Mendengar suara perempuan dalam demokrasi

11 Desember 2019 18:15 WIB
Mendengar suara perempuan dalam demokrasi
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi bicara soal pelibatan perempuan dalam demokrasi ketika membuka Bali Democracy Forum ke-12 di Nusa Dua, Bali, Kamis (5/12/2019). (ANTARA/Suwanti)

Perempuan sama dengan perdamaian. Dan, perdamaian sama dengan perempuan

Berangkat dari prinsip "no woman should be left behind" atau "tak seorang perempuan pun yang boleh tertinggal", Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi bertutur soal diskusinya dengan 38 perempuan Afghanistan.

Ia menggarisbawahi tentang bagaimana perempuan-perempuan di negara itu telah bekerja keras untuk tidak diam di dalam ruang-ruang privat saja, namun menandai diri dan memberi dampak dengan berada di tengah-tengah masyarakat.

"Statistik yang saya dapat menyebut bahwa anggota parlemen perempuan di Afghanistan mencapai 24 persen, dan bagi saya itu bukan angka yang kecil untuk menunjukkan perempuan yang berpartisipasi dalam politik," ujar Retno.

Hal itu juga menjadi contoh nyata bahwa dalam demokrasi, perempuan tidak hanya mempunyai hak untuk memberikan suara di bilik-bilik pemilihan umum namun juga untuk dipilih.

Tidak salah jika ia memberikan penekanan dengan kata "menggarisbawahi" pada poin soal "perempuan Afghanistan telah bekerja keras", karena bagaimanapun posisi perempuan di sektor publik mesti diusahakan dan diraih karena tidak datang secara sukarela.

Dan perempuan bisa berdaya, Retno menambahkan, hanya jika disokong dengan pendidikan serta didukung oleh keluarga, masyarakat, dan juga pemangku kebijakan, karena "jika tidak begitu, akan sulit.”

Sebagai pandangan hidup tentang persamaan hak dan kewajiban setiap orang, demokrasi idealnya mengakomodasi kepentingan siapa saja tanpa kecuali. Namun dengan dominasi laki-laki di dalamnya, suara perempuan tak jarang hanya terdengar sayup-sayup.

Jika persoalan ini tak ada--artinya demokrasi telah atau mendekati ideal, barangkali pertemuan banyak delegasi negara sebesar Bali Democracy Forum (BDF) tidak akan repot-repot mengangkat tema "Demokrasi Inklusif" dan menyoroti peran perempuan di dalam sistem itu.

Bahkan dalam gelaran selama dua hari pada 5-6 Desember 2019 di Nusa Dua, Bali, itu representasi perempuan sebagai delegasi masih mungkin dihitung dengan jari.

Namun menjadi kabar baik bahwa empat perempuan di antaranya memegang peranan strategis dan signifikan sebagai menteri luar negeri dari empat negara berbeda di benua Asia, Afrika, dan Australia.

Retno Marsudi bersama dengan Sekretaris Kabinet Urusan Luar Negeri Kenya Monica Juma, Menteri Kerja Sama dan Hubungan Internasional Namibia Netumbo Nandi-Ndaitwah, serta Menlu Australia Marise Payne mengisi panel utama dalam acara BDF ke-12 sebagai delegasi dengan tingkat paling tinggi yang menghadiri forum tahunan itu.
Menteri Kerja Sama dan Hubungan Internasional Namibia Netumbo Nandi-Ndaitwah (ketiga kiri), Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi (keempat kiri), Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne (kelima kiri), dan Sekretaris Kabinet Urusan Luar Negeri Kenya Monica Juma (keenam kiri) dalam Bali Democracy Forum ke-12 di Nusa Dua, Bali, Kamis (5/12/2019). (ANTARA/Suwanti)



Perempuan memimpin

Kehadiran para menteri urusan luar negeri perempuan itu bisa menegaskan salah satu poin penting isu perempuan dalam demokrasi, yaitu kepemimpinan perempuan.

Mengutip pernyataan Monica Juma, kepemimpinan menyediakan akses dan ruang bagi perempuan terlibat dan berkontribusi dalam masyarakat. Lebih dari itu, partisipasi perempuan bukan hanya mengenai hak, namun juga mengenai inklusi dan yang paling penting mengenai ekonomi.

"Saya pikir ada alasan ekonomi di mana dunia menuntut aset sumber daya manusia tanpa terkecuali, di mana perempuan masuk ke dalamnya. Maka penting untuk menyebarkan nilai tambah yang diberikan perempuan terhadap kepemimpinan dan juga ekonomi masyarakat," kata Juma.

Di Kenya, dia mencontohkan, partisipasi perempuan adalah prioritas yang menjadi bagian dari pendalaman demokrasi. Dan, sebagai negara yang menjalankan sistem demokrasi dengan pemilihan umum lima tahunan, Kenya menjamin 30 persen keterwakilan perempuan pada lintas sektor.

Sekalipun perempuan telah masuk ke dalam sistem demokrasi, misalnya dengan menjadi pimpinan lembaga kenegaraan, hal penting lain adalah mengenai perlunya menciptakan lingkungan kerja yang ramah perempuan.

Di kementerian yang dipimpin oleh Retno, misalnya, ketersediaan penitipan anak di kantor merupakan salah satu contoh kecil untuk yang ia sebut sebagai enabling environment— lingkungan yang mendukung.

Pada lingkungan yang dibutuhkan itu, pelibatan laki-laki juga penting mengingat bahwa isu perempuan dalam demokrasi bukan hanya urusan perempuan itu sendiri secara eksklusif, melainkan menjadi urusan kemanusiaan bersama.

Perempuan mencipta perdamaian

Selain melalui posisi di dunia politik, peran perempuan dalam demokrasi bisa dilihat dari partisipasi mereka dalam upaya penciptaan perdamaian di tengah-tengah konflik.

Data riset yang dikumpulkan Council on Foreign Relations mengenai partisipasi perempuan dalam proses perdamaian menunjukkan bahwa adanya keterlibatan perempuan dalam pencegahan dan penanganan konflik bisa meningkatkan hasil yang dicapai.

Salah satu riset, misalnya, secara rinci menyebutkan 64 persen perjanjian damai yang dibuat cenderung tidak gagal. Sementara riset lainnya menunjukkan 35 persen perjanjian damai cenderung bertahan setidaknya hingga 15 tahun.

Secara umum, beberapa riset menyebut bahwa kesetaraan gender menurunkan kemungkinan konflik yang bisa terjadi di dalam suatu negara atau antarnegara.

Netumbo Nandi-Ndaitwah bertutur tentang upaya dilakukan Namibia untuk menginisiasi PBB mendiskusikan isu perempuan dan perdamaian pada tahun 2000 ketika negara itu menjadi bagian dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB).

Ia menyebut ada resistensi yang cukup tinggi, di mana sebagian orang menganggap bahwa bahwa isu tersebut bukan isu keamanan melainkan isu sosial.

Namun Namibia memaksa, hingga akhirnya menghasilkan Resolusi 1325 DK PBB tentang perempuan sebagai agen aktif dalam perdamaian dan keamanan.

“Dan itu menjadi kali pertama momen yang menunjukkan dengan jelas bahwa kita tidak bisa melihat perempuan hanya sebagai korban ketika membicarakan konflik, namun perempuan sebagai pencipta perdamaian,” kata Nandi-Ndaitwah.

Seperti halnya Nandi-Ndaitwah yang percaya bahwa perempuan memunculkan cara-cara dan hasil yang berbeda ketika terlibat dalam upaya menciptakan perdamaian, Monica Juma juga berpendapat demikian.

"Partisipasi perempuan menambah nilai pada perdamaian yang tercipta. Perempuan menggunakan kemampuan negosiasi yang lebih baik, kepekaan yang lebih baik, serta menciptakan kenyamanan yang lebih dalam masyarakat," ucap dia.

Juma juga menyebut bahwa dalam upaya menciptakan perdamaian, pembangunan berkelanjutan, dan demokrasi, perempuan mempunyai pendekatan yang menumbuhkan kepercayaan.

Dua kalimat pendek yang diucapkan Retno Marsudi, barangkali bisa merangkum pembahasan ini. Ia menyebut, “Perempuan sama dengan perdamaian. Dan, perdamaian sama dengan perempuan.”

Pewarta: Suwanti
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2019