Enam tahun lamanya sejak keluar dari Irak, Moammar Karim Mohammed menghabiskan waktu sebagai pengungsi di Jakarta.Saya ingin UNHCR membantu kami dan anak-anak kami untuk mendapatkan rumah, makanan, dan layanan kesehatan. Kami sudah menjadi tunawisma selama satu setengah tahun
Moammar tahu, Indonesia hanya merupakan negara transit di mana ia bersama istri dan adiknya tidak bisa berharap banyak untuk hidup enak.
Jelang tahun ketujuh kini, Moammar mencari kejelasan nasib. Ia bertanya kepada lembaga internasional yang bertanggung jawab menangani pengungsi, UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees).
Ditemui ketika melakukan aksi diam dengan bentangan spanduk di area gerbang masuk gedung kantor UNHCR di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Moammar bertutur terbata-bata dalam bahasa Inggris, sesekali mencampurkan dengan bahasa Indonesia.
Pria 40 tahun itu mengaku telah melakukan aksi diam sejak 30 Juni, enam bulan lalu, dan menyebut tak mendapat perhatian apapun dari orang-orang yang keluar-masuk gedung itu.
Dengan kartu pengungsi yang terdaftar pada 2018, Moammar setidaknya mendapat bantuan rumah sewa di Depok dan uang bulanan sebesar Rp1,4 juta per bulan.
Dana bantuan menjadi satu-satunya sumber finansial untuk Moammar satu keluarga, sebab pengungsi tidak diperkenankan bekerja di sini. Dan dengan jumlah itu, ia merasa tak cukup.
"Kami tidak lagi berharap sokongan apapun saat ini kecuali resettlement. Kami melihat banyak orang yang datang belakangan namun sudah lebih dulu diberangkatkan ke negara tujuan," kata Moammar.
Resettlement, atau pemukiman kembali, adalah hal yang dinanti para pengungsi selagi tinggal sementara di Indonesia. Mereka berharap bisa diberangkatkan ke salah satu negara pemberi suaka: Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Kanada.
UNHCR mencatat sekitar 14 ribu orang pengungsi datang ke Indonesia dari negara-negara berkonflik, dengan seperti Afghanistan, Irak, dan Somalia.
Di Indonesia, mereka tersebar di beberapa titik berbagai pulau, misalnya Pekanbaru, Batam, dan Jakarta. Ibu kota sendiri menampung sekitar seribu lebih pengungsi, berdasarkan data Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
Dalam masa persinggahan yang memakan waktu tak sebentar ini, tentu bukan hanya Moammar dan keluarga yang menuntut kejelasan penanganan. Banyak pengungsi lainnya juga melakukan aksi unjuk rasa terhadap lembaga yang sama.
Berbeda dengan tuntutan Moammar untuk memberinya kejelasan mengenai pemberangkatan ke negara ketiga, pertengahan tahun ini Abdulkadir Boor dari Somalia menuntut bantuan berupa keperluan mendasar.
"Saya ingin UNHCR membantu kami dan anak-anak kami untuk mendapatkan rumah, makanan, dan layanan kesehatan. Kami sudah menjadi tunawisma selama satu setengah tahun," kata dia, 3 Juli 2019.
Hari itu merupakan hari kesembilan bagi Abdulkadir dan sekitar 150 pengungsi lainnya berunjuk rasa--juga mendirikan tenda untuk bermalam di trotoar Kebon Sirih, setelah berpindah dari tenda mereka yang lama di trotoar depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta Barat.
UNHCR cenderung irit bicara mengenai penanganan yang mereka lakukan. Pemerintah Indonesia, pusat dan daerah, kompak mendesak lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa itu untuk mengambil langkah penyelesaian.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI sempat menegaskan bahwa urusan pengungsi, baik itu bantuan dasar maupun proses resettlement sepenuhnya merupakan kewenangan UNHCR.
Bantuan-bantuan yang diberikan Indonesia, bagaimanapun didasari dengan asas kemanusiaan dan sifatnya sementara, menurut Juru Bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah, pada 5 Juli 2019.
Pemprov DKI Jakarta, misalnya di tengah musim kemarau pada Oktober lalu menyumbang pasokan listrik dan air untuk kebutuhan pengungsi di lokasi penampungan mereka di bekas gedung Kodim Kalideres.
Ragam permasalahan dalam upaya penanganan para pengungsi-pencari suaka, termasuk soal mereka yang tak kunjung berangkat ke negara ketiga, disebut UNHCR sebagai dampak dari kecenderungan penurunan pendanaan dari sejumlah negara donor.
Mengutip Perwakilan UNHCR di Indonesia, Thomas Vargas, hal itu memberi efek pada penurunan kemampuan organisasi internasional seperti UNHCR untuk menangani para pengungsi di negara transit yang semestinya mendapat banyak bantuan.
Pandangan pengamat
Dasar penanganan pengungsi secara komunitas internasional adalah Konvensi 1951 tentang status pengungsi, yang mana tidak ditandatangani Indonesia. Itu berarti, Indonesia tidak mempunyai kewajiban untuk menangani pengungsi.
Namun dengan posisi yang strategis serta tidak ada kebijakan untuk menolak para pengungsi, mereka banyak datang ke negara ini.
Terlepas dari status sebagai negara transit, Indonesia seakan tetap menerima tuntutan dunia untuk membenahi persoalan para pengungsi-pencari suaka yang masuk wilayah negara ini, menurut pengamat bidang Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah.
Padahal, tidak mudah untuk membuka diri sebagai negara persinggahan dengan berbagai potensi masalah yang bisa terjadi. Sebut saja penyediaan fasilitas yang terkait dengan anggaran dana serta kemungkinan benturan sosial antara pengungsi dengan masyarakat setempat.
Misalnya untuk mencegah benturan sosial, Rezasyah menyebut perlu dihadirkan para spesialis bahasa serta antropolog yang paham betul bagaimana cara menghadapi para pengungsi dari berbagai negara berbeda.
Demikian, Rezasyah menilai sejauh ini Indonesia sudah berupaya cukup untuk membantu proses penanganan pengungsi, “Kita bahkan sudah bekerja melebihi panggilan tugas.”
Aksi menuntut kesejahteraan yang dilakukan oleh para pengungsi juga dianggapnya sebagai sesuatu yang wajar, terlebih dalam keadaan tengah terlantar.
Yang disayangkan adalah, lagi-lagi, seakan Indonesia yang menanggung beban dari tuntutan-tuntutan tersebut.
“Semestinya mereka ‘berteriak’ ke negara tujuan. Selain itu Indonesia juga perlu menekan negara-negara itu agar tidak diam, duduk manis melihat persoalan pengungsi ini,” kata Rezasyah.
Bersamaan dengan itu, tentu saja UNHCR sendiri perlu diingatkan untuk bertindak dengan langkah-langkah penyelesaian masalah, terlebih dengan gelombang pengungsi yang terus meningkat.
Menilik dari sisi regulasi, pengamat bidang Hukum Internasional dari Universitas Pelita Harapan, Dian Parluhutan, mempunyai pandangan berbeda.
Menurut Dian, aspek regulasi menjadi salah satu hal mendasar dari berbagai persoalan pengungsi yang muncul. Misalnya, ia menyebut, aksi-aksi unjuk rasa para pengungsi sebetulnya merupakan puncak gunung es dari ketidakjelasan perlakuan terhadap mereka.
Mengadopsi Konvensi 1951 menjadi jalan yang disarankan mengingat dari situ akan jelas bagaimana cara negara bersikap terhadap pengungsi. Dari situ pula bisa dibuat suatu regulasi turunan, khususnya mengenai pembedaan status keimigrasian mereka.
“Saat ini belum ada regulasi khusus tentang status keimigrasian pengungsi atau pencari suaka, di bawah Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, mereka tidak dibedakan dengan imigran ilegal,” ujar Dian.
Meratifikasi Konvensi 1951 juga penting untuk turut berkontribusi memenuhi salah satu elemen eksistensi negara dalam hal penanganan masalah di komunitas internasional, dia menambahkan.
Berbicara mengenai kesanggupan Indonesia, Dian menekankan bahwa bergabung dengan negara yang meratifikasi konvensi internasional tersebut tidak akan serta merta membuat negara ini memikul beban berat dari penanganan penuh pengungsi.
“Setidaknya terlihat itikad, kemauan baik dari Indonesia untuk aktif turut serta dalam persoalan global ini. Dan hal itu akan berpengaruh terhadap reputasi di dunia internasional,” kata Dian.
Baca juga: Pencari suaka di Kalideres dianggap jadi masalah sosial
Baca juga: Puluhan pencari suaka kembali tempati trotoar Kebon Sirih Jakarta
Baca juga: Pencari suaka di Kalideres terima bantuan LSM
Pewarta: Suwanti
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2019