• Beranda
  • Berita
  • KPAI sebut kekerasan fisik terhadap anak di sekolah cukup mengerikan

KPAI sebut kekerasan fisik terhadap anak di sekolah cukup mengerikan

9 Desember 2019 15:55 WIB
KPAI sebut kekerasan fisik terhadap anak di sekolah cukup mengerikan
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti (kanan) memberikan buku secara simbolis kepada narasumber lain dalam Workshop Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di satuan Pendidikan, Jakarta, Senin (9/12/2019). ANTARA/Katriana/am.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan tingkat kekerasan fisik terhadap anak di lingkungan pendidikan, terutama sekolah, cukup mengerikan pada 2019.

"Kekerasan fisik sesungguhnya turun, tetapi agak mengerikan karena sudah mencapai level korban jiwa," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam Workshop Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Di satuan Pendidikan di Jakarta, Senin.

Ia menyebutkan bahwa selama Januari sampai Oktober 2019, KPAI telah melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap 21 kasus kekerasan fisik di lembaga pendidikan.

Berdasarkan pemantauan tersebut, KPAI menemukan kekerasan fisik yang terjadi di jenjang SD/MI sebanyak tujuh kasus, di SMP lima kasus, SMA/MA tiga kasus dan SMK empat kasus.

Dari ke-21 kasus tersebut, siswa korban kekerasan fisik mencapai 65 anak. Sedangkan guru yang menjadi korban kekerasan sebanyak empat orang.

Sementara itu, pelaku kekerasan fisik di lingkungan sekolah tersebut di antaranya adalah kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua.

Baca juga: KPAI sebut kekerasan seksual pada anak di sekolah meningkat

Baca juga: KPAI sayangkan sikap Disdik Manado atas kasus siswa meninggal

Baca juga: KPAI kecam sekolah yang masih menerapkan hukuman fisik


Kasus kekerasan guru atau kepala sekolah terhadap siswa mencapai delapan kasus atau 38,10 persen. Sedangkan kekerasan siswa terhadap guru ada dua kasus atau 9,52 persen dan kekerasan orang tua siswa terhadap guru sebanyak dua kasus, atau sebanyak 9,52 persen.

Pelaku kekerasan siswa terhadap siswa lainnya juga cukup tinggi, yaitu delapan kasus atau 38,10 persen.

Selain itu, Retno juga menyebutkan kasus unik ketika seorang motivator yang diundang sekolah untuk menjadi narasumber justru melakukan kekerasan terhadap peserta seminar. Ada 10 anak yang menjadi korban penamparan dan makian "goblok" dari motivator tersebut.

Sementara itu, Retno juga mengatakan pelaku kekerasan fisik terdiri dari guru/kepala sekolah sebanyak delapan orang, pelaku orang tua siswa sebanyak tiga orang, pelaku motivator satu orang dan siswa sebagai pelaku mencapai 37 orang.

Modus kekerasan fisik yang dilakukan guru pada umumnya dilakukan dengan dalih untuk pendisiplinan siswa. Korban kekerasan oleh guru atau kepala sekolah tersebut biasanya mendapat perlakuan keras seperti dicubit, dipukul atau ditampar, dibentak dan dimaki, dijemur di terik matahari dan dihukum lari mengelilingi lapangan sekolah.

Sementara itu, kekerasan fisik yang dilakukan siswa terhadap siswa lainnya umumnya dilakukan secara bersama-sama dengan pengeroyokan dengan cara dipukul, ditampar dan ditendang.

Adapun kekerasan siswa terhadap guru contohnya di salah satu SMP di Gunung Kidul, Yogyakarta, yaitu ketika siswa SMP mendatangi sekolah dengan membawa celurit karena gurunya menyita handphone siswa tersebut.

Sementara itu, penyebaran wilayah kejadian dari 21 kasus kekerasan fisik tersebut meliputi 13 provinsi pada sejumlah kabupaten/kota, antara lain Lumajang, Malang, Surabaya, Madura, Pasuruan, Jombang, Grobogan, Kendal, Kota Bekasi, Kabupaten Bogor, Gunung Kidul, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Labuan Batu Utara, Banjarmasin, Kabupaten Mandar, Kabupaten Lombong Timur, Kabupaten Sikka, Gowa dan Kota Manado.*

Baca juga: KPAI: zonasi sekolah bisa bantu turunkan kasus kekerasan pada anak

Baca juga: RUU PKS perlu dimasukkan aturan kejahatan seksual sesama jenis

Baca juga: Angka kekerasan anak turun signifikan di Kota Palembang

Pewarta: Katriana
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019