Hal itu disampaikan dosen hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Teguh Santosa guna menanggapi pelanggaran yang dilakukan coast guard China di perairan Natuna pada akhir Desember lalu.
Dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis, Teguh menyebut bahwa Indonesia telah mengumumkan penggunaan nama Laut Natuna Utara bersamaan dengan peluncuran peta baru NKRI pada 2017.
Baca juga: Pemerintah mutakhirkan peta NKRI
Peta baru itu memuat sejumlah perubahan terkait kepastian garis batas dengan negara tetangga, termasuk di dalamnya adalah mengubah garis-putus di perairan Pulau Natuna menjadi garis-utuh setelah Indonesia dan negara tetangga Malaysia dan Vietnam menyelesaikan sengketa perbatasan.
“Karena perairan batas wilayah kedaulatan NKRI sudah dipastikan, maka sangat wajar dan sudah sepantasnya Indonesia memberikan nama baru bagi perairan itu. Nama yang dipilih pun pas, Laut Natuna Utara,” kata Teguh.
Baca juga: Pemerintah resmikan penamaan Laut Natuna Utara
Kini pemerintah perlu mengawal agar nama Laut Natuna Utara segera mendapat pengesahan di International Hydrographic Organization (IHO), di mana Indonesia dan China sama-sama menjadi anggota organisasi yang bermarkas di Monako itu.
Segera setelah peta baru NKRI diumumkan pada 2017, pemerintah China juga menyampaikan protes dan menolak nama itu.
Sejak itu, menurut Teguh, kelihatannya perjuangan Laut Natuna Utara sedikit mengalami pelemahan.
“Ayo, jangan kendur dong. Laut Natura Utara itu hak kedaulatan kita,” ujar dia.
Lebih lanjut Teguh berpendapat bahwa faktor historis yang selalu digunakan pemerintah China untuk mendukung klaim mereka atas Laut China Selatan sangat tidak relevan.
Klaim itulah yang digunakan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang untuk membenarkan tindakan armada Coast Guard China dan kapal-kapal pencari ikan mereka memasuki Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia yang diakui PBB.
“Klaim sejarah China itu tidak mendapat tempat dalam hukum internasional saat ini, juga tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982, tutur Teguh.
Teguh mengatakan bahwa Permanent Court of Arbitration (PCA) di Belanda pada Juli 2016 bahkan telah memutuskan bahwa China tidak memiliki hak kedaulatan atas wilayah yang mereka klaim, dalam kasus melawan Filipina.
"Ini adalah yurisprudensi yang harus dihormati,” ujar dia.
Menurut Teguh, komunitas internasional, terutama negara-negara ASEAN yang bersengketa dengan China di Lautan China Selatan, harus bersatu menyadarkan China bahwa zaman telah berubah.
"Semua negara harus mematuhi hukum internasional yang berlaku demi menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan," kata Ketua bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu.
Baca juga: Anggota DPR desak China hormati Laut Natuna Utara
Baca juga: Wapres: nama Laut Natuna Utara terdaftar internasional
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2020