Wacana ini menyusul isi pidato Presiden Joko Widodo pada saat dilantik pada 20 Oktober 2019, dimana salah satu pernyataannya, akan memangkas pejabat struktural eselon III dan IV yang jumlahnya sekurang-kurangnya mencapai 441.000 orang. Cukup hanya ada dua jabatan struktural eselon, yaitu eselon I dan II pada birokrasi pemerintahan.
Tulisan ini mencoba menganalisis dampak dari kebijakan pemangkasan eselonisasi di kalangan birokrasi. Apa keuntungannya. Apa risikonya. Apa peluang yang diperoleh. Apa hambatan yang akan dihadapi. Apa yang menjadi pertimbangan eselon III dan IV dipangkas ?
Kabinet Jokowi memiliki karakteristik kerjanya ingin cepat, akurat, lincah, dan berani mengambil keputusan serta mengeksekusi. Salah satu cara adalah, organisasi pemerintahan harus efektif, ramping, kaya fungsi tapi miskin struktur. Perubahan menjadi pilihan yang tepat.
Mengubah cara pandang
Intinya, dengan dihapusnya eselon III dan IV, suka atau tidak suka akan berpengaruh terhadap organisasi birokrasi.
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, perubahan lembaganya, wadahnya, strukturnya harus diikuti dan disikapi dengan perubahan cara pandang, pola pikir, sikap dan perilaku semua anggota organisasi birokrasi itu.
Syarat ini tidak dipenuhi, sudah barang tentu, akan sia-sia. Kontraproduktif. Buang-buang waktu. Mengutip bukunya Miftah Thoha, berjudul Perspektif Perilaku Birokrasi, pertama, organisasi itu merupakan suatu institusi yang rasional, dengan maksud untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Perilaku organisasi yang rasional, dapat dicapai dengan baik melalui suatu sistem aturan yang jelas dan otoritas yang formal. Koordinasi dan pengendalian merupakan kunci tercapainya rasionalitas dalam organisasi.
Kedua, struktur organisasi dikatakan baik bagi organisasi, atau paling tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi, maka struktur tersebut harus dirancang secara serius.
Paling tidak ada empat tahapan yang harus dipersiapkan. 1) menentukan tujuan yang hendak dicapai, 2) memperhatikan kondisi lingkungan yang mengelilingi organisasi, 3) sifat pelayanan yang dihasilkan atau yang diberikan, 4) teknologi yang dipergunakan dalam proses pelayanan tersebut.
Ketiga, spesialisasi dan pembagian kerja yang jelas dan terukur akan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayananan. Apalagi kalau diimbangi dengan kecakapan pelaksanaan dan profesional yang tinggi.
Keempat, hampir semua persoalan dalam organisasi diakibatkan oleh struktur organisasi. Oleh karenanya, cara mengatasinya menyempurnakan atau menggantistruktur terserbut.
Nah, rupa-rupanya Jokowi membaca bahwa semua persoalan dalam organisasi birokrasinya, kurang atau tidak efektif diakibatkan oleh struktur organisasi. Maka salah satu langkah merombak struktur yang ada, yaitu memangkas/membuang struktur padaeselon III dan IV.
Keuntungan dan risiko
Apa keuntungan dengan dipangkasnya eselon III dan IV? Keuntungannya, terbangunnya tata kelola pemerintahan untuk pelayanan.
Filosofi tata kelola pemerintahan untuk pelayanan, hakekatnya mendekatkan penguasa (pemerintah) dengan yang dilayani (masyarakat). Rentang kendali semakin pendek, singkat, simple, diharapkan bisa terwujud salah satu pilihan dengan menyederhanakan atau memangkas dua rentang kendali yaitu eselon III dan IV.
Tidak ubahnya keuntungan ini, terjadi deregulasi organisasi birokrasi. Meja-meja birokrasi semakin sedikit. Waktu semakin pendek. Kalau bisa dipersingkat kenapa mesti dilama-lamakan.
Keuntungan berikutnya, membangun perilaku organisasi yang rasional, di mana bisa dicapai dengan baik melalui suatu sistem aturan yang jelas dan otoritas yang formal. Koordinasi dan pengendalian merupakan kunci tercapainya rasionalitas dalam organisasi.
Sedangkan risiko dengan dihapusnya eselon III dan IV, dampaknya adalah ASN (Aparatur Sipil Negara) belum siap atau perlu masa persiapan perubahan perilaku organisasi diakibatkan pola dan skema kerja operasional birokrasi, yang semula dikendalikan oleh pejabat struktural paling dekat, yaitu eselon IV bisa dibilang kerja kolektif, berubah menjadi cenderung kerja individual.
Sebelumnya, tanggung jawab ada di pundak pejabat eselon, sekarang semua ASN harus bertanggung jawab sesuai dengan fungsinya.
Skema inilah yang perlu persiapan matang. Risikonya, roda pelayanan bisa tidak efektif. Risiko perubahan dari pejabat struktural menjadi pejabat fungsional juga perlu diantisipasi.
Selain merasa asing dengan jabatan fungsional, banyak pejabat struktural tersebut juga khawatir akan penurunan pendapatan yang akan mereka terima nantinya.
Memang jabatan fungsional merupakan jabatan yang lebih menekankan kemampuan, kapasitas dan kompetensi individu atau mandiri dalam melaksanakan tugas jabatannya, baik yang bersifat keahlian ataupun keterampilan.
Sedangkan pada jabatan struktural (eselon) merupakan jabatan yang lebih mengutamakan kemampuan mengelola tim atau sekelompok orang dalam rangka mencapai tujuan dalam tugas jabatannya. Inilah salah satu tantangan pejabat struktural bila nanti pindah ke jabatan fungsional.
Beda, selama ini mereka didukung penuh oleh timnya atau orang lain secara struktural, maka bila bergeser ke jabatan fungsional harus mampu mandiri melaksanakan tugas jabatannya tersebut. Tidak lagi memiliki anak buah secara struktural.
Tentu bagi sebagian dari pejabat struktural tersebut akan merasa sangat berat bila melakukan hal tersebut secara mandiri karena selama ini di jabatan struktural dengan wewenang yang dimiliki mereka mudah memerintah bawahannya. Hal ini akan terasa bagi pejabat eselon III karena selama ini memimpin eselon IV dan staf pelaksana. Sekarang tanpa eselon yang notabene sama dengan yang tadinya sebagai anak buah.
Pada prinsipnya, suatu organisasi membutuhkan tata kelola yang baik. Artinya, semua sumber daya manusia dalam organisasi harus dapat bekerja dan berkoordinasi dengan efektif dan efisien. Kuncinya komunikasi.
Di sini semua ASN adalah pemimpin, paling tidak memimpin dirinya sendiri. Harapannya organisasi akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Organisasi akan sehat. Pola dan skema bergeser menjadi hubungannya tidak mengandalkan hubungan vertikal tetapi jaga horizontal.
Ini sangat cocok ketika eselon III dan IV dihapus. Hanya saja, pemerintah dalam hal ini Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, harus hati-hati karena tidak semua organisasi pemerintahan ideal tanpa eselon III dan IV.
Peluang dan Hambatan
Peluang ketika rencana penghapusan eselon III dan IV dilakukan, ada rujukanyang perlu dicermati yaitu tak ada kemajuan tanpa perubahan. Kalau kepingin maju, yaharus berubah.
Bahkan organisasi yang cerdas, pemimpin harus bertindak dan mampuuntuk memperkirakan perlunya perubahan sebelum krisis timbul. Organisasi harus berubah tanpa menunggu krisis terlebih dahulu.
Perubahan terjadi demikian cepat dalam masyarakat kita, apalagi pengaruh global dan persaingan semakin tajam diperlukan daya saing yang tinggi, sehingga kesanggupan birokrasi kita menanggulanginya sering tidak seimbang dan mampu mengikuti dengan perubahan-perubahan itu sendiri.
Tiada satu pun yang tetap, kecuali perubahan. Di sinilah sebagai pelayan masyarakat, birokrasi dituntut untuk selalu mampu menjawab kebutuhan zaman. Masyarakat tuntutannya semakin variatif dan serba praktis, ekonomis, cepat, akurat serta mudah dan terpercaya.
Birokrasi yang harus melayani dan menyesuaikan bukan sebaliknya, masyarakat yang harus melayani dan menyesuaikan. Inilah peluang di mana pemerintah harus hadir.
Tantangan yang dihadapi karena perubahan, adalah waktu mengubah segala-galanya kecuali sesuatu dalam diri kita, yang selalu kaget karena perubahan.
Perubahan saja tidak melahirkan kemajuan, tapi tanpa perubahan tidak mungkin ada kemajuan. Di sinilah peran masyarakat penikmat pelayanan harus siap dengan perubahan, penghapusan eselon III dan IV. Alvin Toffler sudah memperingatkan adanya goncangan masa depan, future shock.
Masyarakat juga harus mengikuti perubahan dengan dihapuskannya eselon III dan IV dikaitkan dengan pelayanan.
Perubahan secara efektif
Bagaimanakah perubahan dapat diperkenalkan lebih efektif? Kembali ke perubahan struktural birokrasi, diakui atau tidak diakui, banyak jajaran birokrasi, terutama pejabat eselon III dan IV memiliki kecenderungan untuk menolak perubahan.
Padahal, organisasi tidak ada perubahan sama dengan mandeg. Organisasi yang mandeg sama dengan “mati”. Di sinilah para elite birokrasi, pimpinan top birokrasi selalu memperkenalkan perubahan itu sendiri. Jangan lepas tangan. “Itu urusan dan kebijakan pusat, tidak perlu dibahas apalagi dibantah”, itulah kira-kira para pemangku kepentingan di birokrasi sampai ke tingkat bawah memberi komentar, mestinya memberi pencerahan dengan harapan perubahan menjadi efektif.
Paling tidak ada tujuh langkah yang harus dilakukan agar perubahan menjadiefektif. 1) perubahan harus bermanfaat, 2) pimpinan birokrasi, eselon I dan II harus empatik, 3) perubahan harus dipahami oleh mereka, eselon III dan IV, 4) birokrasi secara keseluruhan ikut terlibat bila mungkin, 5) manfaat dari perubahan harus ditekankan, 6) penetapan waktu harus dipertimbangkan, 7) perubahan harus diperkenalkan secara gradual seiring dengan proses menuju masa depan yang diharapkan.
*) Drs Pudjo Rahayu Rizan MSi adalah Magister Kebijakan Publik MAP Undip, pernah merasakan menjadi eselon V, IV, III, dan II di Pemprov Jawa Tengah dan KPU Provinsi Jawa Tengah
Pewarta: Pudjo Rahayu Rizan *)
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019