013, selama enam tahun pertama itu saya satu-satunya pegawai. RMU itu cuma saya pegawainya selama itu. Saya tuh yang mengurus izin," kata Dharsono, Direktur Utama PT RMU selaku pemrakarsa Katingan-Mentaya Project.
Katingan-Mentaya Project berusaha merestorasi dan melindungi area seluas 149.800 hektare, sebagian merupakan besar hutan gambut, di Kabupaten Katingan dan Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, menurut data Verra, pengelola standar karbon terverifikasi (Verified Carbon Standard/VCS) atau yang sebelumnya disebut Voluntary Carbon Standard.
Investasi untuk menjalankan bisnis restorasi dan konservasi itu tidak sedikit dan upaya untuk meyakinkan pemodal berinvestasi tidak mudah.
"Investasi awal saya itu boleh dibilang sekitar 15 juta Dolar AS sejak 2007," kata Dharsono, yang sebelum masuk ke bisnis konservasi pernah bekerja untuk perusahaan multinasional PricewaterhouseCoopers dan JP Morgan di New York.
"Bisa dibilang selama tiga tahun pertama itu saya mendatangi semua konglomerat... Ya syukurlah akhirnya bisa. Saudara-saudara saya ada yang bantu, teman saya ada yang bantu," katanya menambahkan.
Kerja di lapangannya pun penuh tantangan. Guna memastikan proses restorasi ekosistem di area konsesi perusahaan berjalan baik, Dharsono menjalin kemitraan dengan warga 34 desa di sekitar area konsesi.
Butuh waktu sekitar tiga tahun untuk membangun kepercayaan dan meyakinkan warga hingga mereka mau bermitra dengan RMU dalam menjalankan usaha restorasi maupun pelindungan hutan.
"PIC proyek pemberdayaan masyarakat itu saya, jadi kalau ada apa-apa kontaknya ke saya," kata Dharsono, yang 7 Agustus lalu berusia 45 tahun.
Dia membagikan nomor teleponnya kepada warga dan berjanji merespons pesan dari mereka dalam 24 jam.
"Cuma saya pesan, yang pertama jangan minta donasi, yang kedua saya bercanda, jangan minta pulsa ya... Sampai sekarang belum ada sih yang minta bantuan," katanya saat mengunjungi tempat pelatihan produksi gula untuk warga mitra di Desa Basawang, Kecamatan Teluk Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Rabu (13/11).
Upaya RMU merestorasi ekosistem, termasuk melakukan revegetasi dan melindungi kawasan hutan dari kebakaran dan pencurian kayu, berhasil mencegah emisi hingga 7.451.846 ton unit karbon per tahun menurut data Verra.
Di situs resminya, pada Selasa pukul 08.45 WIB, Katingan Mentaya Project mengklaim telah berhasil mencegah emisi gas rumah kaca setara lebih dari 31.938.319 ton CO2.
Dengan demikian, setidaknya jumlah gas rumah kaca yang menyerap radiasi dan mencegah panas keluar dari atmosfer berkurang sehingga atmosfer lebih adem dan dampak ekses panas terhadap perubahan pola cuaca dan iklim berkurang pula.
Namun usaha RMU mengurangi emisi gas rumah kaca yang dimulai tahun 2007 baru mendatangkan uang dalam dua tahun terakhir, ketika kredit karbon perusahaan dibeli oleh korporasi besar seperti Volkswagen, Shell, dan BNP Paribas.
Sebelumnya, kata Dharsono, banyak yang menyatakan peduli pada upaya pengurangan emisi dengan menahan laju deforestasi dan degradasi hutan namun tidak ada yang mau mengeluarkan uang untuk jasa itu.
"Alhamdulillah sih sekarang sukses ya, cuma tantangannya itu memang benar-benar luar biasa," kata Dharsono, yang sangat menghargai dukungan luar biasa sang istri, Lilis Setiadi, pada masa-masa sulit.
Dharsono menuturkan, selama menjalankan bisnis konservasi ada masanya dia ingin berhenti, berganti pekerjaan. Namun dia kemudian memutuskan untuk kembali, antara lain karena kebaikan seorang pemilik perahu klotok yang menginspirasi dia untuk membawa kebaikan bagi lebih banyak orang.
Para Penyemai
Pada Selasa (12/11) siang, di kawasan hutan yang berada di tepi Kerokan Hantipan, Kotawaringin Timur, beberapa warga menyiapkan bibit pohon yang akan ditanam di area konsesi RMU yang membutuhkan revegetasi. Tak jauh dari mereka, bibit pohon siap tanam berderet rapi. Ada bibit jelutung, gemor, kacapuri, pulai, dan belangeran.
Menurut Kepala Bidang Pembinaan Desa Hutan PT RMU Fransiskus Agus Harsanto, ada 40.000 bibit dari 15 jenis pohon khas hutan gambut yang disiapkan di tempat pembibitan itu.
"Kami pilih native species (spesies asli), ada yang ambil dari hutan, ada yang dari warga. Tiap tahun berusaha diperbanyak jenisnya, supaya lebih banyak variasi," katanya.
Bibit-bibit pohon itu akan ditanam di lahan seluas 200 hektare dalam area rencana kerja tahunan (RKT) keempat.
"Setiap tahun diidentifikasi daerah yang butuh restorasi. Sekarang sudah tiga RKT. Ini bibit untuk RKT keempat," kata Agus.
Dharsono menjelaskan, perusahaan bekerja sama dengan warga dalam menghijaukan kembali bagian area konsesi yang mengalami degradasi dan membutuhkan revegetasi.
Warga yang mengklaim memiliki hak untuk memanfaatkan kawasan hutan di area konsesi RMU semula meminta perusahaan membeli lahan mereka. Namun perusahaan memilih jalan kemitraan. Selama sekitar tiga tahun RMU melakukan pendekatan ke warga sampai mereka sepakat bekerja sama dengan perusahaan dalam mengelola kawasan hutan.
Ada 248 kepala keluarga yang terlibat. Sesuai kesepakatan, masing-masing kepala keluarga mendapat jatah menanami dua hektare lahan dengan 400 pohon. Bibitnya 70 persen disiapkan oleh perusahaan. Setiap tahun perusahaan wajib memberikan dana kompensasi kepada warga berdasarkan jumlah pohon yang hidup.
Penanaman bibit pohon dilakukan secara bertahap karena menyediakan bibit pohon endemik dalam jumlah banyak tidak mudah dan membutuhkan waktu. Bibit pohon belangeran dan jelutung misalnya, baru siap tanam setelah usianya sekira satu tahun.
Dari seluruh kepala keluarga yang terlibat, baru 19 yang melakukan penanaman tahun ini, termasuk di antaranya Aspuri (56) dari Desa Bamadu, Kecamatan Pulau Hanaut.
Aspuri, yang sehari-hari bertani, mendapat jatah menanami dua hektare lahan di sekitar Kerokan Hantipan, sekitar dua jam naik perahu kelotok dari desanya.
"Bibit dikasih... Paling datang tiga bulan sekali untuk bersihkan lahan," kata Aspuri, yang antara lain menanami lahannya dengan bibit jelutung, pohon yang getahnya bisa diolah menjadi permen karet dan isolator.
Aspuri dan kepala keluarga lain yang membuat kesepakatan dengan RMU akan mendapat dana kompensasi Rp5.000 per pohon hidup per tahun. Dengan demikian, kalau 400 pohon yang mereka tanam semuanya hidup, mereka bisa mendapat Rp2 juta per tahun dari perusahaan.
"Tahun ini baru mulai bayar. Ada 38 hektare. Kami sama-sama hitung (jumlah pohon yang hidup)," kata Yusef Fabianus Hadiwinata, Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan PT RMU.
Menurut kesepakatan warga desa dengan perusahaan, warga bisa mengambil hasil dari pohon yang mereka tanam namun tidak boleh menebangnya.
Kesepakatan antara perusahaan dan warga desa sekitar area konsesi itu tidak hanya meminimalkan konflik lahan, tapi juga mendukung kegiatan restorasi hutan.
Pemadam Api dan Petani
Guna memastikan area konsesinya aman dari kebakaran hutan dan pencurian kayu, RMU memberdayakan warga untuk mengatasi kebakaran, menekan praktik membuka lahan dengan membakar, serta menghadirkan usaha alternatif untuk menjauhkan mereka dari kegiatan menebang pohon di hutan.
Perusahaan memfasilitasi pembentukan regu siaga api di desa-desa sekitar area konsesi, yang sewaktu-waktu bisa dikerahkan untuk mengecek titik panas dan memadamkan kebakaran hutan. Guna mendukung tugas mereka, perusahaan menyediakan menara pantau dan alat pemadam kebakaran.
"Kalau ada kebakaran kami dipanggil. Kami kumpulkan orang-orang, cari orang untuk padamkan api. Alat-alat sudah disediakan," kata Misran, Ketua Regu Siaga Api Desa Batuah di Kecamatan Seranau.
Menurut dia, setiap anggota regu siaga api yang bekerja memadamkan kebakaran di area konsesi mendapat upah Rp100.000 dan makan tiga kali sehari.
Para petani di desa sekitar area konsesi mulai awal tahun ini juga bisa mengikuti sekolah tani agroekologi, yang mengajarkan teknik budi daya ramah lingkungan.
"Dapat pelatihan bikin pupuk alami, pelatihan tanam padi organik, hal-hal yang berkaitan dengan pola tanam, tanpa bakar dan tanpa bahan kimia," kata Zainuddin dari Kelurahan Mentaya Sebrang, Kecamatan Seranau, Koordinator Sekolah Tani Agroekologi Tuntung Pandang yang anggotanya sekitar 70 orang.
Selain itu, dengan dukungan dari donor RMU memfasilitasi warga sekitar area konsesi yang sudah punya kebun kelapa untuk membuat gula merah serta membantu pengemasan dan pemasarannya.
Tempat pelatihan pembuatan gula merah dan gula semut dibangun di Desa Basawang, area yang tidak berbatasan langsung dengan wilayah konsesi namun warganya yang mayoritas berasal dari Jawa Timur sudah biasa membuat gula merah.
Warga dari desa-desa sekitar wilayah konsesi bisa mengikuti pelatihan selama sepuluh hari di sana dan setelah memulai usaha pembuatan gula merah mereka bisa menjualnya langsung ke pasar atau ke Koperasi Mentaya Sumber Manis.
"Dari Satiruk, Serambut, Batuah, Bapinang Hilir Laut, Hantipan," kata Sugiyono (27), fasilitator di tempat pelatihan pembuatan gula merah, mengenai asal peserta pelatihan.
Kegiatan produksi gula merah membuat warga desa yang semula hanya memanen kelapa untuk kopra tiga bulan sekali dan kadang mengambil kayu dari hutan untuk dijual, punya kesibukan baru setiap hari.
Mereka setiap pagi dan sore hari jadi harus memanjat pohon kelapa untuk mengambil nira serta merebusnya selama empat sampai lima jam untuk menghasilkan gula merah atau memprosesnya selama sekitar tujuh jam untuk menghasilkan gula semut.
Aliannur (36), pemilik dua hektare kebun kelapa dari Desa Satiruk, termasuk di antara 75 warga desa yang mengikuti pelatihan itu. Dia sudah memroduksi gula semut, dan meninggalkan pekerjaan menebang kayu di hutan.
"Karena habis sakit sekarang bikin gula semut sekitar empat kilogram sehari, dijual Rp15.500 per kg ke koperasi," kata ayah satu anak itu.
Aliannur mengatakan kebutuhan keluarganya bisa tercukupi dari hasil penjualan kelapa dan produksi gula sehingga dia tidak perlu lagi masuk ke hutan.
Kalau masuk hutan, biasanya selama sekitar 20 hari, dia butuh modal sekitar Rp80.000 per hari untuk bahan bakar, makan, dan biaya operasional lain. Hasilnya rata-rata sekitar dua meter kubik kayu yang bisa dijual dengan harga Rp2,4 juta ke pengepul.
"Tapi kerja ini ada kaitan dengan petugas," kata Aliannur.
Kalau lagi apes ketahuan petugas saat mengambil kayu hutan, Aliannur dan penebang kayu lainnya biasa memberikan uang Rp300.000 sampai Rp500.000 ke petugas.
Ketua Koperasi Mentaya Sumber Manis Jupriandi (48) mengatakan, dari 75 peserta pelatihan baru separuh yang memroduksi gula. Setiap bulan koperasi menampung sekitar tiga ton gula dari warga dan menjualnya ke pasar lokal.
"Sebenarnya ada permintaan dari Unilever, tapi kami belum bisa penuhi, mereka mintanya 12 sampai 18 ton setiap dua pekan," kata Jupri, yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur.
Perusahaan juga bekerja sama dengan otoritas pemerintah, termasuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Mentaya Tengah-Seruyan Hilir, dalam penyusunan rencana kerja jangka panjang.
"Misi kami sama, konservasi hutan dan memberdayakan masyarakat," kata Wibisono dari KPHP Mentaya Tengah-Seruyan Hilir.
Memastikan Hutan Terjaga
Pemegang IUPHHK - Restorasi Ekosistem, sesuai bahasa dalam peraturan, harus memulihkan kondisi hutan sebagaimana kondisi semula atau sampai dengan kondisi kesetimbangan hayati menurut Taryono Darusman, General Field Manager PT RMU.
"Karena tidak ada indikator jelas mengenai kondisi kesetimbangan hayati yang dimaksud, maka kita punya referensi lokasi di mana kita harus merujuk ke kondisi hutan itu. Misalnya kalau di sini kita merujuk ke Taman Nasional Sebangau atau hutan bagian dalam yang masih intact (utuh)," katanya.
"Nah proses dari kondisi yang seperti ini menjadi kondisi seperti hutan itu kan butuh puluhan tahun. Itu kenapa izin restorasi itu 60 tahun, lebih lama dari HPH... dan bisa diperpanjang 35 tahun lagi," ia menambahkan.
Pada intinya, menurut dia, kegiatan restorasi perusahaan mencakup pemetaan kondisi area hutan dan non-hutan, pembuatan blok tanam setiap tahun, revegetasi dengan jenis tanaman yang ada di wilayah hutan, pencegahan dan penanganan kebakaran hutan, pencegahan penebangan pohon, dan pencegahan kerusakan lebih lanjut.
RMU mendapatkan penghasilan dari banyaknya emisi karbon yang bisa dihindari dengan kegiatan restorasi serta pengekangan deforestasi dan degradasi hutan yang dijalankan di wilayah kerja Katingan-Mentaya Project. Mekanisme penghitungan dan penjualan kredit karbon semuanya dilakukan sesuai VCS.
Peneliti senior dari Center for International Forestry Research (CIFOR) Amy Duchelle mengatakan Katingan-Mentaya Project termasuk proyek pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD) yang terbesar dan tertua di antara sekitar 350 proyek serupa yang bermunculan sejak 2007.
"Modelnya sangat menarik karena ini benar-benar tentang menghindari deforestasi di hutan gambut, yang merupakan ekosistem berharga, dan proyek REDD ini sangat penting untuk mitigasi perubahan iklim," katanya.
Baca juga: Restorasi gambut di Sumsel butuh Rp92 miliar
Ia mengapresiasi proyek restorasi tersebut melibatkan warga desa yang sebenarnya secara legal tidak punya hak atas lahan di area konsesi.
"Saya cukup terkesan melihat RMU tidak hanya mengakui tapi benar-benar menghargai hak mereka. Seperti memberi mereka area untuk bekerja dan berkontribusi bagi tujuan proyek, termasuk merestorasi area dengan spesies asli," katanya.
"Ada banyak kekhawatiran tentang proyek-proyek REDD+, bahwa hak warga lokal dilanggar, mata pencarian lokal dikompromikan, tapi saya kira dalam kasus ini benar-benar tampak kemitraan yang sangat kuat antara perusahaan swasta dan warga setempat," ia menambahkan.
Baca juga: Restorasi hutan perlu kemitraan multipihak
Namun, Perwakilan Food and Agriculture Organization (FAO) sekaligus Kepala Penasihat Teknis Program REDD+ Perserikatan Bangsa-Bangsa di Indonesia Adam Gerrand mengingatkan pentingnya memperhatikan keberlanjutan upaya pemberdayaan masyarakat kawasan hutan.
Ia mencontohkan, kegiatan produksi gula merah dari nira kelapa yang dilakukan oleh warga desa sekitar area konsesi RMU kalau kemudian berkembang justru bisa membawa dampak negatif bagi hutan gambut, memicu pengeringan lahan gambut untuk perluasan kebun kelapa.
"Sebaiknya ini hanya jadi transisi saja, harus ada alternatif lain untuk jangka panjangnya," kata dia.
Kegiatan usaha alternatif untuk warga desa di kawasan hutan gambut, menurut dia, sebaiknya dilakukan dengan tanaman yang pembudidayaannya tidak menyebabkan degradasi lahan gambut.
Dengan demikian, usaha ekonomi bisa selaras dengan kegiatan restorasi dan konservasi hutan, masyarakat dan hutan bisa menjalin hubungan harmonis yang saling menguntungkan, dan hutan bisa terus memberikan keteduhan.
Baca juga: Pengusaha siap koordinasi restorasi gambut
Pewarta: Maryati
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019