"Semuanya berlangsung normal. Mereka beribadah sehari-hari seperti biasanya," kata peneliti XDRC Gulinaer Wufuli kepada pers di Beijing, Selasa.
Ia menyebutkan jumlah masjid di Xinjiang sekitar 20.000 unit dengan jumlah pemuka agama Islam sekitar 23.000 orang.
"Di Xinjiang juga ada pesawat carter yang telah mengantarkan sekitar 50 ribu warga setempat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji," kata peneliti perempuan beretnis Uighur itu.
Demikian halnya dengan lembaga pendidikan agama Islam, lanjut dia, daerah otonomi yang dihuni oleh etnis minoritas Uighur itu juga memiliki beberapa unit.
Baca juga: Xinjiang berterima kasih atas dukungan negara Islam
Selain itu, Wufuli menambahkan bahwa ada beberapa warga Xinjiang yang belajar agama Islam di berbagai negara.
"Kami juga turut menerjemahkan Al Quran dalam empat bahasa, Uighur, Kazakh, Turkish, dan Mandarin untuk membantu masyarakat lokal memahami isinya," ujarnya.
Menurut dia, Islam dan China telah memiliki sejarah yang relatif panjang dan saling berkaitan. "Kontribusi Islam di sini juga cukup besar," katanya dalam jumpa pers bersama pejabat Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang di kantor Kemlu China itu.
Sementara itu, peneliti XDCR lainnya Tursun Abai menampik tuduhan beberapa negara mengenai terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di daerah setingkat provinsi berpenduduk sekitar 28 juta jiwa itu.
"Justru hak-hak orang Uighur selama ini terlindungi dengan baik sehingga wajar kalau mereka mendukung kebijakan pemerintah. Namun kenapa masih banyak yang mengabaikan fakta ini?" ujarnya.
Dalam memberikan keterangan kepada pers tersebut, kedua peneliti itu didampingi oleh Deputi Direktur Publikasi Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang Xu Guixiang dan Wali Kota Hotan Rexiati Musajiang.
Baca juga: Mathla'ul Anwar ajak China rangkul Muslim Uighur
Baca juga: PBNU minta pemerintah Tiongkok agar muslim Uighur bisa beribadah
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2019