• Beranda
  • Berita
  • Evolusi bisnis dan budaya kerja melalui digitalisasi pelabuhan

Evolusi bisnis dan budaya kerja melalui digitalisasi pelabuhan

23 November 2019 12:44 WIB
Evolusi bisnis dan budaya kerja melalui digitalisasi pelabuhan
Ilustrasi: Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Bongkar Muat Tanjung Priok milik Pelindo 2, Jakarta. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama/pri. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Kita ingin semua operasional di pelabuhan lebih cepat, lebih mudah dan lebih murah

Transformasi layanan melalui digitalisasi menjadi fokus PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau yang dikenal dengan Indonesia Port Corporation (IPC) dalam tiga tahun terakhir ini.

Langkah demi langkah dilakukan guna mewujudkan digital port melalui enam pilar, di antaranya e-Registration, e-Booking, e-Tracking, e-Payment, e-Billing dan E-care di mana IPC sendiri telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp1 triliun hingga 2020 khusus untuk program digitalisasi.

Sejumlah produk berbasis Internet of Things pun telah hadir di Pelabuhan Tanjung Priok, contohnya Inaportnet, Marine Operating System (MOS), DO-Online, e-payment, Si Cantik OP, Gerbang Digital, dan e-ticketing, baik untuk layanan kapal, operasi bongkar-muat, pengecekan dokumen di pintu gerbang, pembayaran layanan jasa, perizinan hingga prosedur berbagai layanan di pelabuhan yang berbasis Veseel Management System (VMS), dokumentasi manifest, serta sistem manajemen kargo.

Wadah layanan digital yang ada di Pelabuhan Tanjung Priok secara faktual mulai mengubah proses bisnis layanan jasa, operasi teknis hingga tahap perizinan yang baru, semakin sederhana dan mendorong proses bisnis yang murah.

“Kita ingin semua operasional di pelabuhan lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah. Tak ada lagi yang manual. Semuanya berbasis digital dan cashless,” kata Direktur Utama IPC Elvyn G Masassya.

Dengan digitalisasi, kinerja perusahan pun terdongkrak, sebab efisiensi terjadi hampir di setiap lini yang kemudian turut menekan biaya operasional di lapangan.

Hingga triwulan III 2019, IPC membukukan laba perusahaan sebesar Rp2,21 triliun atau naik 18,38 persen jika dibandingkan dengan capaian triwulan III 2018.

Sementara itu, pendapatan usaha mencapai Rp8,56 triliun, naik sebesar 2,41 persen dibandingkan capaian periode yang sama tahun 2018.

IPC optimistis laba bersih tahun ini bisa melampaui laba bersih perusahaan tahun 2018 yang sebesar Rp2,43 triliun dengan mencermati peluang untuk memaksimalkan capaian arus pendapatan (revenue stream) maupun throughput pada dua bulan terakhir 2019.

Dilihat dari sisi kinerja operasional, pergerakan arus peti kemas hingga triwulan III 2019 tercatat sebesar 5,62 juta TEUs atau naik dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 5,58 juta TEUs. Demikian pula dengan arus non-peti kemas yang terealisasi sebesar 43,2 juta ton atau naik 1,14 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2018 yang sebesar 42,7 juta ton.

Adapun, untuk arus penumpang, IPC mencatat kenaikan dari 505.000 penumpang menjadi 905.500 penumpang.

“Arus penumpang yang tumbuh 81,11 persen persen menunjukkan bahwa moda transportasi laut kembali menjadi alternatif. Ke depannya IPC akan melakukan moderninasi dan digitalisasi sarana dan prasarana di terminal penumpang,” kata Elvyn.

Dengan tren positif yang diraih lewat digitalisasi, IPC memantapkan diri untuk melangkah lebih jauh dari sekadar operator pelabuhan menjadi fasilitator perdagangan (trade facilitator) pada 2024. Hal ini akan bermuara pada penurunan biaya logistik sebagaimana yang menjadi target pemerintah.

Di kancah global, IPC terus berkolaborasi dengan perusahaan pelayaran dunia dengan melayani kapal-kapal besar untuk melakukan pelayaran langsung dari Indonesia ke semua benua. Saat ini, dalam satu bulan rata-rata ada delapan kapal ukuran raksasa dengan kapasitas 10.000an TEUs yang bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok. Kapal-kapal itu membawa barang-barang ekspor maupun impor secara langsung ke negara tujuan.


Evolusi Budaya Kerja

Transformasi digital bukan hanya memberikan dampak signifikan terhadap kinerja perusahaan, melainkan pula mengubah budaya kerja yang dituntut cepat, transparan dan berorientasi terhadap pelanggan (customer oriented).

Pakar Kepelabuhanan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) Saut Gurning menjelaskan dengan digitaliasasi, budaya kerja jelas terdorong lebih responsif, fleksibel, serta multi-layers.

Dalam penanganan keluhan pelanggan di mana sebelumnya hanya bisa disampaikan kepada satu pimpinan penyedia jasa, namun dengan era keterbukaan digitalisasi salurannya menjadi banyak dan tidak mungkin ditangani satu pihak.

“Jadi cenderung semua lapisan harus bergerak. Baik dalam urusan strategi atau kebijakan hingga solusi sangat teknis di lapangan. Jadi proses penanganan bisnis ditutut menjadi lebih cepat tanggap oleh semua level fungsi manajemen,” katanya.

Layanan yang minim tatap muka (face to face) juga mereduksi potensi pelanggaran aturan, terutama dalam proses transaksi di mana selama ini pelabuhan dikenal sebagai tempat yang "basah", sehingga terciptalah tata kelola perusahaan yang baik dan citra pelabuhan menjadi bersih.

Penerapan teknologi dalam digitalisasi tak ayal menuntut Sumber Daya Manusia (SDM) IPC untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian digitalnya.

Untuk itu, investasi yang dikucurkan untuk digitalisasi juga harus melibatkan peningkatkan kualitas SDM sebagai salah satu aset terbesar perusahaan. Sebab, secanggih apapun alat tidak akan berfungsi maksimal apabila manusia di balik alat itu tidak memiliki kompetensi yang mumpuni.

Saut mengakui penerapan layanan digital IPC sudah baik, namun tetap perlu dioptimalkan lagi untuk keterpaduan sistem satu dengan yang lain dalam memenuhi ekspektasi perubahan drastis pada proses bisnis.

Selain itu juga diperlukan edukasi dan sosialisasi kepada pengguna jasa, sebab esensi dari penerapan digitalisasi jasa kepelabuhanan adalah perubahan cara pandang serta perilaku proses bisnis baru di industri 4.0

Terkait transformasi IPC dari operator pelabuhan menjadi fasilitator perdagangan, Saut menilai digitalisasi merupakan salah satu jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan jangka panjang tersebut.

“Dalam konteks pelabuhan di Indonesia, nampaknya sudah ada beberapa operator pelabuhan yang mencoba melangkah jauh menjadi trade-facilitator ini, walau tentu dalam tahap awal, semisal IPC atau Pelindo II,” katanya.

Untuk itu, tetap diperlukan kesiapan terutama hadirnya layanan yang menggabungkan jasa pelabuhan dan logistik yang dikenal dengan Port-Centric Logistics (PLC). Sebagai contoh, sementara ini fasilitas dokumentasi pabean, imigrasi dan karantina (CIQ) dilakukan oleh IPC tetapi juga oleh entitas lain, seperti Kantor Imigrasi dan Kantor Bea Cukai.

“Sehingga, bisa saja peran trade-facilitator ini mungkin memberikan inspirasi pengembangan peran IPC untuk masuk dalam ruang baru beyond port business,” kata Saut.

Baca juga: IPC jalin kerja sama dengan Otoritas Pelabuhan Sabah
 

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019