Siaran pers Ditjen Perikanan Budidaya KKP yang diterima di Jakarta, Senin, menyebutkan salah satu tujuan pembangunan embung seluas 4,1 hektare di Desa Pananjung, Kecamatan Pangandaran, adalah untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat melalui pola Cultured Based Fisheries (CBF).
Sebagaimana diketahui, embung adalah cekungan yang digunakan untuk mengatur dan menampung suplai aliran air hujan serta meningkatkan kualitas air di badan air yang terkait (sungai, danau atau waduk).
Konsep CBF pada embung yang diusung dimaksudkan untuk menambah pendapatan masyarakat sehingga akan memberikan efek berganda khususnya bagi masyarakat dan kepentingan daerah.
Selain itu, melalui CBF ini diharapkan akan mampu menambah peluang pekerjaan dan bisa menjadi model untuk daerah lain, utamanya sebagai jalan keluar dalam mengantisipasi polemik permasalahan perairan umum yang berkaitan dengan lingkungan.
Sebagaimana diketahui konsep ini merupakan kegiatan perikanan dengan mengandalkan komoditas hasil budidaya yang ditebar dan dipanen secara periodik di perairan umum daratan, antara lain karena konsep ini dinilai sangat efektif sebagai model penerapan budidaya berbasis ekosistem.
Tak hanya itu, fungsi embung sebagai CBF dapat dijadikan alternatif sumber pendapatan dan sumber protein hewani masyarakat.
Adapun keuntungan konsep ini adalah dapat diterapkan pada perairan yang tidak luas, kemudian efisien dalam memanfaatkan produktivitas alaminya, lalu pengelolaannya mudah dan tidak berdampak negatif terhadap fungsi utama perairan.
Selain itu, CBF merupakan bentuk teknologi pemulihan sumber daya ikan. CBF berlandaskan pada penebaran benih ikan dari hasil budidaya (pembenihan) yang dilakukan secara rutin. Ikan yang ditebar akan tumbuh dengan memanfaatkan makanan alami di perairan embung.
Baca juga: Berdayakan budi daya ikan, pemerintah tuntaskan pembangunan embung di Pangandaran
Baca juga: KKP perlu berikan kepastian usaha budidaya perikanan
Adapun tahapan CBF, antara lain pertama mengidentifikasi potensi kesesuaian badan air untuk menentukan jenis ikan yang dapat hidup, meliputi luasan, volume air serta kualitas air, jenis dan sumber daya pakan alami, komposisi jenis ikan asli dan estimasi potensi produksi ikan.
Kedua, mengidentifikasi biaya yang diperlukan untuk kegiatan penebaran benih dan peluang keberhasilannya. Lalu, ketiga yaitu mengidentifikasi kelembagaan masyarakat di sekitar embung, seperti ketersediaan kelompok pembudidaya ikan, kelompok pengawas serta kelompok usaha perikanan lainnya.
Selanjutnya, keempat merencanakan pengembangan pengelolaan perikanan bersama atau dikenal dengan co-management dalam hal ini pemerintah setempat berperan sebagai fasilitator dan regulator, sedangkan kelompok perikanan sebagai pelaksana pengelolaan.
Tahapan terakhir yaitu monitoring dilakukan pada perencanaan, selama dan setelah penerapan CBF dan dari hasil monitoring dilakukan evaluasi untuk mengkaji keberhasilan dan kegagalan penerapan teknologinya.
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyiapkan unit pembenihan rakyat di berbagai daerah guna mengembangkan potensi dan meningkatkan kinerja budi daya perikanan Indonesia.
Saat ini, berdasarkan data KKP, produksi perikanan didominasi hasil kegiatan budidaya dan tangkap. Negara-negara Asia masih menguasai 88 persen produksi dunia.
Budidaya mampu menyediakan setengah dari kebutuhan ikan konsumsi dunia, dan dengan kebutuhan ikan dunia sebesar 3,1 juta ton, Indonesia berada pada peringkat ke-4 produsen perikanan budidaya dunia.
Baca juga: Menteri Edhy dorong Dirjen Budidaya KKP buat terobosan
Baca juga: Lahan budidaya perikanan di Pekalongan menyusut 500 hektare
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019