• Beranda
  • Berita
  • Ekonom soroti kebijakan terkait ekspor bijih mentah nikel

Ekonom soroti kebijakan terkait ekspor bijih mentah nikel

28 November 2019 20:22 WIB
Ekonom soroti kebijakan terkait ekspor bijih mentah nikel
Pakar Ekonomi Politik Ichsanuddin Noorsy. (ANTARA/Yudhi Mahatma) (ANTARA/Yudhi Mahatma/)
Pakar ekonomi Ichsanuddin Noorsy menyoroti kebijakan yang awalnya melarang ekspor bijih mentah nikel sampai 2022 dalam rangka pembangunan smelter dan peningkatan kualitas nikel Indonesia, tetapi kemudian dipercepat hingga 1 Januari 2020.

Ichsanuddin Noorsy dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis, mengingatkan bahwa sejauh ini Jepang, Jerman dan China merupakan tiga negara yang bersaing tajam di industri mobil. Di tiga negara itu, mereka bersaing dalam menghimpun nikel sebagai bahan baku baterai mobil.

"Tiongkok sendiri sudah menerapkan electric vehicle-nya pada 2025 itu 35 persen. Itu berarti Tiongkok harus segera membutuhkan baterai. Kalau dia mau baterai litium dia butuh nikel sesegera mungkin. Artinya kebijakan tersebut membenarkan ekspor nikel ke Tiongkok, itu sedang menolong Tiongkok memenangkan persaingan," katanya.

Ichsanuddin memastikan di tengah-tengah persaingan tidak sehat antarnegara dan antarkorporasi saat ini, hanya negara yang dieksplorasi sumber daya alamnya secara mentah yang selalu merugi.

Ia berpendapat bahwa dalam hal perebutan bijih mentah nikel ini, Indonesia dinilai berpotensi merugi apabila mengekspor ke China.

Menurut dia, dengan kebijakan seperti itu menimbulkan pertanyaan akan adanya kepentingan tertentu untuk mengokohkan keberadaan China di panggung internasional.

Dia juga menilai kebijakan itu juga membuat lesu penambang nikel berkalori rendah dan berkalori tinggi, karena penambang nikel yang punya berkalori rendah dinilai pasti tidak mau membangun smelter dan mengelola nikel mentah.

Pada akhirnya, ujar dia, bijih mentah nikel dengan kisaran kalori sebelas persen dijual murah, padahal masih bisa dikelola sebagai litium yang baik "Yang rugi Indonesia karena enggak dapat nilai tambah," ujarnya.

Ichsanuddin juga menilai bahwa kebijakan larangan ekspor yang dianulir sendiri membuktikan inkonsistensi karena penambang yang sudah membangun smelter dengan modal besar harus merugi sebelum produksi terjadi.

Ia melihat kebijakan itu membuat iklim investasi di Nusantara tidak memiliki kepastian. Hal ini juga mengonfirmasi pandangan Bank Dunia terhadap Indonesia sebagai negara yang inkonsistensi terhadap investor karena anomali kebijakannya.


Baca juga: Luhut sebut penghentian ekspor nikel hanya sementara sebelum 2020
Baca juga: BKPM: Pengusaha nikel sepakat tidak ekspor bijih mentah nikel
Baca juga: Presdir Vale: ekspor bijih nikel mentah berdampak negatif

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019