Banyak orang tertarik melihat struktur bangunan rumah Menara beratap jerami di Pulau Sumba. Mereka penasaran untuk melongok isi rumah yang seperti tertutup oleh atap rendah dan dinding bambunya.saya bersyukur bisa menyaksikan kehidupan mereka sehingga saya tahu masalah yang mereka hadapi
Rumah tradisional di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur itu, di kejauhan terlihat bagai rumah limasan Jawa, dengan bagian tengah atap menyerupai menara yang menjulang sekitar tiga hingga lima meter, dan keempat sisi atap bagian bawah landai hampir menutup setengah dari ketinggian dinding-dindingnya.
Toda, sebuah kampung kecil dengan 22 rumah tradisional terletak di dekat Pantai Pero di Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, sejak 18 November resmi membuka kesempatan bagi orang luar untuk singgah dan melihat-lihat. Bahkan, masyarakat setempat juga menerima siapa saja yang berminat menginap.
“Secara pribadi saya suka dan ini memberikan pengalaman yang unik bagi saya,” kata Jan Kang, pria muda asal Jerman yang menginap semalam di Toda pada 21-22 November 2019.
Jan menginap di Umma Toghi Alli yaitu rumah induk di Kampung Toda, milik keluarga Rendy Kaka yang sudah ditata sebagai satu dari dua rumah singgah di kampung tersebut.
Jan memuji keramahan warga kampung dan menikmati kehidupan sehari-hari warganya meskipun dia menilai kehidupan mereka terkesan monoton.
“Ada listrik, ada air, ada kamar mandi bersama di kampung itu bagi saya cukup,” ujar pekerja pada salah satu perusahaan mobil mewah di Jerman itu.
Dalam beberapa tahun terakhir, Jan sudah berwisata lima kali ke Indonesia, seperti Bali, Lombok, Kupang, Flores dari Labuan Bajau hingga Larantuka, dan Pulau Adonara, juga Pulau Jawa dari Banyuwangi hingga Bandung dan Jakarta, namun kesempatan tinggal di kampung tradisional ini adalah pengalaman baru baginya.
Dia mengaku bersyukur bisa tinggal dan melihat langsung kehidupan warga yang sangat sederhana bila dia membandingkannya dengan warga kota besar, apalagi dengan rumah-rumah di Eropa.
Ada sejumlah kampung tradisional yang saat ini sering dikunjungi wisatawan asing dan domestik, misalnya Ratengaro di daerah Kodi dan Weeleo di daerah Wewewa (baca: Wejewa), serta Toktok di daerah Keruni.
Baca juga: Kampung Toda jadi rumah singgah bagi wisatawan di Sumba Barat Daya
Jan juga sempat singgah ke Toktok, kampung tua yang diketahuinya dari laman/blog milik Mathias Sumba, seorang warga Jerman yang menyediakan informasi serba-serbi tentang Sumba.
Dia cukup puas untuk bisa masuk Kampung Toktok dan memandang dari ketinggian kampung ke kota Tambolaka di bawah dan Laut Sabu di kejauhan.
"Panoramanya indah seperti yang dilukiskan Mathias Sumba, sayang penduduk tidak memperkenankan saya memotret di kampung itu," tutur Jan yang ketika bertamu ke Kampung Toktok juga membawa oleh-oleh "sirih dan pinang" untuk warga.
“Kami sedang melakukan pendataan kampung tradisional untuk membuka lagi sekitar 20 kampung yang bisa dipromosikan sebagai rumah singgah wisata,” kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sumba Barat Daya dalam peresmian inovasi Kampung Toda sebagai rumah singgah bagi wisatawan, awal pekan ini.
Didarati penerbangan
Kampung tersebut berjarak sekitar 60 km dari Bandara Tambolaka yang setiap hari didarati penerbangan dari Denpasar, Kupang, dan Ende, dapat dicapai dengan kendaraan bermotor sewaan.
Penyewaan motor sebenarnya dilakukan tidak resmi dengan tarif Rp150.000 per hari untuk dikendarai sendiri atau kendaraan roda empat dengan tarif sewa Rp800.000 per hari, termasuk sopir dan bensin.
Tersedia kendaraan umum berupa bus umum pada pagi hingga sore dari sekitar terminal/pasar di Radamata atau pusat kota hingga Pasar Kodi, tarifnya relatif murah Rp20.000 per penumpang. Namun, penumpang mesti sabar mengikuti perjalanan yang lambat dan pemberhentian terakhir menuju kampung masih sekitar 3-4 km yang bisa ditempuh dengan ojek, dengan tawar menawar sekitar Rp10.000 atau sesuai keberuntungan.
Di Kampung Toda, seperti juga kampung tradisional yang lain di Sumba, pengunjung dapat melihat deretan rumah dan 89 kubur batu serta di rumah-rumah warga lazim terpajang taring-taring babi dan tanduk kerbau sebagai penanda bahwa pemilik rumah pernah menyembelih hewan-hewan itu dalam kegiatan adat.
Baca juga: Ahmad Ijtihad merawat kearifan kampung adat Wee Lewo lewat literasi
Pada saat terjadi pernikahan dan kematian, warga akan melaksanakan ritual adat dan keluarga maupun kerabat dekat serta jauh akan berdatangan untuk memberikan sumbangan sesuai tatanan adat berupa hewan, bahan makanan, dan kain tenun.
Suku Kodi juga mempunyai adat upacara syukur yang disebut Woleka.
Seorang warga yang berprofesi sebagai guru, Lukas Mone dan satu-satunya warga kampung itu yang bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris, menemani Jan dan juga mengajaknya pesiar keliling kampung dan sekitarnya, antara lain melihat lapangan pasola dan Pantai Ratengaro.
Dalam sejarahnya, kampung itu didirikan oleh seorang Rato atau ketua adat, yaitu Rato Modo (tahunnya tidak jelas) yang membangun rumah Umma Toghi Alli sebagai rumah induk untuk menyimpan benda-benda pusaka, yaitu tombak, pisau, parang, patung, dan lain sebagainya.
"Saya berharap akan ada banyak tamu yang akan datang ke kampung kami," kata Lukas.
Tinggallah
Pagi hari setelah kesibukan rutin dan kaum pria pergi berladang atau ke laut, atau melakukan pekerjaan lainnya, serta anak-anak bersekolah, maka di kampung tinggallah kaum perempuan dan anak anak balita.
Para perempuan itu ada yang menenun kain atau menganyam daun pandan yang dikeringkan untuk membuat benda-benda yang diperlukan di rumah. Kain-kain tenun selain dipakai sendiri juga dapat dijual.
Masyarakat juga memiliki kesenian musik gong dan tari yang dipelajari turun temurun dan dipertunjukkan pada acara-acara adat serta saat menerima tamu.
Rumah-rumah yang terbuat dari bambu utuh dengan empat tiang utama terbuat dari batang pohon yang utuh.
Bagian tengah rumah tepat di bawah Menara dipergunakan sebagai dapur untuk memasak dengan tungku terbuat dari tiga batu yang ditempatkan di atas lempengan logam yang diisi tanah dan dipadatkan, sehingga kendati dapurnya dibangun di atas jajaran lantai bambu, tidak akan terbakar karena dialasi tanah yang padat.
Di sebelah atas tungku terletak para-para untuk menyimpan bahan makanan dan di atasnya lagi adalah Menara yang juga difungsikan sebagai lumbung dan tempat menyimpan benda pusaka.
Baca juga: Lusiana Limono mengulik tenun Sumba Barat Daya
Membangun rumah memerlukan dana yang cukup besar karena setiap tahap harus disertai upacara adat yang artinya harus menyembelih hewan. Harga kerbau dan babi yang menjadi hewan utama untuk acara adat boleh dibilang mahal.
Kerbau dengan tanduk sepanjang lengan orang dewasa bisa seharga Rp30.000.000, sedangkan babi yang sudah bertaring harganya sekitar Rp15.000.000.
“Pada saat memilih pohon di hutan untuk menjadi tiang rumah ada upacaranya, lalu ketika mulai membangun ada upacara lagi dan saat mengganti bagian-bagian yang rusak harus ada upacara juga,” tutur Welly Woda Lado, Sekretaris Dinas Pariwisata Sumba Barat Daya.
Secara kasat mata, bangunan rumah itu sederhana saja, tetapi biaya pembangunannya cukup mahal bila dihitung dengan ritual yang menyertainya.
“Saya melihat hampir tidak ada apa-apa di rumah-rumah itu juga di kampung, saya bersyukur bisa menyaksikan kehidupan mereka sehingga saya tahu masalah yang mereka hadapi,” kata Jan Kang dengan mata menerawang.
Semakin dikenal
Kata Pasola sepertinya sudah semakin dikenal oleh para wisatawan yang mengunjungi Sumba. Bahkan, banyak turis yang sengaja datang untuk menyaksikan acara adat “perang tanding” dengan menunggang kuda dan bersenjatakan tombak kayu yang tumpul.
Para petarung itu akan melontarkan tombak ke arah petarung lain yang bermain dalam kelompok, dipimpin oleh rato. Pemenangnya adalah mereka yang mampu membuat lawan terjatuh.
Pada saat pasola, kuda-kuda berhias, para petarung juga memakai busana adat warna-warni, sementara warga dari kampung-kampung dan desa-desa yang menonton akan bersorak-sorai mengikuti setiap ketegangan dalam pertandingan tersebut.
“Sayangnya kepastian jadwal pasola terlalu dekat dengan waktu pelaksanaan sehingga sulit untuk merencanakan kunjungan,” kata Jan yang mengaku masih ingin berwisata lagi ke pulau yang berjuluk "Tanah Humba" itu.
Menyangkut jadwal pasola yang dihitung berdasarkan kalender bulan, Bupati Sumba Barat Daya dr. Kornelis Kodi Mete sempat mengajak bicara para rato dan tokoh adat di Kampung Toda.
Ia meminta mereka untuk menetapkan jadwal lebih awal sehingga promosi acara tersebut dapat dilakukan lebih awal.
Pasola, rumah khas Sumba Barat Daya, tenun, dan tari adalah daya tarik yang menonjol dari Sumba, salah satu pulau yang masyarakatnya masih kental menjalankan tradisi kuno, sementara kehidupan modern juga merangsek mereka.
“Saya merasa beruntung mendapat pengalaman unik tinggal bersama mereka,” kata Jan mengulangi kesannya.
Baca juga: Anton Prabowo ajak pelestarian tari sambil mencipta kreasi baru
Dia pun ingin agar warga Kampung Toda menjaga keaslian tradisinya, karena banyak manfaat dan maknanya, antara lain menjadi daya saji menarik bagi wisatawan.
“Misalnya untuk makan, tidak perlu menyuguhkan hidangan ala orang kota, turis akan suka yang autentik, tidak perlu roti, ubi rebus juga cukup,” katanya.
Debby, putri tuan rumahnya, memasak untuk Jan dan mereka berkomunikasi dengan memakai penerjemahan melalui telepon pintar.
"Saya menghargai apa yang dilakukannya untuk saya, semoga Kampung Toda semakin berkembang dan warganya bisa mendapat keuntungan untuk meningkatkan kehidupan," kata Jan yang berjanji untuk datang lagi ke Sumba.
"This is not my last trip in Sumba (Ini bukan perjalanan terakhir saya di Sumba)," katanya sambil bersiap pindah ke daerah selatan, di Kabupaten Sumba Barat, tempat dia akan menghabiskan waktu tiga malam lagi, setelah lima malam di Sumba Barat Daya.
Baca juga: Lembaga Adat Kampung Ratenggaro berdayakan warga agar sadar wisata
Baca juga: Agus Budi Nugroho dan musik Dungga Roro khas Sumba
Pewarta: Maria D Andriana
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019