Persoalan yang timbul dari penerapan UU No. 19 tahun 2019 tersebut, menurut KPK setidaknya ada 26 butir. Dari butir-butir tersebut sejumlah hal yang melemahkan KPK di bidang penindakan antara lain pertama Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
Kedua, penyelidik tidak lagi dapat mengajukan pelarangan terhadap seseorang ke luar negeri sehingga berisiko untuk kejahatan korupsi lintas negara dan akan membuat para pelaku lebih mudah kabur ke luar negeri saat penyelidikan berjalan.
Ketiga, pemangkasan kewenangan penyadapan yaitu penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di tahap penuntutan dan penyadapan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi karena ada 6 tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu untuk meminta penyadapan dan terdapat risiko lebih besar adanya kebocoran perkara.
Baca juga: Kepala daerah yang ditangkap KPK sampai awal Desember 2019
Keempat, OTT menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.
Kelima, ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus. Di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi, namun di sisi lain ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri.
Keenam, kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu: memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Bagaimana jika Dewan Pengawas tidak mengizinkan? Siapa yang mengawasi Dewan Pengawas?
Namun "berakhirnya" era penindakan KPK muncul jelas dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2019 yang puncaknya digelar pada 9 Desember 2019.
Baca juga: JPU: Fakta di persidangan terkuak transferan uang hingga OTT KPK
Pada acara tersebut capaian yang ditonjolkan KPK adalah pencegahan korupsi dan penyelamatan kerugian negara yaitu sejumlah Rp63,9 triliun. Jumlah itu berasal dari potensi penyelamatan berdasarkan hasil litbang Rp34,7 triliun; optimalisasi pendapatan daerah dari pajak hotel, restoran, piutang pajak, fasum, fasos, sengketa aset sebesar Rp29 triliun dan gratifikasi uang dan barang sebesar Rp159,3 miliar.
KPK juga menyebutkan 8 rencana aksi pencegahan korupsi dengan menjawab permasalahan korupsi pemerintahan daerah mulai dari praktik kecurangan dari perencanaan anggaran hingga pengadaan barang jasa, kasus suap dan pemerasan dalam layanan perizinan, maraknya jual beli jabatan dan kerugian keuangan negara karena lemahnya sistem pungutan pajak, tidak jelasnya status kepemilikan aset daerah dan kurang pemanfaatan teknologi.
Namun, KPK tidak menyebutkan berapa jumlah OTT yang sudah dilakukan maupun kasus-kasus seperti apa yang ditangani KPK.
Padahal, sesungguhnya masalah-masalah di daerah tersebut mencerminkan 3 besar perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK pada peridoe 2015-2019 yaitu penyuapan (475 kasus), korupsi pengadaan barang dan jasa (77 kasus dan tindak pidana pencucian uang (21 kasus).
Baca juga: KPK respons pernyataan Mendagri soal OTT kepala daerah
Penindakan 2019
Berdasarkan laman kpk.go.id, KPK sudah memroses 127 orang ke pada 2019. Mereka berasal dari kalangan anggota DPR dan DPRD (10 orang), Kepala lembaga/kementerian (2 orang), wali kota/bupati dan wakil (14 orang), eselon I/II/III (14 orang), jaksa (3 orang), pengacara (1 orang), swasta (49 orang), lainnya (32 orang), korporasi (1).
Dari jumlah itu, yang berasal dari DPR dan DPRD (6), kementerian/lembaga (42), BUMN/BUMD (17), pemerintah provinsi (4), pemerintah kabupaten/kota (51).
Perdasarkan perkaranya, penyuapan tetap menjadi kasus terbanyak (97 perkara) disusul, pengadaan barang dan jasa (17 perkara), tindak pidana pencucian uang (3 perkara), penyalahgunaan anggaran (2 perkara), pungutan (1 perkara).
Sedangkan dari asal provinsi, pemerintah pusat menjadi lokasi tindak pidana korupsi yang paling banyak yaitu 52 perkara, disusul pemerintah provinsi Jawa Timur (29 perkara), Jawa Barat (12 perkara), Riau dan Kepulauan Riau (11 perkara), dan provinsi-provinsi lainnya.
Sejak Januari - 17 Oktober 2019, KPk mencatat setidaknya 20 Operasi Tangkap Tangan (OTT) yaitu:
1. Bupati Mesuji, Lampung Khamam pada 23 Januari 2019
2. Anggota DPR Romahurmuziy alias Rommy yang juga ketua umum PPP pada 15 Maret 2019
3. General Manager Central Maintenance dan Facilities PT Krakatau Steel Wisnu Kuncoro pada 22 Maret 2019
4. Anggota Komisi VI DPR dari fraksi Partai Golkar Bowo Sidik Pangarso pada 27 Maret 2019
5. Bupati Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara Sri Wahyumi Maria Manalip pada 30 April 2019
6. Hakim di PN Balikpapan Kayat
7. Kepala Kantor Imigrasi Mataram Kurniadie pada 28 Mei 2019
8. Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto pada 29 Juni 2019
9. Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun pada 10 Juli 2019
10. Bupati Kudus, Jawa Tengah Muhammad Tamzil pada 26 Juli 2019.
11. Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II (Persero) Andra Y. Agussalam pada 31 Juli 2019
12. Anggota DPR Komisi VI dari fraksi PDI-Perjuangan Nyoman Dhamantra pada 8 Agustus 2019
13. Jaksa di Kejari Yogyakarta dan Surakarta Eka Safitra dan Satriawan pada 19 Agustus 2019
14. Bupati Muara Enim, Sumatera Selatan Ahmad Yani pada 2 September 2019
15. Direktur Utama PTPN III (Persero) Dolly Pulungan pada 3 September 2019
16. Bupati Bengkayang, Kalimantan Barat Suryadman Gidot pada 3 September 2019
17. Dirut Perum Perikanan Indonesia Risyanto Suanda pada 24 September 2019 sebesar USD 30 ribu.
18. Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara pada 6 Oktober 2019
19. Bupati Indramayu, Jawa Barat Supendi pada 14 Oktober 2019
20. Kepala Balai Pelaksana Jalan Wilayah XII Refly Ruddy Tangkere pada 15 Oktober 2019
Jumlah OTT tersebut "berkurang" dibanding OTT pada 2018 yang mencapai 30 OTT dengan 31 orang kepala daerah menjadi tersangka baik dari OTT maupun pengembangan kasus.
Baca juga: Ketua KPK: OTT KPK terjadi artinya sinergi kejaksaan dan Polri kurang
KPK sendiri "tidak" melakukan OTT sejak 17 Oktober 2019 atau sejak UU No. 19 tahun 2019 tentang perubahan UU KPK berlaku.
"Padahal, kita mendekati bulan-bulan pendaftaran Pilkada 2020, ada lebih dari 200 pilkada serentak tapi daerah-daerah tersebut adem ayem saja. Hal ini berbeda 180 derajat kondisi Pilkada 2018 yang hampir 30 orang kepala daerah ditangkap," kata penelitia Indonesia Corruption Watch Donal Fariz.
Menurut Donal, masalah politik di Indonesia tidak tuntas diselesaikan, banyak dibicarakan soal konsep meritokrasi maupun tata kelola yang baik tapi sektor politik menggerogoti pemberantasan korupsi.
"Tudingan-tudingan luar biasa, kasus-kasus KPK disebut tidak tuntas padahal kasus di KPK hanya 50-70 kasus saja sedangkan polisi dan kejaksaan jumlahnya ribuan, jauh lebih banyak dari KPK juga tidak jelas kelanjutannya. Ada standar ganda di sini," tambah Donal.
Donal pun mengomentari soal KPK yang disebut mengganggu investasi, padahal negara-negara maju dengan tata kelola pemerintahan yang baik malah akan takut berinvestasi ke Indonesia karena ada biaya-biaya siluman untuk investasi.
"Yang ditangkap pemerintah, investasi terganggu dengan regulasi berbelit lalu dibuat pemangkasan aturan omnibus law, tapi tidak terlihat politik yang korup dan aparat penegak hukum yang korup, ini agenda yang tidak dimiliki pemerintah bagaimana merevitalisasi penegak hukum itu sendiri, apa agenda Presiden memperbaiki polisi dan kejaksaan? Hal ini tidak pernah didengar seolah-olah sektor regulasi yang menghambat investasi padahal penegak hukum juga," ungkap Donal.
Dengan berhasilnya revisi UU KPK, menurut Donal, investor malah akan lari karena investor hanya ingin legal certainty atau kepastian hukum yang tidak akan diperoleh kalau peradilan dan oknum hakim disuap serta putusan diperjualbelikan.
Baca juga: Lebih 9 jam, KPK masih geledah kantor wali kota Medan
"Korupsi sebagai white collar crime dilakukan orang-orang intelektual, bukan tidak tahu korupsi kejahatan, justru mereka mempersiapkan dengan berbagai cara, contohnya saja korupsi KTP-e, helikopter AW dan Petral dilakukan lintas negara. Mereka dibantu gate keeper mulai lawyer profesional, notaris profesional. Kita dalam situasi political will untuk kerja pemberatasan korupsi sangat lemah," ucap Donal.
Pernyataan Donal itu sesungguhnya selaras dengan pernyataan profesor Ilmu Politik National University of Singapore (NUS) Jon S.T. Quah yang sudah meneliti korupsi sekitar 40 tahun dan masih memberikan nasihat bagi kebijakan publkik Singapura.
Quah menyatakan bahwa keinginan politik adalah hal paling krusial bagi suatu negara untuk memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi harus datang dari pemimpin teratas yaitu presiden. Presiden selanjutnya harus menerjemahkan keinginan politiknya menjadi suatu visi antikorupsi yang jelas sehingga dapat diukur.
Presiden Jokowi sendiri mengaku ia ingin mengevaluasi seluruh program pemberantasan korupsi yang hampir 20 tahun ini berjalan. Presiden menyoroti empat hal pertama perbaikan sistem. Kedua, rekrutmen politik. Ketiga, fokus program pemberatasan korupsi dan keempat perbaikan sistem pasca-OTT.
"Oleh sebab itu saya akan segera bertemu dengan KPK untuk menyiapkan hal-hal yang saya sampaikan baik menyampaikan perbakan sistem, baik rekrutmen sistem di politik yang ketiga mengenai fokus di KPK apakah perbaikan di sisi eksekutif, daerah atau sisi pemerintah pusat atau Kepolisian atau Kejaksaan? Sehingga harus ditentukan fokusnya sehingga tidak sporadis, evaluasi sangat perlu," tutur Presiden.
Jadi apakah untuk selanjutnya KPK hanya berfungsi di pencegahan dan mengucapkan selamat tinggal pada penindakan?
Baca juga: KPK belum pastikan keberlangsungan OTT dengan undang-undang baru
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019