Pernyataan itu merujuk pada era disrupsi, sebuah era yang merombak struktur komunikasi, bahkan disrupsi yang merupakan perubahan mendasar dari komunikasi nyata menjadi maya itu telah "membunuh" sejumlah media massa, sehingga disrupsi itu boleh dibilang sebagai "peperangan sesungguhnya".
Disebut "perang sesungguhnya" karena dahsyatnya melebihi perang dunia yang sudah pernah terjadi sebelumnya, karena perang dunia (perang nyata) itu masih menyodorkan pilihan berupa menang atau kalah (tetap hidup), sedangkan disrupsi (perang maya) itu menyodorkan pilihan lebih gawat yakni mati atau berubah.
Bahkan, "perang" dalam era disrupsi itu juga meluas ke komunikasi non-media massa. Kalau era disrupsi itu mengandaikan terjadinya "perang" media massa versus media sosial (media versus medsos) sebagai pertempuran yang wajar, maka era disrupsi juga mengandaikan "perang" antar-media sosial (medsos versus medsos).
Buktinya, era disrupsi tidak hanya menyediakan "lapangan" untuk pertarungan antara informasi (media massa) dengan informasi hoaks (medsos), namun era disrupsi juga menyediakan "ring" untuk pertikaian antara "buzzer" versus "buzzer" yang justru menghalalkan segala cara.
Dalam kondisi "edan" itu, siapa pun akan kelabakan untuk masuk ke lapangan/ring disrupsi yang sudah mirip zaman purbakala itu. Ibaratnya, teknologi semakin maju, namun manusia semakin purbakala, karena "menghalalkan" hoaks, buzzer, bully, atau hate speach (menyalahkan/mencela) seperti bukan manusia yang maju saja.
Namun, siapa pun tidak punya alternatif, kecuali memasuki lapangan/ring disrupsi dengan siasat yang waras, atau bermain "cantik" di tengah kegilaan tanpa obat itu. Caranya, jangan melayani "olok-olok" dengan "olok-olok", karena hal itu sama dengan membuang energi/waktu tanpa hasil.
Permainan yang "cantik" adalah perlawanan yang menggunakan cara-cara berbasis inovasi dan media sosial. Nah, permainan cantik seperti itulah yang menjadi "kata kunci" dari pernyataan Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, pada awal tulisan ini.
Artinya, negara (pemerintah/BUMN) maupun publik harus melawan dan perlawanan negara itu harus menggunakan "corong" (jubir/humas) yang tepat. Nah, "corong" yang pas sebagaimana dimaksud stafsus itu adalah ANTARA (kantor berita).
Apalagi, kantor berita negara (milik pemerintah dan masyarakat) itu didirikan para pejuang republik ini yakni Adam Malik dkk pada 13 Desember 1937 atau tahun ini merayakan usia ke-82 tahun. Awalnya, Adam Malik dkk mendirikan Kantor Berita ANTARA itu secara patungan dengan para wartawan pejuang lainnya, untuk melawan agitasi informasi dari kantor berita milik kolonial, yakni ANETA.
Akhirnya, ANTARA pun menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan bangsa. Peran ANTARA yang cukup historis adalah penyebarluasan informasi tentang Proklamasi Kemerdekaan RI 1945 lewat telex dari Jakarta ke seluruh penjuru negeri hingga negara lain yang akhirnya mendorong pengakuan "kemerdekaan" itu dari dunia (PBB) pada tahun 1949.
Contoh dokumennya, buku "Kiprah Kerobokan dan Peranan Markas 'K' Dalam Sejarah Pergerakan Perintis Kemerdekaan dan Revolusi Fisik 1945" yang ditulis oleh I Gusti Ketut Wibisana Aryadharma mencatat bahwa "Berita Proklamasi Kemerdekaan RI sampai ke Provinsi Bali karena dibawa oleh seorang wartawan ANTARA bernama Herman".
Tidak hanya itu, "kantor" ANTARA Bali di Jalan Sumatera 56, Banjar Titih, Denpasar, Bali (d/h Restoran Betty) itu juga menjadi lokasi pertama pengibaran bendera merah putih di Bali pada 18 Agustus 1945, sebagai tindak lanjut dari berita proklamasi yang dibawa wartawan bernama Herman itu. Hal yang sama juga terjadi di provinsi lain dan bahkan hingga ke negara lain.
Bukan hal baru
Walhasil, ANTARA sebagai kantor berita negara sudah lama menjadi "corong" (jubir/humas) bagi negara (pemerintah dan masyarakat) sejak didirikan hingga kemerdekaan dan bahkan hingga kini, karena itu harapan agar ANTARA menjadi "corong" negara, termasuk BUMN, bukanlah hal baru.
Bahkan, peran ANTARA sebagai "corong" negara (pemerintah dan publik) itu semakin penting di era disrupsi, karena "serangan" media sosial yang bertubi-tubi itu tidak cukup dilayani dengan "balasan" yang sifatnya satu per-satu, mengingat akun medsos itu bukan puluhan tapi ribuan, bahkan jutaan.
Alangkah strategisnya, bila negara melawan serangan medsos pada era disrupsi itu dengan dua cara/permainan "cantik" yakni: menunjuk jubir/humas, dan menjadikan ANTARA sebagai "corong" dari jubir/humas itu. Ibarat "menembak" kerumunan ala buzzer dengan persenjataan yang lengkap dan pamungkas.
Dengan begitu, pemerintah bisa fokus melakukan pembangunan untuk kepentingan publik dan hanya sesekali saja melayani "chat" warganet di kerumunan medsos, sehingga negara tidak disibukkan lagi oleh celotehan warganet yang kadang merengek tanpa data dan sangat mungkin "dipakai" buzzer untuk kepentingan politis tertentu.
Apalagi, sejak menjadi BUMN pada tahun 2007 melalui PP 40/2007 tentang ANTARA, maka ANTARA pun telah memiliki "senjata" yang sifatnya konvergensi dari teks/tulis, foto, video, infografis, hingga karangan khas/laporan khusus, yang hasilnya bisa sangat efektif.
Ada setumpuk bukti yang mendukung efektivitas itu, misalnya, ketika ANTARA dipercaya Pertamina (BUMN) dalam konversi minyak tanah ke gas pada tahun 2011, atau ketika dimintai bantuan oleh PT Krakatau Steel yang saat itu terancam "dijual" oleh negara hingga akhirnya batal. Lainnya, Bio Farma (polemik vaksin), PT Phapros, PT Inalum, dan sebagainya.
Tidak hanya itu, "corong" ANTARA itu juga menemukan efektivitasnya di Bali ketika pada September 2017 tersiar kabar tentang Gunung Agung di Karangasem, Bali, meletus dan berdampak pada kelesuan sektor pariwisata pada titik terendah, padahal letusan atau erupsi masih "batuk" saja dalam radius yang juga sangat terbatas yakn 10 kilometer dari gunung itu.
Saat itu, peran ANTARA di Bali itu seperti digambarkan Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya yang berusaha keras untuk tidak melakukan generalisasi wilayah terdampak, karena generalisasi itu terbukti berdampak negatif terhadap kondisi pariwisata.
"Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) anjlok hingga 1 juta orang dan potensi kehilangan devisa mencapai 1,2 miliar dolar AS (sekitar Rp15 triliun) secara nasional," kata Arief dalam sosialisasi manajemen krisis kepariwisataan (MKK) daerah di Jakarta (9/9/2019).
Akhirnya, ANTARA mewawancarai berbagai pihak untuk menunjukkan status erupsi Gunung Agung itu sebatas radius 10 km dari Gunung Agung, bukan se-Bali, sekaligus memetakan daerah terdampak untuk menggambarkan dampak sesungguhnya yang tidak segawat yang dibayangkan.
Ya, ANTARA yang sejak awal berdirinya memiliki tugas utama melayani media massa melalui pasokan konten lewat fasilitas berbasis web (wire/brand-A) secara konvergensi (tulis/teks, foto, video, infografis, features/lipsus) itu, kini menjalankan tugas lain yakni tugas negara dan tugas publik. Jadi, tugas ANTARA kini adalah tugas utama (media), tugas negara, dan tugas publik.
Untuk Tugas Negara itulah, ANTARA sebagai kantor berita memosisikan diri sebagai "corong" bagi negara/daerah dalam dua kepentingan yakni branding potensi negara/daerah dan "bela" Bali dari hoax/buzzer (counter issue). Caranya bisa dengan portal (konvergensi), koran digital, "perang" medsos, media luar ruang (i-Media/videotron), dan IMCS (konsultan komunikasi lembaga krisis). Jadi, Tugas Negara bagi ANTARA adalah Branding Potensi dan "Bela" Negara/Daerah/Publik.
Untuk Tugas Publik yang sifatnya non-media pun, ANTARA sudah terbukti cukup lama mengedukasi publik melalui serangkaian pelatihan jurnalistik (Jurnalisme Indonesia: 3E+1N), pameran fotografi jurnalistik (nyata-maya), dan kiprah-kiprah sosial/edukatif, seperti Magang, Media Visit, Lomba Esai, Media Partner, buku/katalog, video profil, dan "Tjatranata Dharma" (Award/Anugerah dan Museum/Pustaka).
Walhasil, ANTARA yang memiliki peran kesejarahan yang sangat nasionalis dan juga didukung success story saat membantu negara (pemerintah/masyarakat/BUMN/swasta) itu agaknya tak perlu diragukan lagi untuk didorong menjadi "corong" negara. Semoga, LKBN ANTARA yang merayakan HUT Ke-82 pada 13 Desember 2019 tetap teguh pada agenda "Dari ANTARA Untuk Bangsa/Negara".
Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019