Perusahaan eksportir harus menelan rugi miliaran rupiah akibat Thailand menolak kelapa bulat ekspor dari Sumatera Selatan dengan alasan kualitas tidak memenuhi standar.perusahaannya terpaksa merugi Rp100 juta per kontainer atau Rp2,5 miliar jika ditotalkan yang banyak tergerus untuk ongkos kirim, ..
Direktur PT. Central Agro Indonesia selaku eksportir kelapa, Rajib di Palembang, Selasa, mengatakan penolakan atau reimpor 25 kontainer kelapa dari Thailand cukup mengagetkan perusahaannya lantaran kelapa yang ditolak kualitasnya tidak jauh berbeda dengan sebelumnya.
"Kami melihat tampaknya ada pengetatan regulasi terkait standar di sana (Thailand), namun kami tidak tahu perubahannya sebab jika alasan ditolak karena sudah tumbuh tunas ya sebelumnya seperti itu juga, tapi tetap diterima," ujar Rajin.
Menurut dia perusahaannya terpaksa merugi Rp100 juta per kontainer atau Rp2,5 miliar jika ditotalkan yang banyak tergerus untuk ongkos kirim, sebab kelapa baru dibayar jika lulus cek kontrol kualitas di Thailand.
Baca juga: Gubernur minta pemda dukung investasi di Halmahera Selatan
Meski demikian diakuinya ada kelapa yang sudah bertunas panjang saat sampai di Thailand dan boleh jadi tidak bisa lagi di terima, namun permasalahannya, kata dia, para eksportir agak susah memastikan kelapa tidak tumbuh tunas ketika sampai di Thailand, sebab proses dari petik sampai tiba di Thailand butuh waktu satu bulan.
"Kami setiap bulan bisa kirim hampir 50 kontainer kelapa segar, jika kelapanya segar pasti bertunas, nah kemarin-kemarin meski ada tunas masih bisa diproses oleh pabrik di sana," tambahnya.
Selain itu, ia menyayangkan ditolaknya kelapa secara keseluruhan, padahal dari 25.000 buah kelapa yang ada di dalam setiap kontainer tersebut tidak semuanya tumbuh tunas, artinya masih bisa dipilih atau sortir.
Tetapi karena sudah dikembalikan, pihaknya berupaya meminimalisir kerugian dengan menjualnya ke pabrik lokal untuk diolah menjadi arang atau kopra, kelapa yang diekspor sendiri mayoritas berasal dari para petani di Kabupaten Banyuasin.
"Kami meminta pemerintah bisa melakukan negosiasi terkait persoalan reimpor ini, karena baru kali ini kelapa Sumsel ditolak dalam jumlah banyak," kata Rajib.
Baca juga: Gapki Kalsel dorong ekspor sawit tak lagi bentuk CPO
Sementara itu Kepala Seksi Penyuluhan dan Informasi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Palembang, Dwi Harmawanto, mengatakan penolakan kelapa tersebut memang cukup banyak dan diperkirakan bertambah karena sebagian kapal masih dalam perjalanan kembali ke Palembang.
"25 kontainer itu yang sudah kembali ke eksportir dan melaporkan dokumennya ke Bea Cukai Palembang pada awal November, sedangkan lainnya masih perjalanan pulang," ujar Dwi.
Meski jumlah kontainer kelapa yang ditolak cukup banyak, namun marginya sangat kecil yakni hanya 1 persen jika dibandingkan total yang sudah diterima Thailand.
Berdasarkan data Bea Cukai Palembang, total ekspor kelapa dari Palembang ke Thailand sejak Januari - November 2019 mencapai 1.527 kontainer atau setara 37.106.342 ton dengan devisa senilai 6.258.796 dolar AS (Rp89.052.182.000 kurs 14.083).
Sementara total ekspor kelapa dari Palembang ke berbagai negara tujuan seperti Vietnam, Thailand, dan China selama 2019 mencapai 5.054 kontainer atau setara 94.050.050 ton dengan devisa senilai 16.218.759 dolar (Rp213.324.127.000 kurs 14.083).
Setidaknya ada lima perusahaan tercatat mengeskpor kelapa bulat ke Thailand pada Oktober 2019 yang kemungkinan mengalami penolakan atau reimpor dengan alasan kualitas.
"Mungkin setelah ini ada upaya dari pihak terkait untuk solusinya, karena Bea Cukai hanya mendata barang yang masuk dan keluar saja," demikian Dwi.
Pewarta: Aziz Munajar
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019