"Pertama, pemerintah bisa menyampaikan permohonan maaf secara terbuka atas peristiwa pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi," kata Wakil Ketua LPSK Manager Nasution saat jumpa pers di Kantor LPSK, Jakarta, Selasa.
Baca juga: Komnas HAM usulkan perppu tuntaskan kasus pelanggaran HAM berat
Baca juga: Riset: Masyarakat ingin pelanggaran HAM diproses pengadilan, bukan KKR
Baca juga: KKR, harapan baru penyelesaian kasus pelanggaran HAM
Menurut dia, setiap pelanggaran HAM berat menimbulkan hak atas reparasi (pemulihan) bagi korbannya. Salah satu bentuk reparasi yaitu permintaan maaf.
Permintaan maaf ini setidaknya merupakan bentuk keinsyafan negara pernah memperlakukan warganya secara tidak manusiawi, yang bertentangan dengan kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin HAM.
"Permintaan maaf dari negara ini kepada korban pelanggaran HAM pernah disampaikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ini perlu dicontoh oleh pemerintah saat ini. Kalau pemerintah tidak bisa menyampaikan permohonan maaf, paling tidak pemerintah bisa menyampaikan keprihatinannya kepada korban pelanggaran HAM masa lalu," kata Manager.
Kedua, lanjut dia, pemerintah dapat membuat memorialisasi, seperti membuat museum bagi korban pelanggaran HAM.
Pembuatan memorialisasi ini sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk memberikan hak satisfasi kepada korban.
"Langkah ini dapat dijadikan momentum bersama sebagai bangsa untuk mempertahankan ingatan dan peringatan agar peristiwa yang sama tidak terulang," katanya.
Ketiga, tambah dia, pemerintah dapat memberikan bantuan kepada para korban dengan pendekatan rehabilitasi psikososial.
Rehabilitasi psikososial merupakan salah satu hak bagi korban pelanggaran HAM yang berat selain bantuan medis dan psikologis yang diberikan negara kepada korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap UU No. 13/2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Rehabilitasi sosial ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar seperti pemenuhan sandang, pangan, papan, bantuan memperoleh pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan," kata Wakil Ketua LPSK lainnya, Edwin Partogi Pasaribu.
Pemenuhan rehabilitasi psikososial, kata dia, hanya mungkin bila terjadi kerja sama antara LPSK dan Kementerian/Lembaga terkait, seperti Kemensos, Kemenkumham, Kemendagri, Kemenko Polhukam dan lainnya.
LPSK juga menyarankan agar pemerintah juga memfasilitasi "affirmative action" kepada para korban pelanggaran HAM berat ini untuk mendapatkan kebutuhan mendasar berupa jaminan kesehatan (BPJS) kelas satu mengingat usia sebagian besar korban yang makin senja.
Pemerintah daerah juga bisa membuat kebijakan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai salah satu keistimewaan hak yang diperoleh para korban pelanggaran HAM berat.
"Sudah saatnya pemerintah melakukan aksi nyata dengan menyediakan mekanisme pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM berat dan mengakhiri impunitas (peniadaan hukuman), mengenang peristiwa tersebut untuk menjadi memori bersama dan sekaligus memenuhi hak para korban sebagai langkah yang simultan dan tak saling menyandera," ucap Edwin.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019