"Bahkan, baru-baru ini Presiden RI Joko Widodo sudah mengungkapkan keinginan memangkas birokrasi dan sebagai gantinya akan memakai AI untuk urusan birokrasi yang tidak rumit," kata Pratama Persadha kepada ANTARA di Semarang, Senin malam.
Dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini menjelaskan bahwa ancaman serangan siber pada tahun 2020 akan membawa masyarakat dunia pada level baru, bahkan para peretas yang memanfaatkan AI.
Menurut dia, perkembangan AI tidak hanya terjadi di industri dan dunia birokrasi. Para peretas juga mengembangkan AI untuk melahirkan malware dan ransomware yang mampu melakukan pembelajaran dan menambah peluang untuk melakukan satu serangan.
"Dengan AI, malware, ransomware, virus, dan trojan terus akan berkembang dan mampu memperbaiki kelemahannya saat melakukan operasi," kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC.
Baca juga: BSSN: kemudahan teknologi miliki risiko dan ancaman
Perkembangan AI, kata Pratama, memang sangat menggembirakan, bahkan menjadi solusi di berbagai tempat. Namun, masyarakat wajib antisipasi bahwa AI bisa untuk mengembangkan perangkat serangan siber yang lebih canggih, atau sebuah parasit di wilayah siber yang bisa berpikir seperti manusia.
Menurut Pratama, serangan malware akan meningkat. Data BSSN menunjukkan Januari-September 2019 ada 129 juta serangan. Angka tersebut bisa jadi akan jauh lebih besar karena serangan tak semuanya terpantau dan dilaporkan korban.
Selain AI yang digunakan para peretas untuk melakukan evolusi pada malware, netizen tanah air juga akan dipusingkan oleh serangan yang menyasar aplikasi populer. Tidak hanya peretasan, tetapi aksi memanipulasi juga bisa dilakukan orang biasa tanpa kemampuan hacking.
Pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini lantas mencontohkan kasus akun GoPay Maia Estianti.
Pratama mengutarakan bahwa makin banyak orang sadar celah keamanan tidak selalu soal sistem pada web, aplikasi, dan jaringan maka makin banyak yang menyadari bahwa manipulasi bisa juga lewat korban yang minim pengetahuan IT.
"Paling banyak adalah kejadian menjebol akun dengan meminta OTP lewat SMS maupun telepon. Ini merupakan praktik social engineering yang sudah sering dilakukan pelaku kejahatan dengan berbagai modus," kata Pratama.
Baca juga: Panglima TNI: Prajurit waspadai ancaman siber dari kemajuan teknologi
Baca juga: BNPT dan BSSN kerja sama pengamanan siber dari ancaman teroris
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019