• Beranda
  • Berita
  • Habitat ular kobra jawa, dari savana hingga pekarangan

Habitat ular kobra jawa, dari savana hingga pekarangan

17 Desember 2019 18:17 WIB
Habitat ular kobra jawa, dari savana hingga pekarangan
Warga menangkap ular sendok jawa atau kobra jawa (Naja sputatrix). (Foto ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/hp).

Awal musim penghujan adalah waktu menetasnya telur ular,

Ular kobra jawa (Naja sputatrix) atau dikenal juga sebagai ular sendok menghuni tipe habitat seperti perbatasan hutan yang terbuka, savana, persawahan hingga pekarangan.

Ular jenis berbisa ini, menurut peneliti bidang herpetologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Amir Hamidy di Jakarta, Selasa, menyukai suhu ruangan yang hangat dan lembab untuk tempat menetaskan telur.

Telur kobra diletakkan di lubang-lubang tanah atau di bawah serasah daun kering yang lembap. Telur-telur tersebut akan menetas dalam rentang waktu tiga sampai empat bulan.

Hampir semua jenis ular, termasuk induk ular kobra pada periode tertentu akan meninggalkan telur-telurnya dan membiarkan telur tersebut menetas sendiri.

Baca juga: Ahli reptil ITB jelaskan ciri-ciri ular berbisa

“Awal musim penghujan adalah waktu menetasnya telur ular. Fenomena ini wajar, dan merupakan siklus alami,” tambah Amir.

Ular ini berukuran rata-rata 1,3 meter dan bisa mencapai ukuran panjang 1,8 meter. Sekali bertelur induk betina ular kobra jawa dapat menghasilkan 10 sampai 20 butir telur.

“Begitu menetas, anakan kobra akan menyebar ke mana-mana,” katanya.

Terdapat dua jenis ular kobra di Indonesia, yakni kobra sumatra atau Naja sumatrana yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan dan kobra jawa atau Naja sputarix yang terdistribusi di Jawa, Bali, Lombok, Komodo, Pulau Rinca, Sumbawa dan Flores. Ular berbisa ini berbahaya karena memiliki kemampuan meyemprotkan bisa (venom).

Baca juga: Delapan anak ular kobra ditemukan di Rawa Bambu Jaksel

Karenanya meski belum ada korban jiwa, Amir mengemukakan masyarakat perlu mewaspadai fenomena munculnya anak-anak ular kobra di beberapa pemukiman seperti di Bogor, Bekasi, Jember, Jakarta Timur, Klaten dan Yogyakarta.

Dalam buku petunjuk penanganan gigitan ular yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) insiden gigitan ular di Asia Tenggara musiman, tertinggi terjadi selama masa peningkatan aktivitas pertanian dan musim hujan. Sebagian besar gigitan ular dialami petani yang bekerja bertelanjang kaki, sehingga bagian kaki dan pergelangan kaki yang banyak terkena.

Epidemi gigitan ular mengikuti siklus banjir, badai dan invasi habitat ular untuk pembangunan jalan, irigasi dan penebangan hutan. Aktivitas-aktivitas menyebabkan perubahan jangka panjang pada iklim dan ekologi dan mendorong mereka masuk pemukim manusia.

Baca juga: Warga DKI tergigit kobra dapatkan serum anti-bisa ular di lokasi ini

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Hendra Agusta
Copyright © ANTARA 2019