Tantangan ekonomi Sumatera Selatan 2020

24 Desember 2019 12:51 WIB
Tantangan ekonomi Sumatera Selatan 2020
Petani karet di Banyuasin, Sumatera Selatan, membawa getah. (ANTARA FOTO/Feny Selly)

Sebetulnya kelapa sawit yang dihasilkan di Sumsel sudah menjadi produk olahan. Apalagi sudah dipakai untuk penerapan B30

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan tidak akan jauh berbeda dengan kondisi di tahun ini berdasarkan kajian Asosiasi Pengusaha Indonesia yang diperkirakan berada di kisaran 4,85 persen-5,1 persen.

Meski demikian, angka itu tak mudah diraih. Apalagi kondisi global sedang tak menentu dengan terjadinya perang dagang antara AS-China dan gejolak geopolitik di sejumlah kawasan.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya Bernadette Robiani menilai hal itu tentu juga berpengaruh pada perekonomian Sumatera Selatan mengingat hingga kini masih menggantungkan pada komoditas ekspor karet, sawit, dan batubara.

Baca juga: BI proyeksikan pertumbuhan ekonomi Sumsel 2020 mencapai 5,7-6,1 persen

Tak heran jika 2020, daerah ini bakal menghadapi sejumah tantangan seiring dengan perubahan perilaku ekonomi di dalam dan luar negeri.

Bernadette mengatakan tantangan ini tak lepas dari ketergantungan dari Sumatera Selatan pada ekspor bahan baku komoditas karet, sawit dan batubara.

Ketiga komoditas ekspor tersebut diketahui mengalami penurunan harga yang cukup signifikan dalam sejak lima tahun terakhir, dan dibarengi dengan penurunan permintaan pasar dunia.

“Jika pun akan melakukan hilirisasi dengan tujuan akan diserap di dalam negeri sendiri, maka tantangannya yakni riset dan inovasi,” kata dia.

Kemudian, tantangan lainnya yakni hingga kini Sumatera Selatan sejatinya masih mengandalkan belanja pemerintah dari APBD dan APBN untuk investasi dan adanya perubahan pola konsumsi di masyarakat seiring dengan perkembangan gaya hidup.

“Konsumen lebih senang membeli makanan jadi secara online ketimbang memasak sendiri. Hal itu membawa implikasi pada melambatnya pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman,” kata dia.

Selain itu, adanya perubahan sistem dari manual ke digital juga akan berpengaruh pada serapan tenaga kerja.

Sejumlah tantangan akan dihadapi pelaku usaha di Sumsel pada 2020, tapi tentunya dibalik tantangan ini tetap ada peluang.

Ia mengatakan, peluang ekonomi itu diantaranya, adanya jalan tol yang menghubungkan Sumatera Selatan dengan Lampung dari Bakauheni hingga Palembang.

“Tersedianya jalan tol ini akan menciptakan aktivitas ekonomi baru yang memberikan dampak multi karena adanya efisiensi,” ujar dia.

Sementara itu, Bank Indonesia memproyeksi pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan bakal melaju di kisaran 5,7 persen-6,1 persen pada tahun 2020 karena didorong oleh investasi.

Kepala Perwakilan BI Sumsel Yunita Resmi Sari di Palembang, Kamis, mengatakan peningkatan pertumbuhan ekonomi di Sumatera Selatan ini tak lepas dari adanya sejumlah proyek strategis nasional, seperti pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera yang bisa mendongrak investasi.

Yunita menambahkan peningkatan investasi tersebut juga didorong oleh keyakinan pelaku usaha terhadap iklim investasi di Sumsel.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi Sumsel juga dapat terdongrak karena konsumsi rumah tangga yang diperkirakan tumbuh stabil.

Sepanjang tahun 2019, pertumbuhan ekonomi Sumsel dinilai baik, yang tercermin dari kinerja pada triwulan III/2019 sebesar 5,67 persen atau di atas pertumbuhan ekonomi nasional dan regional Sumatera, sehingga pertumbuhan ekonomi Sumsel dapat meningkat dalam kisaran 5,6 persen — 6,0 persen pada tahun 2019.

Sementara secara nasional, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprakirakan berada di sekitar 5,1 persen pada 2019 dan akan meningkat dalam kisaran 5,1 persen — 5,5 persen pada tahun 2020.

Baca juga: Upah Minimum Provinsi Sumsel 2020 ditetapkan Rp3,04 juta

Percepat hilirisasi

Bernadette Robiani mengatakan Provinsi Sumatera Selatan harus mempercepat hilirisasi komoditas demi terjaganya pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.

Bernadette mengatakan, momen penurunan harga karet yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir seharusnya menjadi kesempatan untuk mengejar hilirisasi.

Saat ini perekonomian Sumatera Selatan masih bergantung pada sektor primer, di mana masih mengekspor kelapa sawit, karet dan batu bara yang belum memiliki nilai tambah.

Oleh karena itu, Sumsel harus melihat kondisi permintaan pasar yang melemah dan ketidakstabilan harga komoditas andalan itu sebagai peluang untuk mempercepat hilirisasi.

Ia mengatakan batu bara yang masuk dalam sektor pertambangan dan penggalian berkontribusi tinggi terhadap ekonomi Sumsel. Begitu pula karet dan kelapa sawit yang masuk dalam sektor pertanian, kehutanan dan perikanan.

Menurutnya, peluang untuk hilirisasi akan terbuka lebar dengan adanya rencana dimulainya kembali aktivitas pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api Api (KEK TAA). “KEK TAA akan menciptakan nilai tambah dan multiplier effect bagi perekonomian Sumatera Selatan,” kata dia.

Sementara itu Kepala Perwakilan BI Sumsel Yunita Resmi Sari mengatakan perlu adanya perbaikan dari sisi hulu untuk peningkatan produktivitas dan peningkatan nilai tambah yang berbasis hilirisasi industri.

Ia mencontohkan, untuk komoditas karet, hilirisasi dapat diwujudkan melalui pembangunan industri ban baru, industri ban vulkanisir dan industri apparel (sarung tangan).

“Namun memang tantangannya ada pada infrastruktur di mana kapasitas pelabuhan eksisting yang terbatas sehingga berdampak pada biaya penanganan yang tinggi,” kata dia.

Oleh karena itu, bank sentral menilai, langkah Pemprov Sumsel untuk memulai kembali pengembangan KEK TAA yang dilengkapi pelabuhan laut dalam akan mendukung hilirisasi industri komoditas andalan Sumsel.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Provinsi Sumatera Selatan memproyeksi harga komoditas tersebut akan membaik pada 2020 karena menunjukkan tren positif sepanjang 2019.

Ketua Gapki Sumsel Harry Hartanto di Palembang, Kamis, mengatakan harga crude palm oil (CPO) terus menunjukkan pergerakan positif sejak April 2019.
Harga CPO Sumsel pada minggu pertama Desember 2019 sudah beranjak ke Rp9.023 per kg. Sementara untuk harga di tingkat petani berupa tandan buah segar (TBS) saat ini sudah menyentuh Rp1.678 per kg.

Harry mengatakan Sumatra Selatan berkontribusi sebanyak 5 juta ton CPO dari total produksi CPO nasional yang mencapai 36 juta ton per tahun.

“Sebetulnya kelapa sawit yang dihasilkan di Sumsel sudah menjadi produk olahan. Apalagi sudah dipakai untuk penerapan B30,” kata dia.

Menurut Harry, kenaikan harga sawit ini patut disyukuri di tengah gencarnya kampanye hitam dari negara-negara Uni Eropa terhadap produk ekspor utama Indonesia, minyak kelapa sawit (CPO).

Jika komoditas sawit mulai membaik, maka berbeda halnya dengan karet.

Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Provinsi Sumatera Selatan Nur Ahmadi mengatakan terjadi penurunan produksi di tingkat petani ini disebabkan adanya penyakit gugur daun, dan keenganan dari petani itu sendiri untuk menyadap karena anjloknya harga.

“Dari 29 pabrik pengolahan karet yang ada di Sumatera Selatan, bisa dikatakan saat ini semuanya lagi kesulitan bahan baku. Suplainya yang kurang dari petani,” kata dia.

Padahal pabrik-pabrik ini menerapkan tiga shif kerja (8 jam/shif) dalam satu hari untuk menyerap karet dari petani untuk diolah menjadi SIR 10 dan SIR 20 dan agar layak diekspor.

Saat ini sejumlah pabrik karet di Sumatera Selatan terpaksa mengurangi jam kerja pegawainya karena kekurangan pasokan bahan baku dari petani itu.
Ia mengatakan biasanya pabrik memberlakukan tiga shift jam kerja dalam satu hari dengan tiap-tiap shift bekerja untuk delapan jam.

Namun, sejak beberapa bulan terakhir hanya memberlakukan satu hingga dua shift saja lantaran volume bahan baku jauh berkurang.
Kondisi ini membuat pengusaha karet kesulitan mengingat untuk mengekspor karet dalam bentuk SIR 10 dan SIR 20 diberlakukan ketentuan minimal untuk volumenya.

“Ya saat ini bisa dikatakan, pengusaha itu hanya bertahan. Tapi belum bisa dikatakan bangkrut,” kata dia.

Gapkindo mengharapkan pemerintah dapat melakukan langkah-langkah konkret untuk mengatasi persoalan ini mengingat penurunan harga komoditas karet itu sudah terjadi sejak 2013.

Pada 2019 ini, harga masih di bawah standar yakni hanya berkisar 1,3 dolar fob/kg, sehingga di tingkat petani hanya sektiar Rp5.000—Rp7.000/kg, dan di kelompok tani berkisar Rp8.000-Rp9.000/kg.

“Pemerintah harus memperkuat diplomasinya terutama ke sesama negara pengekspor karet, agar mau mengurangi produksi. Indonesia, Thailand dan Malaysia sudah sepakat, tapi ini ada negara-negara baru seperti Vietnam dan Kamboja,” kata dia.

Data terakhir menunjukkan terjadi penurunan ekspor karet Sumsel pada Mei 2019 sebesar 22 persen, sejalan penurunan produksi karet Sumsel yang menyusut hingga 40 persen menjadi 583 ribu ton per kuartal I 2019. Padahal pada periode 2017-2018, produksi karet secara kuartalan berada di kisaran 971 ribu ton.

Untuk itu, Gapkindo menunggu langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi persoalan di sektor karet ini mengingat keinginan untuk membangun industri hilirisasi hingga kini sebatas wacana karena tak kunjung terealisasi.

Baca juga: Upah Minimum Provinsi Sumsel 2020 ditetapkan Rp3,04 juta

Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019