Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo mengatakan, konsesi tidak produktif seperti kawasan terlantar yang tidak dibebani izin, punya potensi kebakaran hutan dan lahan atau karhutla tinggi.Kemungkinan suatu kawasan produktif seperti perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri terbakar dan punya banyak hotspot kecil
Hal itu, menurut dia di Jakarta, Jumat, berbeda dengan kawasan produktif yang dibebani izin seperti perkebunan sawit ataupun hutan tanaman industri.
"Kemungkinan suatu kawasan produktif seperti perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri terbakar dan punya banyak hotspot kecil," katanya menanggapi laporan terbaru Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Environment Programme (UNEP).
UNEP mengeluarkan data terbaru yang menyatakan luasan hutan dan lahan terbakar pada tujuh provinsi di Indonesia selama Januari-Oktober 2019 mencapai 1,64 juta hektar.
Dari luasan tersebut sekitar 76 persen karhutla terjadi di lahan terlantar, hanya 3 persen kebakaran terjadi di lahan pertanian kelapa sawit. Begitu juga kebakaran di kawasan hutan mencapai tiga persen dari total keseluruhan area.
Karena itu, kata Sudarsono, untuk memperkecil potensi karhutla, para pemegang konsesi termasuk pemerintah wajib dibebani tanggung jawab termasuk memberlakukan tanggung jawab mutlak jika konsesinya terbakar.
"Cara pencegahan ini lebih efektif dibandingkan penanggulangan jika sudah terjadi kebakaran," katanya.
Pernyataan senada dikemukakan Pengamat Lingkungan dan Kehutanan Petrus Gunarso, bahwa tanggung jawab itu akan memaksa setiap pemegang konsesi aktif menjaga konsesi.
Kesetaraan tanggung jawab pemegang konsesi, tambahnya, bisa memperkecil terjadinya karhutla sekaligus mengurangi kampanye hitam terhadap industri sawit di Indonesia yang selama ini selalu “dikambing hitamkan”.
“Seharusnya saat terjadi kebakaran hutan di Pulau Jawa, Perum Perhutani sebagai BUMN pemegang konsesi hutan bisa diminta pertanggungjawaban dan dikenai sanksi sama seperti korporasi dan masyarakat,” kata Sudarsono.
Sebelumnya dalam sebuah diskusi publik Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Mahmud, menegaskan bahwa karhutla di Indonesia tidak terkait dengan pembukaan lahan sawit.
”Naifnya rasanya jika untuk membeli bibit sawit saja butuh dana Rp 25 juta hingga Rp 50 juta dan belum termasuk biaya lain seperti pupuk, jika kemudian hanya untuk dibakar,”katanya.
Baca juga: Kerugian karhutla capai Rp3,8 miliar di Bangka
Baca juga: Rakor gabungan kementerian bahas evaluasi dan antisipasi karhutla
Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019