Mantan Menteri Pertanian Anton Apriyantono menilai penurunan mutu 20.000 ton beras milik Perum Bulog, karena komoditas itu terlambat disalurkan ke masyarakat.Dulu seimbang antara yang masuk dengan yang keluar
Perum Bulog berencana membuang 20.000 ton beras, yang mengalami penurunan mutu tersebut.
Anton dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Jumat, mengatakan jika beras tersebut disalurkan segera untuk raskin, kebutuhan pascabencana, atau operasi pasar, maka tidak ada kendala penumpukan di gudang.
"Belum pernah terjadi seperti ini. Dulu seimbang antara yang masuk dengan yang keluar," kata Anton.
Baca juga: Buwas beberkan alasan beras 20.000 ton turun mutu
Ia pun mengatakan ketidakseimbangan beras yang masuk dan keluar bukan disebabkan oleh kelebihan suplai dari impor karena stok minimal cadangan beras pemerintah (CBP) harus ditetapkan sebanyak dua juta ton.
"Out-nya terlambat. Sekarang programnya seperti apa? Kenapa tidak disalurkan itu beras," ujar Anton, yang sekarang menjabat Ketua Dewan Kopi Nasional.
Sementara itu, pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa mengatakan saat ini ada manajemen yang kurang memadai terkait arus masuk dan keluar beras di gudang Bulog.
Kondisi itu yang menyebabkan Bulog hendak memusnahkan sebanyak 20.000 ton beras karena terlalu lama mengendap di gudang yaitu lebih dari setahun.
Ia menegaskan sangat wajar apabila terdapat komoditas pertanian yang mengalami penurunan mutu sehingga harus dilakukan pemusnahan karena setiap barang punya masa layak dengan jangka waktu tertentu.
Namun, menurut Dwi, pembuangan barang tersebut tidak boleh berjumlah lebih dari satu persen dari total barang yang dijual perusahaan. Jumlah pembuangan yang besar, tambah dia, menandakan sistem manajemen tidak efektif dan efisien.
Selain itu, kualitas beras yang masuk ke gudang Bulog juga perlu diperhatikan karena beras yang akan mengalami pembuangan lebih banyak berasal dari serapan dalam negeri.
"Pada Kementan sebelumnya, Bulog dipaksa beli gabah juga. Akhirnya dapat gabah dan beras yang kualitasnya tidak begitu bagus. Kalau kualitasnya tidak bagus, jangankan setahun, dua bulan sudah rusak," ujarnya.
Oleh karena itu, ia menilai Bulog tidak boleh menagih kerugian senilai Rp160 miliar untuk memusnahkan 20.000 ton beras karena ini merupakan risiko yang seharusnya diperhitungkan sejak awal.
"Dalam tata kelola pangan apapun kalau kita melakukan perdagangan pangan, disposal (pembuangan) itu masuk dalam risiko. Dalam mitigasi risiko, disposal harus sudah masuk dalam cost," ujar Dwi.
Sebelumnya, Perum Bulog meminta pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran kepada BUMN pangan tersebut untuk kebijakan pembuangan beras, yang mengalami penurunan mutu.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh menyebutkan setidaknya ada 20.000 ton dari CBP senilai Rp160 miliar dengan rata-rata harga pembelian Rp8.000 per kilogram, yang akan dimusnahkan.
Sebagian besar beras yang menumpuk ini merupakan beras untuk program bantuan sosial pada 2017 yang telah disimpan di sejumlah daerah, namun penyalurannya dibatalkan.
Baca juga: Indonesia targetkan ekspor 500 ribu ton beras
Baca juga: Emil Salim: Pemusnahan 20.000 ton beras kekeliruan kebijakan pangan
Pewarta: Satyagraha
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019