• Beranda
  • Berita
  • Menakar probabilitas MRT Jakarta beroperasi tanpa subsidi

Menakar probabilitas MRT Jakarta beroperasi tanpa subsidi

28 November 2019 11:32 WIB
Menakar probabilitas MRT Jakarta beroperasi tanpa subsidi
Ilustrasi: Rangkaian kereta Moda Raya Terpadu (MRT) ruas Lebak Bulus-Bundaran HI melintas di Stasiun Fatmawati, Jakarta. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc/pri)

Mengurangi subsidi apakah bisa? Bisa

Subsidi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini masih menjadi pendapatan terbesar bagi PT MRT Jakarta untuk tetap beroperasi.

Besaran subsidi untuk tahun pertama ini sebesar Rp560 miliar yang digunakan untuk menambal harga keekonomian tiket yang seharusnya Rp30.000, dipangkas menjadi Rp14.000 per penumpang dari Bundaran HI ke Lebak Bulus atau sebaliknya.

Adapun jumlah penumpang per hari yang diangkut oleh MRT saat ini mencapai 91.000 orang atau total 19,9 juta penumpang sejak pengoperasian perdana pada 24 Maret hingga 26 November 2019. Artinya besaran subsidi harus menutupi seluruh penumpang tersebut akan terus bertambah setiap tahunnya.

MRT Jakarta sendiri menargetkan bisa mengangkut 100.000 penumpang per hari pada 2020 dan kapasitas angkut maksimal yakni 173.000 penumpang per harinya.

Dalam hal ini, besaran subsidi harus ekuivalen dengan peningkatan jumlah penumpang untuk menarik mereka tetap menggunakan MRT mengingat kemampuan daya beli (willingness to pay) rata-rata di angka Rp10.000.

Namun, hingga berapa digit Pemprov DKI menyanggupi membayar subsidi MRT Jakarta dan sampai kapan? Belum lagi adanya kenaikan dari biaya-biaya lain seiring dengan inflasi.

Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar menyebutkan besaran subsidi untuk 2020 yakni Rp900 miliar.

Ia menuturkan sebelum menentukan tarif, pihaknya melakukan survei dan menemukan titik temu tarif yang mampu dibayar masyarakat DKI Jakarta dan sekitarnya secara umum adalah Rp10.000, meskipun itu masih dianggap tinggi oleh sebagian masyarakat karena membandingkan dengan ongkos Bus Transjakarta sebesar Rp3.500.

“Kita awal-awal coba dulu digratiskan, kemudian buat survei kira-kira masyarakat mau enggak tiket Rp10.000 dan ternyata mau. Memang dari awal kita sudah atur untuk sustainable (berkelanjutan). Walaupun subsidinya masih banyak dan ada potensi pendapatan lain untuk mensubsidi tiket itu,” katanya.

Sumber pendapatan terbesar MRT Jakarta masih dari non-tiket atau non-farebox yang menyumbang sebesar Rp225 miliar, dibandingkan dengan pendapatan dari tiket atau farebox sebesar Rp180 miliar hingga akhir 2019.

Dari pendapatan non-tiket itu, kontribusi paling besar yakni periklanan 55 persen, hak penamaan stasiun (naming rights) 33 persen, telekomunikasi dua persen, dan ritel serta Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) satu persen. Adapun untuk sembilan persen lainnya bersumber dari bunga bank dan selisih kurs senilai Rp40 miliar.
 

Salah satu sumber pendapatan non-tiket atau non-farebox MRT Jakarta, yakni retail. Meskipun hanya menyumbang satu persen ke postur pendapatan, tetapi diyakini meningkatkan jumlah penumpang terangkut (ridership). (ANTARA/ Juwita Trisna Rahayu)


Proses Panjang

Saat ditanya apakah bisa MRT Jakarta lepas dari subsidi pemerintah, William menjawab hal itu bukan tidak mungkin untuk dilakukan.

“Mengurangi subsidi apakah bisa? Bisa. Tapi, kita tunggu sampai keuntungan bisa untuk membayar dividen dan dipakai untuk mengurangi subsidi dari pemerintah,” ujarnya.

Setidaknya MRT Jakarta harus membukukan angka dividen di Rp900 miliar untuk mengganti besaran subsidi, artinya harus mengejar pendapatan dari nontiket ditambah dengan pengelolaan Kawasan Berorientasi Transit (Transit Oriented Development/TOD).

Dengan demikian, untuk benar-benar lepas dari subsidi, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar sampai area komersial terpakai maskimal dan TOD terbangun.

“Supaya bisa terjadi, MRT diberi kewenangan harus dapat non-farebox lainnya ,sepeti TOD, kalau asumsi TOD itu 12 tahun itu, berarti hilang subsidi 2030. Kalau betul-betul didapatkan,” katanya.

Namun, menurut William, subsidi tidak perlu dihilangkan tetapi dikurangi atau harga tiket disesuaikan seiring dengan meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat.

Ketika subsidi dikurangi, maka membuka ruang fiskal pemerintah yang lebih luas untuk mengembangkan, terutama infrastruktur MRT yang ditargetkan mencapai 230 kilometer lintasan hingga 2030.

“Tugas menambah business expansion’ ada di tangan pemerintah. (Pengurangan subsidi) supaya pemerintah punya fiscal space dan MRT bisa diperpanjang (lintasannya). Kalau dipakai untuk subsidi, uangnya akan habis untuk membayai PSO tadi,” katanya.

Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Zulfikri mengatakan saat ini belum ada skema ataupun payung hukum pemberian subsidi dari pemerintah pusat ke BUMD, seperti MRT Jakarta.

Karena sebagai BUMD, lanjut dia, maka yang berwenang untuk memberikan subsidi adalah pemda, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta.

Terkait kemungkinan pemerintah pusat mengalokasikan subsidi untuk MRT Jakarta, Zulfikri masih mengkaji.

“Selama ini belum pernah dibicarakan ke saya. Seharusnya DKI masih mampu memberikan subsidi itu, karena pemerintah pusat selama ini regulasinya memang memberikan PSO ke KAI, untuk KCI dan perintis,” katanya.
 

Penumpang MRT Jakarta memenuhi kursi yang tersedia. Hingga saat ini MRT Jakarta mengangkut 91.000 penumpang tiap harinya atau melampaui target Pemprov DKI Jakarta sebanyak 65.000 penumpang per hari. (ANTARA/ Juwita Trisna Rahayu)


Tidak Serta Merta Hilang

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang mengusulkan pengganti subsidi pemerintah bisa bersumber dari pendapatan jalan berbayar elektronik (electronic road pricing) yang akan dimulai pada dua tahun mendatang.

“Jadi itu satu paket namanya congestion pricing dari ERP itu masuk ke kas Pemda dan dari situ seharusnya bisa untuk subsidi MRT,” katanya.

Namun, menurut Deddy, tetap saja peran subsidi itu sendiri tidak bisa hilang karena merupakan upaya dari pemerintah untuk menggeser pengguna kendaraan pribadi ke angkutan massal.

Kendati demikian, lanjut dia, sangat memungkinkan bagi MRT Jakarta untuk bisa mandiri dari subsidi, layaknya MTR Hong Kong yang apabila tarifnya digratiskan pun masih untung karena area komersial dan TOD-nya yang sudah terbangun dan berjalan (established).

“Di Jepang juga tanpa subsidi bisa jalan karena memang mereka jualan TOD. Pemda DKI dan MRT Jakarta kalau jualan TOD, lalu komesial, iklannya jalan dan sedikit demi sedikit mengurangi subsidi,” katanya.

MRT Jakarta memiliki 13 stasiun di mana semuanya berpotensi untuk dijadikan area komersial, kemudian juga area bawah tanah tidak kalah menarik untuk dikembangkan, seperti mall, kafe dan lainnya.

Dengan begitu, akan menarik orang untuk pergi menggunakan MRT dan meningkatkan jumlah penumpang terangkut atau ridership, sehingga mendongkrak pendapatan dari tiket yang berujung pada pengurangan subsidi.

Deddy mengatakan yang terpenting adalah bisa mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi, terutama dari kalangan menengah dan menengah atas ke angkutan massal yang saat ini penggunaan angkutan umum di Jabodetabek masih 25 persen.

Seiring dengan hadirnya MRT Jakarta, diharapkan turut membantu target pemerintah di mana tingkat penggunaan atau share transportasi publik 60 persen di 2029.

Key Success Indicator MRT adalah perpindahan moda dari kendaraan pribadi ke MRT bukan perpindahan antar moda angkutan umum” katanya.


Baca juga: Jika kinerja terjaga, MRT Jakarta bersiap melantai di bursa pada 2022

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019