Pro kontra hingga perang tagar di jagad twitter pun terjadi mengiringi adu opini tentang konsep wisata halal yang sejatinya telah dikembangkan secara lebih serius oleh Kementerian Pariwisata sejak 2014.
Padahal wisata halal bukanlah wisata syariah, atau wisata yang menerapkan secara penuh syariat Islam. Wisata halal hanya strategi pemasaran untuk menarik kunjungan wisatawan muslim dengan menyediakan kebutuhan beribadahnya selama berwisata.
Artinya, daerah tujuan wisata menyediakan tempat untuk sholat, tempat berwudlu yang bersih, ada penunjuk arah kiblat di hotel, tempat menginap yang bersih dan tersedianya makanan higienis serta halal. Itu saja.
Dengan tersedianya fasilitas itu, diharapkan wisatawan muslim akan lebih nyaman saat berwisata ke destinasi unggulan karena ibadahnya tidak sampai tertinggal saat berwisata.
Membidik wisatawan muslim adalah sebuah keniscayaan bagi Kementerian Pariwisata, karena menurut data Global Muslim Travel Index (GMTI) 2019, jumlah wisatawan muslim di seluruh dunia pada 2030 akan berjumlah 320 juta!
Angka yang fantastis. Indonesia tentu harus bisa memanfaatkan seluruh potensi yang ada untuk bisa mendapatkan "potongan kue" paling besar dari jumlah itu karena berdasarkan penilaian versi GMTI 2019 Indonesia menduduki peringkat pertama destinasi wisata halal dunia, bersanding dengan Malaysia, dengan total skor 78.
Kalau tidak memiliki strategi yang "manjur", "kue" itu akan dibagi-bagi oleh Malaysia, Turki, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Atau negara-negara lain yang menjadi 10 besar destinasi wisata halal dunia seperti Qatar, Maroko, Bahrain, Oman dan Brunei Darussalam.
Konsep wisata halal adalah salah satu strategi yang dirancang Kementerian Pariwisata untuk bersaing dalam pasar wisatawan muslim dunia tersebut. Namun mungkin, sosialisasi konsep itu yang belum maksimal terutama di daerah sehingga muncul pemahaman yang berbeda-beda. Bias bahkan mengarah ke SARA.
Pada sebuah perbincangan tentang wisata halal beberapa waktu lalu, Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit menyebut perlu adanya strategi semacam "story telling" untuk mensosialisasikan konsep wisata halal itu.
Perlu dirancang sebuah pengertian dan pemahaman yang sama, yang terkonsep dan mudah dipahami dan kemudian dibakukan tentang wisata halal sehingga siapapun nanti yang akan berbicara, mengkomunikasikan atau mempromosikannya, konsep itu tidak berubah-ubah.
Posisi Sumatera Barat dalam konsep Wisata Halal
Sumatera Barat merupakan satu dari 10 Destinasi Halal Prioritas Nasional tahun 2018 yang mengacu standar GMTI. Daerah itu bersanding dengan Aceh, Riau dan Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur (Malang Raya), Lombok, dan Sulawesi Selatan (Makassar dan sekitarnya).
Namun jauh sebelum itu, geliat wisata halal sebenarnya sudah terjadi di Sumbar terutama setelah berhasil meraih dua penghargaan dari The World Halal Tourism Award 2016 yaitu World's Best Halal Destination dan World's Best Halal Culinary Destination.
Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit menegaskan wisata halal adalah masa depan pariwisata provinsi itu. Ia akan jadi payung besar untuk mewadahi model wisata lain seperti Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition" (MICE) atau Pertemuan, Insentif, Konvensi, dan Pameran.
Komitmen itu tidak main-main. Pada Kamis (28/11) Pemprov bersama DPRD Sumbar mensahkan aturan pendukung wisata halal di daerah itu yaitu Peraturan Daerah (Perda) Penyelenggaraan Wisata Halal.
Perda itu menurut Nasrul Abit akan menjadi payung hukum untuk pengembangan wisata di Sumbar untuk ke depan.
"Wisata halal adalah masa depan pariwisata Sumbar," katanya.
Sebagai daerah yang memiliki falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah atau adat bersendikan agama, agama bersendikan Alquran, konsep wisata halal sejatinya telah merasuk dalam sendi kehidupan masyarakat di Sumbar.
Hampir semua kuliner yang ada di daerah itu adalah halal, kecuali beberapa hal yang bersifat khusus karena adanya keragaman etnik dan agama. Namun untuk legalisasi, Pemprov Sumbar mendorong usaha kuliner mengurus sertifikasi halal dalam konteks mendukung konsep wisata halal.
Sejauh ini sudah ada 22 tempat kuliner yang telah mendapatkan sertifikasi tersebut diantaranya RM. Pongek Or Situjuah, Resto Hotel Rangkayo Basa, Resto Hang Tuah, RM. Pasia Piaman, RM. Pak Datuk, RM. Famili Raya Indah, Resto Grand Inna Padang, Restoran Hotel Emersia, Rujak Panorama, RM. Simpang Raya Bukittinggi.
Banua Lounge BIM (PT. Banua Agung Hanitama), RM. Lamun Ombak, Sate Mak Syukur, RM. Sari Raso, RM. Simpang Raya, RM. GON Raya Lamo, Restoran Hotel Ox Ville, Restoran Hotel Fave, Restoran Hotel Bunda, Restoran Hotel Mangkuto, RM. Silungkang dan RM Hoya.
Nasrul Abit menyebut ke depan jumlah tempat kuliner yang bersertifikasi halal itu akan terus ditingkatkan jumlahnya.
Rumah ibadah juga merata terdapat di hampir seluruh destinasi wisata sehingga wisatawan muslim bisa dengan mudah untuk beribadah. Demikian juga sarana pendukung seperti hotel, sudah mendukung untuk konsep wisata halal.
Satu yang masih harus menjadi fokus perhatian adalah tempat berwudhu dan toilet di destinasi wisata yang harus bisa dijaga kebersihannya. Selama ini, hal itu seakan luput dari perhatian.
Promosi dan penetrasi pasar yang jelas
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Barat Novrial menyebutkan promosi menjadi pendukung utama dalam pengembangan pariwisata, yang harus dilakukan dengan strategi yang tepat pada pasar yang tepat pula.
Ia menyebutkan untuk wisatawan mancanegara, rata-rata yang berkunjung ke Sumbar setiap tahun sekitar 57 ribu orang. Sementara untuk wisatawan nusantara sekitar 8 juta orang.
Jika konsep wisata halal itu untuk menarik wisatawan asing untuk datang, maka pasar yang paling tepat adalah Malaysia dan Brunei Darussalam. Sementara wisatawan asal Timur Tengah yang digadang-gadang menjadi pasar terbesar wisata halal, ternyata lebih memilih Bali dan Bogor.
Berdasarkan data Dinas Pariwisata Sumbar, dari 57 ribu kunjungan wisatawan mancanegara setiap tahun itu sekitar 70 persen diantaranya berasal dari Malaysia. Karena itu harus diakui, pasar terbesar untuk wisata Sumbar sekarang adalah turis dari Malaysia.
Sementara potensi untuk turis asal Brunei terkuak saat Dinas Pariwisata Sumbar menggelar Famtrip untuk travel agen, influencer dan media asal Brunei baru-baru ini. Karakter turis Brunei yang tidak ingin meninggalkan ibadah saat berwisata sangat cocok dengan konsep wisata halal yang dikembangkan Sumbar.
Apalagi turis Brunei juga suka belanja. Hampir tiap kesempatan mereka berbelanja, termasuk di gerai UMKM sehingga manfaat langsungnya akan dirasakan oleh masyarakat.
Ketua Asosiasi Pengusaha Perjalanan Wisata (ASITA) Sumbar Ian Hanafiah menilai selama ini promosi yang dilakukan oleh Sumbar terutama untuk wisata halal memang masih belum maksimal. Akibatnya, wisatawan mancanegara, termasuk Timur Tengah jika bicara Pariwisata Indonesia baru hanya mengenal Bali. Sehingga daerah tujuan wisatanya hanya ke sana.
Ia menilai jika promosi wisata halal Sumbar lebih digencarkan, wisatawan Timur Tengah juga akan mulai melirik Sumbar.
Melibatkan masyarakat dalam pengembangan pariwisata
Pengembangan pariwisata selalu dikaitkan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun seringkali masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam pengembangan maupun pengelolaan sebuah destinasi atau even wisata. Masyarakat hanya menjadi penonton dan tidak mendapatkan apa-apa secara langsung.
Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit mengatakan ke depan masyarakat harus lebih dilibatkan agar bisa merasakan efek langsung dari pariwisata yang ada di daerahnya. Dengan demikian, masyarakat juga akan merasa memiliki dan mendukung pengembangan destinasi mapun even yang dikemas.
Ia optimis dengan pengelolaan yang baik dan dukungan dari semua pihak, wisata halal akan menjadi masa depan perekonomian Sumbar. ***1***
Baca juga: Brunei jadi pasar potensial wisata halal Sumbar
Baca juga: Masyarakat diminta perkuat literasi wisata halal
Baca juga: Turis muslim global diperkirakan capai 158 juta orang di 2020
Pewarta: Miko Elfisha
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019