Menanti peringkat PISA Indonesia 2018

3 Desember 2019 09:52 WIB
Menanti peringkat PISA Indonesia 2018
Peserta mengikuti kompetisi Robotik Madrasah 2019 di Grand City Surabaya, Jawa Timur, Minggu (17/11/2019). Sekitar 150 tim peserta yang merupakan siswa dan siswi madrasah mulai dari jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), hingga Madrasah Aliyah (MA) mengikuti kompetisi bertema 'Robots Save the Earth' tersebut. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/hp.
Hasil survei Programme for International Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) akan keluar pada Selasa (3/12), tepatnya pukul 09:00 waktu Paris, atau pukul 15:00 waktu Indonesia bagian barat.

Pemerhati pendidikan dari Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS), Indra Charismiadji, mengatakan skor PISA dapat menjadi rujukan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

"Secara keseluruhan,kualitas pendidikan belum baik dan ini merata di seluruh Tanah Air," ujar Indra di Jakarta, Selasa.

Peningkatan kualitas pendidikan, kata dia, menjadi tugas berat bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Peningkatan kualitas pendidikan juga kunci dalam mewujudkan sumber daya manusia yang unggul.

Baca juga: Inggris sasar lima fokus program pendidikan kejuruan di Indonesia

Indra menambahkan Mendikbud Nadiem harus gerak cepat untuk melakukan intervensi pada peningkatan kualitas pendidikan. Jika tidak, maka apa yang dicita-citakan yakni SDM unggul sulit terwujud.

PISA merupakan program untuk mengukur pencapaian pendidikan di seluruh dunia.Survei yang dilakukan tiga tahun sekali itu mengukur kemampuan anak berusia 15 tahun dalam membaca, matematika dan sains.

Hasil PISA menjadi penting, karena melalui penilaian tersebut dapat mengukur sejauh mana siswa pada akhir pendidikan, dapat menerapkan apa yang dipelajarinya dalam kehidupan masyarakat.

Hasil PISA itu juga memungkinkan pihak terkait untuk mengidentifikasi keberhasilan dalam bidang pendidikan dan pelajaran lainnya. Dengan demikian, hasil PISA dapat digunakan untuk intervensi pendidikan.

Indonesia pertama kali ikut dalam PISA pada 2000 dengan anggota saat itu 41 negara. Pada saat itu, Indonesia menempati peringkat 39 dengan kemampuan membaca dengan skor 371, peringkat 39 untuk kemampuan matematika dengan skor 367 dan peringkat 38 untuk sains dengan skor 393. Sementara rata-rata internasional yakni 500.

Peringkat Indonesia tidak jauh berbeda pada 2003, yang mana peringkat kemampuan membaca anak Indonesia berada pada urutan 39 dari 40 negara, kemampuan matematika urutan 38 dan kemampuan sains pada pada urutan 38.

Untuk selanjutnya, pada tahun 2006 saat negara yang berpartisipasi bertambah. Kemampuan membaca anak berada pada urutan 48 dari 56 negara, sementara kemampuan matematika dan sains urutan 50 dari 57 negara yang berpartisipasi.

Pada 2009, jumlah negara yang berpartisipasi dalam program tersebut meningkat menjadi 65. Hasil pengukuran dari program tersebut menunjukkan kemampuan membaca anak berada pada urutan 57, matematika pada urutan 61 dan sains pada urutan 60.

Kemudian pada 2012, urutan PISA justru merosot dari 2009. Kemampuan literasi anak berada pada urutan 61 dan kemampuan matematika dan sains berada pada urutan 64 dari 65 negara.

Urutan PISA Indonesia pada survei 2015, mengalami kenaikan dibandingkan 2012. Namun untuk peringkat belum mengalami kemajuan. Indonesia berada pada urutan 66 dari 72 negara untuk kemampuan literasi dengan skor 397. Urutan 65 dari 72 negara untuk kemampuan matematika dengan skor 386 dan urutan 64 untuk sains dengan skor 403.

Singapura

Pada survei PISA 2015, Singapura menempati posisi teratas. Siswa di Singapura unggul dibandingkan di Jepang, Estonia, Taiwan, Finlandia, Macau, Kanada, Vietnam, Hong Kong, China, dan Korea Selatan.

Kunci utama keberhasilan Singapura tersebut terletak pada sistem pendidikan yang meritokrasi (berbasiskan pada keahlian atau prestasi), kurikulum, anggaran pendidikan, kualitas guru, dan desentralisasi pendidikan.

Melalui sistem pendidikan yang meritokrasi tersebut, dapat mengidentifikasi anak dan bisa memberikan kesempatan kepada anak berdasarkan bakat yang dimilikinya. Dengan sistem itu, anak dari keluarga kurang mampu pun bisa menjadi apapun yang diinginkannya asalkan memiliki kemampuan.

Dr Poon Chew Leng dari Kementerian Pendidikan Singapura, mengatakan kurikulum berbeda untuk berbagai jenjang. Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD), hanya memastikan siswa menguasai bahasa Inggris, bahasa ibu dan matematika. Bahasa ibu yang dimaksud di Singapura terdiri dari tiga bahasa yakni Melayu, Mandarin, dan Tamil. Setiap siswa harus menguasai bahasa ibunya.

"Untuk kelas satu, anak dikenalkan dengan huruf dan angka. Bukan memaksa mereka berhitung atau bisa membaca," kata Poon.

Kemudian untuk tingkat sekolah menengah, terdiri dari penguasaan bahasa ibu, matematika, sains, sastra, sejarah, geografi, seni, kerajinan tangan dan desain, teknologi, dan ekonomi.

Selain itu, Singapura juga menggelontorkan dana 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Untuk guru, Singapura memilih orang-orang terbaik yang diberikan beasiswa untuk menjadi guru. Setelah jadi guru pun, guru harus mengikuti pengembangan karier 100 jam setiap tahunnya. Guru pun mendapatkan kesempatan meraih beasiswa dalam dan luar negeri.

Kepala sekolah juga diberikan kewenangan untuk mengelola sekolah, asalkan mengacu pada aturan yang diterapkan pemerintah. Melalui desentralisasi tersebut, sekolah dapat menyesuaikan dan berinovasi.

Bagaimana kondisi Indonesia pada PISA 2018, akan diketahui pada hari ini. Apakah intervensi yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah efektif dalam meningkatkan kemampuan siswa? Semua itu akan terjawab dalam hasil PISA 2018.

Baca juga: Tompi kritisi kurikulum pendidikan di Indonesia
 

Pewarta: Indriani
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019