"Pemerintah harus dapat menciptakan rasa aman dalam berinvestasi agar 'country risk' relatif tidak membahayakan kegiatan perekonomian secara keseluruhan," ujar Pendiri LBP Institute Lucky Bayu Purnomo ketika dihubungi di Jakarta, Selasa.
Jika terjadi perang, lanjut dia, setiap negara dapat mengalami kesulitan melakukan ekspor maupun mendapatkan persediaan bahan baku. Dengan demikian, kepastian rasa aman dan kemudahan investasi menjadi penting untuk diperhatikan.
Baca juga: Pemerintah antisipasi dampak konflik Iran-Amerika
"Maka itu, skenario pemerintah harus kuat. Pemerintah harus mengevaluasi kembali paket-paket kebijakan yang telah dikeluarkan, apakah masih relevan di tengah munculnya ketidakpastian baru setelah perang dagang AS-China," katanya.
Ia menambahkan, risiko lain yang muncul karena konflik AS-Iran yakni kenaikan harga minyak mentah dunia.
"Harga minyak berpotensi menguat akibat ketegangan yang terjadi itu, situasi itu dapat membuat setiap pelaku pasar membatasi transaksi, baik jual maupun beli," katanya.
Baca juga: Trump: AS akan hancurkan 52 target di Iran jika warga Amerika diserang
Dalam ekonomi, lanjut dia, adanya pembatasan jual-beli akan memicu persediaan dan permintaan juga terbatas yang akhirnya mendorong harga barang menjadi meningkat.
"Untuk sementara, harga minyak diprediksi bisa mencapai ke level 70 dolar AS per barel jika konflik itu berlarut-larut," katanya.
Tercatat, harga minyak mentah berjangka jenis Brent pada hari ini (Selasa, 7/1) di angka 68,44 dolar AS per barel. Sedangkan harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate sebesar 62,89 dolar AS per barel.
"Dampak bagi Indonesia tentu akan kurang baik dengan meningkatnya harga minyak, karena racikan APBN salah satunya menggunakan harga minyak dunia," papar Lucky.
Sementara itu tercatat, dalam APBN 2020, harga minyak mentah Indonesia (ICP) diasumsikan sebesar 63 dolar AS per barel.
Jika harga minyak naik, Lucky menambahkan, maka potensi dolar AS menguat terhadap mata uang global semakin terbuka, hal itu dikarenakan sifat transaksi minyak yang menggunakan dolar AS.
"Pemerintah harus mengantisipasi, salah satunya melakukan restrukturisasi utang, karena mayoritas utang kita dalam bentuk dolar AS," katanya.
Secara terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah menyarankan agar bauran kebijakan pemerintah untuk dikaji kembali. Pemerintah harus fokus tetap menjaga daya beli masyarakat untuk tetap baik agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga.
"Kemudian lebih mempermudah investasi masuk, bagaimanapun pasar Indonesia besar," katanya.
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020