Ketika hampir semua negara bereforia untuk mendorong para pebisnis start up semakin berkibar, kabar mengejutkan datang dari dunia bisnis digital yang selama ini dianggap sebagai lokomotif ekonomi terdepan dalam era Industri 4.0.Saya menduga akan terjadi start-up bussiness bubbles, tapi semoga saya keliru
Perusahaan start-up WeWork dengan bisnis utama berbagi ruang kerja dikabarkan terancam bangkrut dan akan mem-PHK 4.000 karyawannya.
Bahkan, mengutip New York Times, tidak kurang dari 1,25 miliar dolar AS menjadi angka kerugian yang diderita oleh WeWork yang selama ini menyandang predikat decacorn dengan nilai valuasi lebih dari 10 miliar dolar AS.
Ironi WeWork tak berhenti hingga di titik itu, perusahaan start up yang berbasis di New York Amerika Serikat itu harus menelan kenyataan pahit terjun bebasnya nilai valuasi perusahaan. Valuasi WeWork semula mencapai 50 miliar dolar AS menjadi hanya kurang dari 5 miliar dolar AS.
Kejutan belum selesai, Softbank Group raksasa investasi dari Jepang yang juga sebagai investor utama dari WeWork dan Uber menyatakan diri merugi sampai Rp100 triliun akibat anjloknya nilai valuasi Uber dan WeWork.
Selain menderita kerugian mencapai 5 miliar dolar AS, Uber sang pionir taksi online berpredikat hectocorn itupun mengalami nilai valuasi anjlok menjadi kurang dari 50 miliar dolar AS pada kuartal II tahun 2019. "Ada masalah dengan penilaian saya, itu yang harus direnungkan," kata CEO Softbank Group Masayoshi Son seperti dikutip dari Bloomberg.
Mendapati kenyataan pahit dunia start up yang menimpa WeWork dan Uber membuat publik kaget dan tak berpikir mengapa Uber yang selama ini menjadi legenda dunia start up merugi demikian besar.
Uber, pionir taksi online sejak 10 tahun lalu bahkan telah beroperasi di 785 kota metropolitan dan 173 negara faktanya kini nilai valuasinya terjun bebas sedemikian drastis.
Kekhawatiran kemudian melanda, ketika Uber saja bisa rontok, bagaimana dengan start up duplikasinya di negara lain termasuk Gojek. Selain itu ketika WeWork pun tumbang, bagaimana Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan OVO di tanah air.
Bakar Uang
Menanggapi fenomena tersebut, Direktur Generasi Optimis Research and Consulting (GORC) Frans Meroga Panggabean mengatakan bisnis start-up memiliki celah kegagalan cukup besar serta berpotensi menyebabkan bubble economy. "Dalam pandangan saya, fenomena gelembung spekulatif dalam bisnis start-up ini mulai muncul. Tinggal tunggu gelembungnya meletus," kata Frans.
Lulusan MBA dari Grenoble Universite, Prancis itu menambahkan, Forbes pernah merilis angka kegagalan dalam bisnis start-up itu mencapai 90 persen. “Masalahnya sekarang start-up punya citra sebagai 'satu-satunya' bisnis yang sedang berkembang dan populer, tanpa melihat potensi kegagalannya yang besar. Saya menduga akan terjadi start-up bussiness bubbles, tapi semoga saya keliru," ujar Frans Meroga.
Dalam riset Generasi Optimis Research & Consulting (GORC) terungkap bahwa gejala latah bisnis digital kali ini hampir sama seperti yang terjadi pada 2000. Kala itu muncul fenomena yaitu banyak perusahaan internet yang sempat mempunyai nilai triliunan berakhir gagal, tanpa nilai sama sekali. Fenomena ini dikenal dengan internet bubble. Pets.com bangkrut, diikuti dengan Boo.com, Webvan, hingga semua saham perusahaan internet turun 75 persen.
Para pemodal ventura sangat mudah memberikan pendanaan saat itu. Sebab, mereka berharap bisa segera balik modal begitu perusahaan itu IPO dan mendapat nilai tinggi.
Dengan derasnya kucuran uang, start up internet ini berlomba untuk menjadi besar dengan instan. Mereka banyak yang melakukan pemborosan untuk promosi, bahkan 90 persen anggaran dipakai untuk iklan agar bisa segera dikenal.
Mereka juga rajin "bakar uang" menawarkan layanan gratis atau promo diskon dengan harapan bisa segera meraup pasar.
Tingginya antusiasme investor yang sembarang menempatkan uang mereka, membuat para perusahaan internet punya nilai pasar di atas nilai riil mereka.
Persaingan para investor dan spekulasi, mendorong investor membayar saham perusahaan internet jauh lebih tinggi lagi dari nilai fundamental mereka. Contohnya Amazon dengan saham perdana dijual 18 dolar AS dan berakhir dengan nilai 100 dolar AS. Perbedaan harga ini yang membuat adanya bubble dan persainganlah yang membuat semakin besar dan akhirnya meledak.
Di Indonesia, Frans menilai kecenderungan penilaian valuasi berlebih bisa terjadi. Karena berdasarkan pengamatannya di lapangan, hingga saat ini belum ada penelitian khusus mengenai valuasi start up.
"Sederhananya kan nilai valuasi itu artinya sebuah nilai maksimal yang menarik bagi investor sehingga mau mengeluarkan uang untuk membeli saham atau investasi dalam sebuah perusahaan, di mana pastinya berharap segera menikmati keuntungan," jelas Direktur Generasi Optimis Research & Consulting (GORC) itu.
Menurut dia, saat ini kalau Gojek yang berpredikat decacorn mengklaim bernilai valuasi 10 miliar dolar AS atau Rp140 triliun, artinya akan ada investor yang berani berinvestasi di Gojek seharga maksimal Rp140 triliun lalu juga investor tersebut akan mendapatkan untung dari Rp140 triliun yang dikeluarkan bila berinvestasi di Gojek.
Dengan asumsi Gojek mendapat keuntungan 10 persen dari setiap transaksi berarti Gojek harus membukukan omzet Rp1.400 triliun dalam 1 tahun. Sedangkan total APBN Indonesia adalah berkisar Rp2.000 triliun sehingga nilainya akan berkisar 70 persen dari APBN.
Pihaknya berkesimpulan bahwa penilaian valuasi bisnis start-up kerap melebihi potensi riil karena bisnisnya tidak mempunyai modal sosial yang kuat dalam ekosistem bisnisnya.
“Strategi 'bakar uang' akan terus dilakukan demi tetap eksis dalam persaingan karena pasar hanya loyal terhadap harga dan promo serta diskon. Itu akan selalu menjadi lingkaran setan yang tidak ada habisnya jika sebuah start-up baru berusaha masuk dalam suatu market,” katanya.
Pihaknya menyarankan strategi dengan membangun modal sosial yang kuat terlebih dahulu dalam sebuah ekosistem dan bahkan melibatkan semua stakeholder dalam ekosistem tersebut untuk berkomitmen membesarkan usaha yang ada untuk kesejahteraan bersama. Jadi dukungan aplikasi digital hanyalah sebagai enabler dan akselerator setelah modal sosial tertanam dengan kuat antar semua pemangku kepentingan.
"Jadi jangan terbalik, seharusnya aplikasi digital baru dipakai sebagai kemasan untuk membantu dan mempercepat pencapaian tujuan usaha setelah hubungan antar semua peran dalam rantai pasok sudah terjalin dengan solid," Frans Meroga Panggabean yang juga VP Nasari Cooperative Group.
Bagi Frans, koperasi merupakan jenis badan usaha yang tepat untuk menaungi bisnis generasi milenial saat ini. Dengan prinsip bahwa koperasi adalah kumpulan orang, akan sangat berbeda dengan prinsip korporasi.
Dalam koperasi berlaku prinsip One Man One Vote, bukan One Share One Vote seperti korporasi. Kaidah itu akan selalu mempererat hubungan antar anggota dan selalu membudayakan musyawarah untuk mufakat yang pastinya otomatis memperkuat modal sosial dalam ekosistem usaha yang digeluti.
Dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 1998 tentang modal penyertaan dalam koperasi pun, apabila bisnis start-up berbentuk koperasi tetap dapat lincah dan tangkas untuk mengakses modal.
Modal dari para investor akan dapat diakses tanpa harus khawatir akan mendelusi keberadaan para pendiri.
Di sisi lain, badan hukum koperasi juga menjamin tata kelola yang lebih setara antara satu dengan beberapa pendiri lainnya. Pengambilan keputusan didorong melalui mekanisme musyawarah mufakat. Bila harus voting sekalipun, jumlah saham tak akan menjadi pertimbangan.
Koperasi Start Up
Jalan tengah dari semuanya itu barangkali memang koperasi. Namun ada celah pula yang kemudian berkembang di tanah air bahwa start up pun didorong untuk berkoperasi.
Indonesian Consortium For Cooperative Innovation (ICCI) bahkan sempat menemui Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki untuk menawarkan konsep start up coop dan koperasi platform yang diharapkan bisa menjadi solusi inovatif pengembangan koperasi dan UKM di Indonesia.
Ketua Komite ICCI (Indonesian Consortium For Cooperative Innovation) Firdaus Putra menilai milenial perlu dirangkul terutama para start up dan para jenius kreatif anak bangsa untuk terjun ke dalam gerakan koperasi.
“Caranya lewat start up coop, modelingnya sudah kami laksanakan dua tahun terakhir dan kemudian hari ini mulai terlihat polanya seperti misalnya salah satu tenant kami di Purwokerto kemudian ada di Lampung, Kudus, Bali, dan provinsi lain,” katanya.
Dengan cara begitu kata dia, milenial-milenial bisa masuk ke gerakan koperasi secara jangka panjang sekaligus juga meregenerasi koperasi sehingga wajahnya lebih fresh dan muda.
Menanggapi hal itu Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyatakan apresiasi dan dukungannya terhadap konsep yang ditawarkan sebagai salah satu strategi untuk melakukan rebranding koperasi di kalangan milenial.
Teten bahkan meminta kepada banyak pihak untuk menyusun rencana aksi yang lebih detil agar konsep tersebut bisa dijabarkan menjadi program dan kebijakan yang lebih taktis.
Dengan itu, potensi ledakan gelembung dari bisnis start up barangkali bisa ditekan di Tanah Air.
Baca juga: Kaum muda harus bisa membuka usaha rintisan
Baca juga: Bekraf dorong pelaku startup tajam melihat peluang
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019