Hasto, di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Senin, menyatakan pihaknya menyadari benar bahwa mengangkat isu 'jalur rempah' sangat tidak seksi dalam konteks isu politik nasional. Namun, pihaknya juga tak ingin pentas politik nasional sekedar dikuasai oleh isu politik kekuasaan yang liberal.
"Dimana media lebih suka melihat sesuatu yang bertarung berhadap-hadapan, meributkan gagasan-gagasan yang bisa memecah belah bangsa. Kami justru melihat bangsa kita sebenarnya lebih butuh gagasan yang menggelorakan kemajuan dan semangat berdikari," kata Hasto.
Oleh karena itu, PDIP lebih ingin mengajak seluruh rakyat dan pelaku pentas politik nasional berbicara soal kuliner Indonesia yang paling lengkap sedunia. Hingga Founding Father Soekarno pernah membuat buku Mustika Rasa berisi lebih dari seribu resep makanan dengan berbagai varian serta cita rasa khas Indonesia.
"Kami semacam melawan arus. Ketika orang masih suka politik kekuasaan, kami bicara tentang politik substansi. Politik apa yang ada di Indonesia," tuturnya.
Baca juga: Hasto tinjau lokasi penyelenggaraan HUT dan Rakernas I PDIP
Berbicara topik demikian akan membuat rakyat Indonesia mengingat lagi bahwa kayu cendana, kayu manis, pala, kapulaga, cengkeh, dan lainnya potensi pengembangan hulu hilir dapat hadir sebagai keunggulan produk nusantara.
"Aroma cendana misalnya, ini memiliki fungsi healing, menyembuhkan. Jadi ketika jalanan macet, pusing mendengar Taman Ismail Marzuki dibangun hotel tanpa mengingat kebudayaan kerakyatan, aromanya bisa menyembuhkan," ujarnya m
Dengan mengangkat tema yang tidak mainstream sama sekali seperti itu, kata Hasto, pihaknya justru sedang berusaha mengajak Indonesia untuk melihat keluar. Ada pesan kuat bahwa daripada terus ribut di dalam negeri sendiri, saling mencaci dan mengkafirkan, Indonesia justru butuh kemajuan untuk bisa bersaing di tingkat dunia.
"Maka kami mengajak untuk outward looking," imbuhnya.
Melalui kajian jalur rempah, PDIP ingin mengajak masyarakat melihat politik dari aspek substansi kekuatan sumber daya sendiri. Ke depan, yang disasar adalah bukan ukuran kemakmuran berdasarkan indeks Bank Dunia, namun kemampuan riil masyarakat untuk hidup sehari-hari.
"Kita memilih tanah subur, cuaca yang mendukung. Maka berpolitik bagi kami adalah dalam pengertian membumi, bagaimana membentuk kehidupan kita berdasar apa yang kita punya itu," kata pria asal Yogyakarta itu.
Baca juga: Rakernas I PDIP momentum konsolidasi politik pemerintahan
Baca juga: Presiden Jokowi sampaikan arahan pada Rakernas IV PDIP
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019