• Beranda
  • Berita
  • Publik ragu Jokowi mampu selesaikan kasus HAM berat

Publik ragu Jokowi mampu selesaikan kasus HAM berat

4 Desember 2019 22:31 WIB
Publik ragu Jokowi mampu selesaikan kasus HAM berat
Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam memberikan paparan terkait dengan survei penuntasan kasus HAM masa lalu di Jakarta, Rabu (4-12-2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.
Sebagian besar publik ragu pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu penculikan aktivis 19971998, demikian hasil riset yang dilakukan Komnas HAM bersama Litbang Kompas.

Untuk kasus penculikan aktivis 19971998, sebanyak 51,7 persen masyarakat meragukan pemerintah dapat menyelesaikannya dan sebanyak 34,5 persen merasa pemerintah dapat menyelesaikannya.

"Ketidakpercayaan terhadap Jokowi-Ma'ruf Amin bisa menyelesaikan kasus ini juga besar karena model kasusnya berbenturan dengan kekuasaan," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu.

Baca juga: Riset: Masyarakat ingin pelanggaran HAM diproses pengadilan, bukan KKR

Baca juga: Riset: mayoritas masyarakat ingin kasus HAM masa lalu dituntaskan


Untuk kasus pelanggaran HAM berat lain, seperti penembakan misterius 19821985, sebanyak 42,6 persen masyarakat ragu pemerintah dapat menyelesaikan dan 48 persen menilai pemerintah mampu menyelesaikannya.

Pandangan ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan kasus tersebut, paling banyak, yakni 57,8 persen karena kasus terlalu lama, disusul 28,9 persen karena merasa sudah buntu berhadapan dengan kekuasaan politik tertentu.

"Di sini soal kepentingan politik dan kasus terlalu lama menjadi hambatan paling serius," ucap Anam.

Selanjutnya, 27 persen karena pelaku atau korban sudah mati, 10,4 persen membebani pemerintah, dan sebanyak 3 persen menilai tidak memperbaiki masalah.

Baca juga: Komnas HAM sampaikan tiga isu penting HAM kepada Presiden

Masih berdasarkan riset tersebut, 99,5 persen masyarakat ingin pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan melalui pengadilan, baik pengadilan nasional maupun internasional, bukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Riset yang dilakukan di 34 provinsi di Indonesia itu melibatkan 1.200 responden dengan kisaran usia 1765 tahun.

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019