• Beranda
  • Berita
  • Simpanan ribuan tahun pun melayang bersama asap kebakaran gambut

Simpanan ribuan tahun pun melayang bersama asap kebakaran gambut

3 Desember 2019 12:16 WIB
Simpanan ribuan tahun pun melayang bersama asap kebakaran gambut
Personel Manggala Aqni membawa selang air untuk melakukan pemadaman Karhutla Gambut di Kecamatan Lalolae, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, Minggu (1/12/2019). Memasuki hari ke-7 Karhutla gambut di dua Kecamatan Lalolae dan Kecamatan Tinondo belum bisa dipadamkan, sementara pihak Manggala Aqni Daerah Operasi Sulawesi Tenggara mengatakan kebakaran telah masuk di areal perkebunan kelapa sawit dan lahan masyarakat sedangkan luas areal belum diketahui akibat personelnya kesulitan menebus kabut asap yang tebal. ANTARA FOTO/ManggalaAqni/JJ/ama.
Aneka jenis pepohonan, mulai dari yang baru tumbuh sampai yang sudah berusia puluhan tahun, hingga lapisan serasah yang terbentuk selama ribuan tahun, semuanya hangus saat kebakaran melanda hutan gambut.

"Dalam waktu tiga bulan saja bisa setebal 30 sampai 40 cm (lapisan gambut yang terbakar). Kalau terjadi lagi bisa makin dalam, makin dalam...," kata Prof. Daniel Murdiyarso, PhD, peneliti utama di Pusat Riset Kehutanan Internasional (Center for International Forestry Research/CIFOR).

"Akumulasi yang terjadi dalam waktu lama habis dalam waktu singkat. Dalam skala ekologi itu catastrophic, bencana besar," katanya di sela kegiatan lokakarya di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Selasa (12/11).

Bersama dengan terbakarnya pepohonan dan lapisan gambut, zat arang yang tersimpan di dalamnya juga lepas, menambah banyak gas rumah kaca yang menyerap radiasi dan mencegah panas keluar dari atmosfer, meningkatkan suhu bumi.

Dalam webinar mengenai hutan dan lahan gambut pada 21 Agustus, Daniel menjelaskan bahwa pengukuran pelepasan karbon dilakukan di Kalimantan pada masa kebakaran hutan besar September-Oktober 2015. Hasilnya menunjukkan, setiap kilogram gambut kering melepaskan sekitar 1,5 kilogram karbon dioksida.

Daniel juga mengungkap data mencengangkan dari hasil pengukuran emisi karbon yang dilakukan pada masa kebakaran hutan besar September-Oktober 2015 di Kalimantan Tengah.

"Dalam dua bulan itu, September-Oktober 2015, setiap hari sekitar 11,3 juta ton karbon dioksida dilepaskan. Itu lebih besar ketimbang emisi harian dari seluruh negara Uni Eropa, 28 negara, yang total 8,9 juta," katanya.

Ia menambahkan kondisi itu terjadi pada gambut dengan kedalaman lima sampai enam meter. Sementara di wilayah Indonesia, termasuk Kalimantan Tengah, kedalaman gambut bisa sampai belasan meter.

Di samping itu, saat kebakaran melanda hutan gambut, emisi karbon juga terjadi akibat terbakarnya pepohonan dan dedaunan yang sudah jatuh di permukaan tanah.

Berdasarkan data dan fakta tersebut, bisa dibayangkan banyaknya karbon dioksida yang lepas dan menjadi agen pemerangkap panas di atmosfer akibat kebakaran yang melanda 227.304 hektare lahan gambut sepanjang Januari hingga September 2019 menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Selain menimbulkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar, yang akan membuat bumi semakin panas, kebakaran lahan gambut menyebabkan kerusakan lingkungan, polusi udara yang mengganggu kesehatan warga, dan kerugian ekonomi.

Pada tahun-tahun terburuk (1997 dan 2015), kebakaran melanda 2,6 hektare lahan gambut dan membuat pemerintah Indonesia mengeluarkan biaya sampai 15,7 miliar dolar AS, sama dengan dua kali ongkos rekonstruksi menyusul tsunami mematikan tahun 2004 menurut Johan Kieft, Penasihat Teknis Regional Senior REDD+ di Indonesia dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Kebakaran hutan dan lahan gambut juga membuat berbagai jenis satwa liar, termasuk satwa dilindungi seperti orangutan, kehilangan tempat tinggal.


Menyimpan dan Membuang
Peneliti Utama CIFOR Prof Daniel Murdiyarso, PhD dan Kepala Penasihat Teknis Program REDD+ Perserikatan Bangsa-Bangsa di Indonesia Adam Gerrand mengamati gumpalan gambut di lahan konsesi PT Rimba Makmur Utama di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Selasa (12/11/2019. (ANTARA/Maryati)

Indonesia punya hutan seluas 120,6 juta hektare dan lahan gambut seluas 14,9 juta hektare menurut Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 terbitan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Lahan gambut Indonesia, yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, meliputi 70 persen dari seluruh lahan gambut tropis dunia menurut Daniel.

Dalam Panduan Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi, Sukarman dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian mengutip Andriesse (1988) bahwa gambut di Indonesia terbentuk antara 6.800 sampai 4.200 tahun lalu. Gambut di Kalimantan Tengah usianya lebih tua, antara 6.230 tahun (kedalaman 100 cm) sampai 8.260 tahun (kedalaman lima meter).

Lapisan-lapisan gambut yang terbentuk dalam proses ribuan tahun itu punya kemampuan besar untuk menyimpan karbon.

Menurut Daniel, karbon yang tersimpan dalam setiap hektare lahan gambut sekitar 1.500 ton, sekira lima kali lebih banyak dibandingkan dengan yang bisa disimpan oleh hutan tropis saja.

"Gambut merupakan ekosistem yang unik, menyimpan karbon dalam jumlah besar, dan itu tersimpan di sana karena ekosistem itu terjaga tetap basah," katanya.

Meski hanya meliputi sekitar tiga persen dari seluruh permukaan daratan, lahan gambut mampu menyimpan 21 persen dari total karbon organik tanah global menurut J. Leifeld & L. Menichetti dalam makalah mengenai potensi lahan gambut dalam strategi mitigasi perubahan iklim global yang terbit di Nature Communications Volume 9 pada 14 Maret 2018.

Kemampuan menyimpan karbon akan menyusut dan kekuatan melepaskan karbon akan meningkat saat deforestasi dan degradasi hutan terjadi di lahan gambut akibat penebangan pohon maupun konversi lahan.

"Jadi mereka tidak hanya penting karena fungsinya dalam menyerap karbon dari atmosfer dan menyimpannya, tapi kalau tidak dikelola gambut bisa menjadi sumber emisi karbon yang membahayakan," kata Amy Duchelle, peneliti senior CIFOR.

Gambut bisa menjalankan fungsinya dengan baik kalau tetap basah.  "Masalahnya, gambut itu rumit. Mereka harus basah supaya bisa menjalankan fungsi dengan baik. Namun yang terjadi di banyak tempat, vegetasi di atasnya dibersihkan dan itu membuat gambut terpapar, kadang bahkan dikeringkan, dan kalau permukaan air tanahnya turun yang terjadi adalah gambut yang normalnya menyimpan karbon mulai melepaskan karbon ke atmosfer dengan laju cukup tinggi," katanya.

Masalah timbul saat lahan gambut mengalami pengeringan, baik yang sengaja dilakukan untuk mengonversinya menjadi lahan pertanian maupun yang terjadi akibat pembangunan kanal untuk keperluan transportasi.

Hasil analisis J. Leifeld & L. Menichetti menunjukkan lahan gambut tropis yang dikeringkan merupakan penghasil terbesar emisi gas rumah kaca.

Lahan gambut yang dikeringkan, menurut hasil analisis mereka, terus mengeluarkan emisi selama puluhan tahun hingga berabad-abad.

Selain itu, lahan gambut yang mengering rawan terbakar. "Kalau terbakar, karbon yang sudah bertahun-tahun tersimpan akan dengan cepat terlepaskan," kata Daniel.

Dengan kekuatan besarnya dalam menyimpan dan melepaskan karbon, lahan gambut memegang peranan penting dalam upaya mengekang emisi karbon untuk mengendalikan perubahan iklim dan dampaknya.

Baca juga: BRG disarankan perkuat revitalisasi ekonomi warga cegah karhutla
 
Bibit-bibit pohon yang akan ditanam di area vegetasi wilayah konsesi PT Rimba Makmur Utama di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Rabu (13/11/2019). (ANTARA/Maryati)


Memulihkan dan Menjaga

Pemulihan ekosistem merupakan kunci utama dalam menghindari emisi karbon dalam jumlah besar akibat degradasi lahan gambut.

Upaya pemulihan ekosistem gambut mencakup pembasahan kembali, revegetasi atau penanaman kembali, dan revitalisasi sumber mata pencarian warga sekitar.

Pembasahan kembali lahan gambut yang mengering antara lain dilakukan dengan membangun sekat kanal dan menimbun kanal. "Apapun yang kurang dari pembasahan kembali secara penuh, akan berarti subsidensi gambut dan peningkatan emisi karbon berlanjut," kata Johan.

Sementara penanaman kembali lahan gambut yang terdegradasi mesti dilakukan dengan mengedepankan jenis tumbuhan asli di lahan gambut dan memperhatikan keragaman jenisnya. Revegetasi bukan hanya mencakup jenis-jenis pohon komersial saja, melainkan juga jenis tumbuhan yang dibutuhkan untuk penutupan lahan, habitat satwa, dan lainnya menurut Wibisono, I.T.C dan A. Dohong (2017) dalam Panduan Teknis Revegetasi Lahan Gambut Badan Restorasi Gambut.

Menurut panduan teknis itu, revegetasi lahan gambut juga harus memperhatikan kondisi dan letak lahan gambut.

Sebagai contoh, revegetasi dengan sistem budi daya berbasis masyarakat seperti wanatani atau paludikultur bisa diterapkan di lahan gambut tipis yang dekat dengan permukiman.

Di lahan gambut sedang hingga dalam yang jauh dari desa atau mendekati hutan, penghutanan kembali bisa dijalankan dengan penanaman intensif yang diintegrasikan dengan penanaman sekat bakar, tanaman dengan adaptasi tinggi terhadap api dan jarak tanam rapat.

Sementara hutan yang rusak berat, membutuhkan penanaman pengayaan dengan jenis tanaman asli gambut.

Menurut ahli ekologi restorasi Laura Graham, yang bekerja dalam program pemulihan habitat orang utan Borneo Orangutan Survival Foundation/BOSF-Mawas di Kalimantan Tengah, penghutanan kembali akan lebih efektif, efisien, dan ekonomis kalau dilakukan sesuai dengan kondisi lahan gambut.

Area yang bisa secara alami memulihkan diri misalnya, bisa dibiarkan memulihkan diri secara alami. Di area lainnya, penghutanan kembali dilakukan berdasarkan tingkat kebutuhan intervensi yang sudah dipetakan sebelumnya.

Laura juga menekankan pentingnya pelibatan komunitas dalam kegiatan penghutanan kembali dan pelindungan lahan gambut.

Selain itu, revitalisasi sumber mata pencaraian warga yang tinggal dan bekerja di sekitar lahan gambut, penyediaan alternatif mata pencarian yang membuat mereka tidak melakukan kegiatan ekonomi yang bisa menimbulkan kerusakan hutan, juga penting dalam restorasi gambut.

"Yang terpenting dalam upaya mencegah deforestasi dan degradasi hutan lebih lanjut adalah memberikan alternatif mata pencarian bagi warga sekitar hutan dan intervensi itu terbukti membawa dampak jangka panjang," kata Daniel.

Perwakilan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Kepala Penasihat Teknis untuk Program REDD+ Perserikatan Bangsa-Bangsa di Indonesia Adam Gerrand sepakat dengan Daniel mengenai pentingnya membantu warga yang biasa melakukan pembakaran lahan dengan memberikan alternatif kegiatan ekonomi.

"Kita tidak bisa melakukan satu hal saja, tapi harus melakukan banyak hal secara bersamaan... Kita harus melakukan bersamaan dengan membantu orang berpindah dari praktik-praktik yang merusak hutan, pekerjaan menyekat kanal dan mengisikan air kembali ke gambut dan hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menghentikan kebakaran," katanya.

Di samping itu, manajemen penanggulangan kebakaran terintegrasi dan pencegahan kebakaran berbasis komunitas juga penting untuk menghindarkan hutan gambut dari kebakaran yang bisa membawa pergi berbagai manfaat hutan gambut bagi manusia dan makhluk lainnya.

"Kalau lahan gambut itu sudah terbakar, ya hilang saja... Kayak kita bakar bensin atau batu bara saja. Itu kan jutaan tahun terbentuknya, kalau terbakar ya habis saja, tunggu jutaan tahun lagi," demikian Daniel Murdiyarso.

Baca juga: BNPB fokus cegah kebakaran lahan gambut di enam provinsi
 

Pewarta: Maryati
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019