Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengharapkan pemerintah berhati-hati saat terjun ke skema perdagangan karbon yang dinilai tidak akan mewujudkan penurunan emisi untuk mengekang dampak perubahan iklim, menurut Direktur Eksekutif WALHI Nasional Nur Hidayati.Ini jangan dianggap pasar karbon itu, kalau saya lihat sekarang, ada seolah-olah anggapan sebagai sumber devisa baru. Padahal tidak. Ini adalah sistem "pay for performance" bukan yang jual belinya di mana ada komitmen lalu uang akan langsung ada
"Negara-negara berkembang yang dianggap masih memiliki karbon kredit yang banyak dibandingkan negara industri bisa menjual karbon kreditnya kepada negara-negara yang melakukan emisi, jadi sebenarnya itu hanya jual beli di atas kertas. Dari sisi negara maju tidak benar-benar menurunkan emisinya secara konkret," katanya dalam konferensi pers Pesan Akhir Tahun untuk Perubahan Iklim di kantor WALHI di Jakarta Selatan, Kamis.
Perdagangan karbon adalah skema di mana terjadi aktivitas penyaluran dana dari negara penghasil emisi karbon kepada negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang mampu melakukan penyerapan emisi karbon secara alami.
Pemerintah Indonesia sendiri sudah mulai membidik potensi perdagangan karbon antarnegara dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan menyatakan terdapat potensi besar yang nilainya berkisar antara 82 miliar atau 100 miliar dolar AS.
Menurut Luhut, angka itu bisa didapat karena Indonesia memiliki 75-80 persen carbon credit dunia dari hutan, mangrove, gambut, rumput laut hingga terumbu karang.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sendiri masih menggodok format agar Indonesia bisa memanfaatkan carbon credit untuk perdagangan karbon.
Regulasi itu ditargetkan selesai pada 2020 atau sebelum Perjanjian Paris (Paris Agreement) mulai diberlakukan pada 2021.
Indonesia sudah meratifikasi Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 dengan komitmen menurutkan emisi sebesar 29 persen berdasarkan skenario business as usual (BAU) dengan upaya sendiri dan 41 persen jika mendapatkan bantuan internasional.
Menanggapi potensi tersebut, Direktur Eksekutif WALHI Nasional Nur Hidayati meminta agar pemerintah benar-benar mempelajari secara utuh dan membuat regulasi yang sangat rinci sebelum benar-benar terjun dalam pasar perdagangan karbon.
"Ini jangan dianggap pasar karbon itu, kalau saya lihat sekarang, ada seolah-olah anggapan sebagai sumber devisa baru. Padahal tidak. Ini adalah sistem 'pay for performance' bukan yang jual belinya di mana ada komitmen lalu uang akan langsung ada. Tapi negara yang membeli carbon credit dari Indonesia akan melihat apakah dalam sekian tahun yang dikomitmenkan benar-benar menurunkan emisi," ujar dia.
Menurut Nur Hidayati, di segala level pemangku kepentingan perlu adanya literasi untuk mengerti benar tentang skema perdagangan karbon sebelum Indonesia mulai memanfaatkan potensi carbon credit yang dimilikinya.
Baca juga: Walhi: Perdagangan Karbon Tak Kurangi Pemanasan Global
Baca juga: RI Rugi Tak Peroleh Kredit Karbon Panas Bumi
Baca juga: Peluncuran Rainforest Standard, RFS, Mekanisme Kredit Karbon yang berdasarkan integrasi aspek Sosial, Lingkungan dan Ekonomi
Baca juga: Potensi 'carbon credit' dapat tingkatkan nilai tawar Indonesia
Baca juga: Pemimpin dunia serukan kebijakan harga karbon global
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019