Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits B Ramandey, di Jayapura, Selasa, mengatakan, "Jadi, setiap 10 Desember, setiap tahun sebagian masyarakat dunia memperingati hari HAM International terkait dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau DUHAM yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 1948."
DUHAM merupakan pernyataan global yang pertama tentang HAM yang tidak dapat dipungkiri.
Deklarasi itu, kata dia, menyatakan setiap manusia berhak memutuskan bagaimana dan dimana dia menjalani hidupnya, mengutarakan pendapat, kebebasan dalam beragama, diperlakukan setara dengan rekan-rekannya di hadapan pengadilan, berpartisipasi dalam kehidupan publik dan suaranya didengar dalam hal-hal mengenai masyarakat, negara dan masa depan bersama.
"Indonesia melalui lembaga negaranya yang khusus menangani masalah hak asasi manusia yaitu Komnas HAM dan beberapa perwakilannya yang tersebar di Aceh, Padang, Pontianak, Palu, Ambon dan Papua selalu memperingati hari HAM International dan bekerjasama dengan instansi pemerintah atau organisasi HAM lain," katanya.
Tujuan memperingati hari HAM International ini, kata dia, adalah sebagai bentuk upaya sejauh mana pemenuhan HAM sudah dipenuhi oleh negara dan upaya untuk mengedukasi kepada masyarakat terkait hak-hak yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa serta hak dan kewajiban
sebagai warga negara.
Indonesia, kata dia, mempunyai beberapa undang-undang yang menguatkan akan perjuangan HAM di antaranya UUD 1945 (bab XA pasal 28A sd 28J), UU Nomor 39/1999 tentang HAM, UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM, UU Nomor 11/2005 tentang Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Lalu, UU Nomor 12/2005 tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dan UU Nomor 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Tujuan lain dari kegiatan itu memberikan pemahaman kepada para peserta yang hadir tentang pemenuhan dan HAM oleh negara beserta kewajiban dalam bernegara dan upaya promosi dalam pelaksanaan pemenuhan, pemajuan, penegakkan yang berbasis HAM.
Sementara itu, Ketua Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama Papua, Dr KH Toni VM Wanggai, yang menjadi pemateri kunci dalam kegiatan tersebut memberikan pandangan terhadap ujaran rasis dan upaya rekonsiliasi damai di Bumi Cenderawasih.
Di antaranya, mendorong pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Pengadilan HAM Ad-Hoc sesuai amanah UU Otonomi Khusus, mendorong penyelesaian persoalan Papua dengan pendekatan budaya, dialogis, dan kemanusiaan.
Lalu, mendorong pengesahaan RUU Otonomi Khusus Pemerintah Papua Bagi Tanah Papua yang telah didaftarkan dalam Prolegnas DPR Tahun 2020 sebagai usulan pemerintah.
"Mendorong pembentukan Badan Nasional Urusan Papua untuk menyelesaikan persoalan Papua secara komprehensif, mendorong konsolidasi antarsemua pemangku kepentingan, serta proses rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM dan pembentukan tim investigasi sehubungan dengan kasus Nduga," kata Wanggai.
Pewarta: Alfian Rumagit
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019