Konstruksi harus bagus, apabila tidak ada masalah dari konstruksi seperti persinyalan, maka on time performance (tinggat ketepatan waktu) akan bagus
Menghadirkan moda transportasi baru lebih mudah ketimbang merawatnya, namun hal itu tidak berlaku pada MRT Jakarta.
Direktur PT MRT Jakarta Willian Sabandar menuturkan bahwa kereta Ratangga ini dirancang untuk moda transportasi yang berkelanjutan.
William memiliki empat jurus agar MRT Jakarta bisa terus melesat membelah kota Jakarta dan sekitarnya dengan bisnis yang positif dan turut berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Pertama, dimulai dengan konstruksi yang bagus dan berkelas dunia.
Proyek MRT Jakarta adalah proyek penugasan sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 53 Tahun 2017 tentang Penugasan kepada MRT Jakarta untuk Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana MRT.
Penugasan dan pendanaan ini ditanggung oleh pemerintah, di mana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 51 persen dan Direktorat Jenderal Perkeretaapian kementerian Perhubungan 49 persen.
Pendanaan senilai Rp16 triliun untuk Fase I menggunakan pinjaman dari Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) dengan skema pinjaman ketat (tight loan), yakni kontraktor, konsultan hingga komponen sarana harus melibatkan Jepang.
Artinya, setiap proses konstruksi, mulai dari studi kelaikan hingga pembangunan dilakukan serta diawasi oleh Jepang yang diyakini memiliki standar kualitas tinggi.
“Konstruksi harus bagus, apabila tidak ada masalah dari konstruksi seperti persinyalan, maka on time performance (tingkat ketepatan waktu) akan bagus,” kata William.
Kedua, memastikan harga tiket yang dibanderol sesuai dengan kemampuan membayar (willingness to pay) masyarakat secara umum di wilayah DKI Jakarta.
MRT Jakarta melakukan survei untuk mengetahui tingkat kemampuan membayar masyarakat Jakarta dan sekitarnya, hasilnya adalah di angka Rp10.000 di mana jauh dari nilai keekonomian harga tiket yang seharusnya Rp30.000.
Untuk menjaga agar masyarakat tetap mau menggunakan MRT Jakarta, Pemprov DKI Jakarta menyuntikan subsidi sebesar Rp560 miliar untuk tahun ini demi menambal sisa uang yang harus dibayar penumpang, sehingga didapat tarif Rp14.000 dari Bundaran HI ke Lebak Bulus dan sebaliknya.
“Kalau tarif terlalu rendah juga tidak bagus karena orang cenderung tidak mengapreasiasi, padahal ini kelasnya premium,” katanya.
Baca juga: MRT targetkan angkut 100.000 penumpang per hari di 2020
Ketiga, pendapatan dari non-tiket (non farebox) harus tinggi, baik itu dari periklanan, hak penamaan stasiun (naming rights), telekomunikasi maupun retail dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Sumber pendapatan terbesar MRT Jakarta, yakni masih dari non-tiket atau di mana menyumbang sebesar Rp225 miliar, dibandingkan dengan pendapatan dari tiket atau farebox sebesar Rp180 miliar hingga akhir 2019.
Dari pendapatan non-tiket itu, kontribusi paling besar, yakni periklanan 55 persen, hak penamaan stasiun (naming rights) 33 persen, telekomunikasi dua persen dan retail serta Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) satu persen.
Sebagai contoh, salah satu hak penamaan stasiun, yakni Stasiun Lebak Bulus yang sudah dikontrak dengan Grab dengan nilai Rp33 miliar per tahun.
“Untuk itu, naming rights ini harus kita pacu untuk menambah pendapatan dari sisi non-farebox,” katanya.
MRT GANDENG SEOUL KOREA UNTUK TINGKATKAN
Pendapatan tersebut merupakan andalan MRT Jakarta karena tidak bisa bertumpu pada pendapatan dari tiket yang cenderung tidak signifikan dan masih disubsidi pemerintah.
Artinya, yang harus dilakukan adalah meningkatkan layanan. Dengan layanan yang baik, maka akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan itu menjadi magnet yang mendatangkan prospek bisnis lebih menjanjikan ke depannya.
“Ekuilibrium jangan terganggu. Performance (kinerja) harus bagus, kualitas harus bagus. Ini ada simbiosis mutualisme antara layanan, konstruksi, bisnis dan subsidi. Ini akan membuat perputaran menjadi sehat. Ini baru bisa kita create (ciptakan),” katanya.
Ke empat, fasilitas pengelolaan Kawasan Berorientasi Transit (Transit Oriented Development/TOD) yang disebut-sebut sebagai salah satu roda penggerak pendapatan terbesar.
Pasalnya, potensi nilai dari pengembangan lima kawasan yang akan dibangun TOD mencapai Rp242 triliun per tahun, di antaranya Dukuh Atas, Istora Senayan, Blok M, Fatmawati dan Lebak Bulus.
Di kawasan itu akan dibangun pusat kegiatan masyarakat yang terintegrasi dengan baik itu, perkantoran, perbelanjaan maupun hunian vertikal yang dirancang bisa dijangkau oleh milenial.
“Daya dukung kawasan itu tumbuh seiring hadirnya transportasi pubik. Begitu transportasi bagus, value (nilai) akan naik. Kalau enggak ada bangunan-bangunan ini, enggak ada bangkitan tinggi. Banyak kegiatan yang terjadi di MRT,” katanya.
Saat ini pihaknya masih menunggu regulasi dari Pemprov DKI Jakarta, yakni Pergub 140 sebagai payung hukum pembangunan TOD tersebut serta Panduan Rancang Kota (PRK).
Integrasi Pembayaran
Agar berkelanjutan, keterpaduan tidak hanya dibangun dari sisi sarana dan prasarana, tetapi juga dari sisi pembayaran.
Ada empat cara pembayaran tiket MRT Jakarta, yakni kartu perjalanan tunggal (singe trip ticket), kartu perjalanan berganda (multi trip ticket/MTT), kartu yang dikeluarkan oleh bank dan menyusul QR Code.
Kartu Jelajah Berganda ini resmi diluncurkan setelah mendapat izin dari Bank Indonesia berdasarkan surat Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Filianingsih Hendarta (Asisten Gubernur Bank Indonesia), nomor 21/447/DKSP/Srt/B tertanggal 14 November 2019.
Persetujuan izin ini diberikan Bank Indonesia kepada MRT Jakarta dan belaku selama lima tahun sampai dengan 14 November 2024 dan dapat diperpanjang kembali.
Namun, BI kembali mensyaratkan apabila kartu jelajah berganda itu tidak terkoneksi untuk pembayaran kereta rel listrik (KRL) dan Bus Transjakarta pada Januari 2022, maka izin akan dicabut.
“Kita mulai dengan MTT, pelan-pelan kita bergerak, tahun depan interoperability dengan Transjakarta dan LRT. Bank Indonesia mensyaratkan Januari 2022 harus terjadi, kalau enggak, izin dicabut,” katanya.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang menilai agar berkelanjutan, MRT Jakarta perlu melakukan berbagai upaya, yakni yang paling mendasar adalah operasi dan perawatan.
Selain itu juga harus mengembangkan TOD dan area komersial yang ada di sekitar stasiun. Ia meyakini apabila digarap secara maksimal maka bisa dimungkinkan tidak akan bergantung lagi pada subsidi pemerintah.
“Ini harus digarap serius, jadi MRT tidak bisa mengandalkan dari subsidi terus,” ujarnya.
Deddy mencontohkan salah satu TOD yang dibangun dan dikelola secara baik adalah TOD MTR Hong Kong yang berimbas pada perpindahan masyarakat ke angkutan umum yang sangat masif, yakni 92 persen.
“Seperti di Hong Kong tingkat penggunaan angkutan massal itu 92 persen dengan PDB yang tiga hingga empat kali lipat dari Indonesia, artinya orang-orang kaya di sana naik angkutan umum atau MTR-nya,” katanya.
Namun, Ia menambahkan peran pemerintah harus ada seperti menaikkan tarif parkir di sekitar stasiun, menyediakan hunian terjangkau di kawasan TOD, serta regulasi yang ramah terhadap investor yang akan membantu mengembangkan kawasan serta bisnis MRT.
Baca juga: Jika kinerja terjaga, MRT Jakarta bersiap melantai di bursa pada 2022
Baca juga: MRT Jakarta optimistis bukukan laba Rp70 miliar pada 2019
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019