Indonesia akan menerima tawaran Uni Eropa (EU) untuk konsultasi sebagai langkah awal proses penyelesaian sengketa yang akan EU ajukan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan pembatasan ekspor bijih nikel.
Permintaan melakukan konsultasi itu telah disampaikan EU melalui surat kepada Wakil Tetap/Dubes RI di Jenewa pada 22 November 2019.
“Sambil menunggu arahan dari pusat, tentunya sebagaimana lazimnya kita terima tawaran EU untuk konsultasi,” kata Dubes RI untuk PBB, WTO, dan Organisasi Internasional lainnya di Jenewa Hasan Kleib melalui pesan singkatnya, Rabu.
Baca juga: Uni Eropa ajukan sengketa terkait pembatasan ekspor nikel Indonesia
Konsultasi tersebut akan dilakukan dengan waktu, format, dan tempat yang disepakati bersama oleh Indonesia dan EU.
Kebijakan Indonesia yang disengketakan oleh EU mencakup pembatasan ekspor untuk produk mineral (khususnya nikel, bijih besi, kromium) yang digunakan sebagai bahan baku industri stainless steel EU; insentif fiskal terhadap beberapa perusahaan baru atau yang melakukan pembaruan pabrik; serta skema bebas pajak terhadap perusahaan yang memenuhi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).
EU mengklaim kebijakan tersebut melanggar Pasal XI.1 GATT mengenai larangan pembatasan ekspor dan impor; Pasal 3.1(b) Agreement on Subsidy and Countervailing Measures mengenai subsidi yang dilarang; dan Pasal X.1 GATT mengenai pelanggaran kewajiban transparansi peraturan.
Komisi Eropa, yang mengoordinasikan kebijakan perdagangan di EU yang beranggotakan 28 negara, mengatakan pembatasan itu secara tidak adil membatasi akses produsen UE terhadap bijih nikel khususnya, serta untuk batu bara, bijih besi, dan kromium.
Baca juga: Tolak diskriminasi sawit, Indonesia minta itikad baik EU
Komisi Eropa menyebut bahwa langkah-langkah tersebut adalah bagian dari rencana mengembangkan industri baja nirkarat Indonesia, yang merupakan produsen bijih nikel terbesar dunia.
Indonesia telah menjadi eksportir baja nirkarat terbesar kedua dan pangsa pasar EU meningkat dari hampir nol pada 2017 menjadi 18 persen pada kuartal kedua tahun ini, kata asosiasi baja Eropa, Eurofer, seperti dilaporkan Reuters.
Komisioner Perdagangan EU Cecilia Malmstrom juga mengatakan bahwa metode pembuatan yang digunakan di Indonesia menghasilkan karbondioksida hingga tujuh kali lebih banyak daripada proses yang digunakan di Eropa.
Di lain pihak, Wakil Menteri Luar Negeri RI Mahendra Siregar menilai aduan EU mengenai pembatasan ekspor bijih nikel Indonesia sebagai "salah sasaran", karena salah satu pertimbangan Indonesia dalam mengambil kebijakan tersebut yakni untuk menjaga lingkungan hidup.
Mahendra juga menambahkan bahwa dalam konteks perdagangan internasional, pembatasan ekspor demi menjaga lingkungan hidup dibenarkan dilakukan oleh negara berkembang.
"Kita lakukan (kebijakan) ini berdasarkan pertimbangan untuk menjaga lingkungan hidup. Lalu juga memperkuat bagaimana pemanfaatan tadi memberikan nilai tambah terhadap produk itu sendiri," kata Wamenlu.
Pemerintah RI menetapkan larangan ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020, atau dua tahun lebih cepat dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 yang memperbolehkan ekspor komoditas tambang tersebut hingga 2022.
Baca juga: RI-Uni Eropa perkuat kerja sama ekonomi lewat ARISE Plus Indonesia
Alasan pemerintah mempercepat pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel, pertama, karena cadangan nikel nasional yang diekspor sudah sangat besar. Tercatat cadangan bijih nikel yang bisa ditambang di Indonesia hanya tinggal 700 juta ton dan diperkirakan bisa bertahan 7-8 tahun ke depan.
Pertimbangan kedua adalah perkembangan teknologi yang sudah maju, sehingga Indonesia bisa memproses bijih nikel dengan kadar rendah, yang bisa dimanfaatkan pula sebagai bahan baku baterai lithium kendaraan listrik.
Sementara pertimbangan ketiga adalah smelter yang sudah mencukupi untuk mengolah bijih nikel menjadi feronikel. Saat ini terdapat 11 smelter pengolahan nikel yang sudah beroperasi di Indonesia, serta 25 smelter lain yang masih dibangun.
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2019