Kalau situasi makin memburuk dan belasan negara itu melibatkan diri, apalagi pada posisi yang berhadap-hadapan memang keadaan sungguh menakutkan
Presiden keenam RI sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono meminta pemimpin dunia tidak abstain dengan konflik yang melibatkan Amerika Serikat, Iran dan Irak.
Dalam tulisannya yang diterima di Jakarta, Selasa, SBY menyebutkan geopolitik di kawasan Timur Tengah (Raya) yang kembali mendidih, sangat bisa merobek keamanan internasional yang sudah rapuh.
"Saya pribadi termasuk orang yang tak mudah percaya bahwa krisis Timur Tengah saat ini akan menjurus ke sebuah perang besar, apalagi perang dunia. Namun, saya punya hak untuk cemas sekaligus menyerukan kepada para pemimpin dunia agar tidak abstain, dan tidak melakukan pembiaran," kata SBY.
Dia mengatakan banyak pihak sungguh cemas dengan perkembangan terbaru di kawasan tersebut karena banyak negara yang melibatkan diri dengan kepentingan berbeda-beda.
"Belum non-state actors yang selama ini turut meramaikan benturan politik, sosial dan keamanan yang ada," ujar dia.
Dia menekankan meskipun seolah saat ini mata dunia tertuju kepada Iran, Irak dan Amerika Serikat, namun peran negara lain seperti Rusia, Turki, Israel, Suriah, Saudi Arabia, Libya, Mesir, Qatar, Afghanistan dan Yaman serta sejumlah negara NATO dan lainnya tidak bisa diabaikan.
"Kalau situasi makin memburuk dan belasan negara itu melibatkan diri, apalagi pada posisi yang berhadap-hadapan memang keadaan sungguh menakutkan. Itulah sebabnya sebagian dari kita mulai bertanya, jangan-jangan perang dunia yang kita takutkan terjadi lagi. Akankah ke situ?" ujar SBY.
Dia mengatakan para pemimpin dunia tidak boleh berdiam diri. Para pemimpin dunia, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, menurutnya harus melakukan sesuatu.
"Terlalu berbahaya jika nasib dunia, utamanya nasib 600 juta lebih saudara-saudara kita yang hidup dan tinggal di kawasan itu, hanya diserahkan kepada para politisi dan para jenderal Amerika Serikat, Iran dan Irak," jelas dia.
Dia menegaskan Timur Tengah dan bahkan dunia akan bernasib buruk jika para politisi, diplomat dan jenderal di negara-negara tersebut melakukan kesalahan yang besar. Menurut dia, risikonya bisa memunculkan terjadinya tragedi kemanusiaan yang juga besar.
"Generasi masa kini memang tidak pernah merasakan harga yang harus dibayar oleh sebuah perang dunia, sebagaimana yang terjadi di awal dan medio abad 20 dulu. Sebenarnya, melalui buku-buku sejarah atau film-film, sebagian dari mereka mengetahui getirnya penderitaan manusia yang menjadi korban dari sebuah peperangan berskala besar," terang dia.
Dia menekankan pasca-tewasnya Jenderal Iran Qassem Soleimani oleh serangan udara Amerika Serikat beberapa hari lalu, siang dan malam dirinya mengikuti pemberitaan media internasional.
SBY mengaku mengikuti aksi-aksi dan juga reaksi politik, sosial dan militer di banyak negara yang punya kaitan dan kepentingan dengan Timur Tengah, terutama yang dilakukan oleh Irak, Iran dan Amerika Serikat.
"Bukan hanya pada tingkat pemimpin puncak, tetapi juga pada pihak eksekutif, legislatif, militer dan bahkan rakyatnya. Bukan hanya aksi-aksi nyata yang dilakukan di masing-masing negara, tetapi juga pada hebohnya sikap ancam-mengancam, perang mulut dan retorika besar yang digaungkan," ujar SBY.
Pertanyaannya sekarang, kata SBY, apakah sebuah perang besar yang mengerikan bakal benar-benar terjadi? Menurut dia, jawabannya tidak mudah.
SBY meyakini tidak ada yang berani memastikan perang itu pasti terjadi atau sebaliknya. SBY mengaku hanya ingin menyampaikan pendapat dan harapannya terkait konflik tersebut agar sebuah peperangan di kawasan yang rakyatnya sudah cukup menderita dapat dicegah dan dihindari.
"Saya orang biasa dan tak punya kekuasaan yang formal. Namun, sebagai warga dunia yang mencintai perdamaian dan keadilan, secara moral saya merasa punya kewajiban untuk to say something," jelasnya.
Dia menjelaskan penyebab terjadinya perang antar negara, atau yang melibatkan banyak negara, berbeda-beda. Pemicu meletusnya sebuah peperangan juga bermacam-macam.
Dia mengulas, Perang Dunia ke-1, yang menyebabkan korban jiwa 40 juta orang, disebabkan oleh terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand dari Austria-Hongaria di Sarajevo pada bulan Juni 1914.
Peristiwa yang menyulut peperangan besar ini sering disebut sebagai "kecelakaan sejarah" (unexpected accident). Sementara, Perang Dunia ke-2 yang terjadi di mandala Pasifik dipicu oleh serangan pendadakan angkatan udara Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, 7 Desember 1941.
"Untuk diingat, keseluruhan korban perang dunia ke-2 di mandala Eropa dan mandala Pasifik berjumlah 70-85 juta jiwa. Para ahli sejarah mengatakan bahwa Jepang menyerang Amerika Serikat itu adalah sebuah kesalahan. Diibaratkan Jepang sebagai membangunkan macan tidur. Kesalahan itu sebuah strategic miscalculation yang dilakukan oleh para politisi dan jenderal-jenderal militer Jepang," ujar dia.
Kejadian miskalkulasi atau salah hitung ini, kata dia, kerap menjadi faktor yang mendorong terjadinya peperangan. Demikian juga kejadian di lapangan, yang tak terduga, seperti yang terjadi di Sarajevo tahun 1914 silam.
Dari kacamata ini, kata SBY, sejarah tengah menunggu apakah politisi dan jenderal Amerika Serikat dan Iran melakukan miskalkulasi, sehingga akhirnya mendorong terjadinya perang terbuka di antara mereka.
Di luar itu, apakah juga tiba-tiba terjadi peristiwa di lapangan, entah di Irak, di Iran, ataupun di tempat dimana aset dan satuan-satuan militer Amerika Serikat berada, yang bisa ditafsirkan sebagai aksi untuk melancarkan peperangan, meskipun para politisi dan petinggi militer tak merencanakan dan memerintahkannya.
"Kalau kedua hal ini tak terjadi dalam waktu mendatang, dunia bisa menghela nafas lega. Paling tidak untuk sementara," kata dia.
Tetapi, menurut SBY, perlu diingat di kawasan Timur Tengah terlalu banyak elemen yang tidak selalu berada dalam satu garis komando dengan pemimpin puncaknya.
Dalam konteks permusuhan dan ketegangan Amerika Serikat dengan Iran saat ini, menurut dia, ada sejumlah elemen di luar Iran dalam kapasitas sebagai negara. Misalnya, kata dia, Hesbollah di Libanon, Hamas di Palestina, dan elemen dalam negeri Irak yang sangat pro Iran.
"Belum organisasi radikal dan terorisme yang meskipun tidak ada kaitannya dengan Iran, tetapi anti Amerika. Jadi, segala kemungkinan yang menjadi pemicu meletusnya sebuah perang terbuka selalu ada," kata dia mengingatkan.
Selain itu, perang juga mudah terjadi di tangan pemimpin yang eratik dan gemar perang. Saat ini, kata dia, sejarah juga sedang menguji apakah Presiden Trump, Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani termasuk kategori pemimpin yang eratik dan suka perang atau tidak.
"Semoga mereka bukan tipe itu. Semoga pikiran jernih, kalkulasi yang matang dan kearifan hati menyertai para pemimpin tersebut. Semoga doa dan harapan saya ini, saya yakin juga banyak yang berdoa dan berharap demikian, dikabulkan oleh Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa," harap SBY.
Dia mengetahui para pemimpin dunia sangat mencintai bangsa dan negaranya. Dirinya juga mengetahui bahwa para pemimpin tersebut patriot sejati bagi tanah airnya.
Namun, dia mengingatkan patriotisme dan nasionalisme yang positif tidak boleh menghalang-halangi para pemimpin itu jika hendak menyelesaikan masalah sedamai mungkin.
"Paling tidak bukan memilih perang sebagai satu-satunya cara. Saya yakin political and diplomatic resources masih tersedia. Saya yakin masih ada jalan untuk mencegah terjadinya peperangan besar," ujar SBY.
SBY mengaku memahami keadaan sangat tidak mudah bagi para pemimpin Iran dan Amerika Serikat. Sebab ada persoalan harga diri dan juga keadilan yang harus ditegakkan.
Akar permusuhan di antara kedua negara, kata dia, juga sangat dalam di mana Iran merasa sangat dipermalukan dengan tewasnya Jenderal Soleimani yang sangat dibanggakan dan dicintai. Namun, di sisi lain Amerika Serikat juga pernah merasa terhina ketika 52 orang warga negaranya disandera selama 444 hari di Kedutaan Besar mereka di Teheran tahun 1979-1981 silam.
"Sekali lagi, situasinya memang tidak mudah saat ini. Kita saksikan di layar televisi, emosi dan kemarahan rakyat Iran tinggi sekali," ujar dia.
SBY memandang para pemimpin Iran pasti berada di ombak dan arus besar yang menyeru dilakukannya pembalasan yang lebih keras terhadap Amerika Serikat. Namun, menurut dia, orang bijak menasehatkan kepada para pemimpin agar tidak mengambil keputusan yang gegabah tatkala hati dan pikiran mereka sedang diliputi oleh amarah yang memuncak.
Dia menekankan dewasa ini dunia berada dalam situasi yang jauh dari teduh. Banyak sikap dan pandangan yang serba ekstrim, paling tidak lebih ekstrim dibandingkan dengan situasi sepuluh-dua puluh tahun yang lalu.
Gelombang nasionalisme, populisme, rasisme dan radikalisme menurutnya makin menguat, demikian juga otoritarianisme.
"Saya kira bukan hanya Donald Trump yang mengangkat simbul-simbul nasionalisme 'America First' . Saya amati banyak pemimpin dunia seperti itu. Barangkali itu pula sikap pemimpin Iran. Demikian pula Tiongkok, Rusia, Inggris, Korea Utara dan banyak lagi yang lain. Barangkali, semua negara juga begitu," ujar dia.
Dia mengatakan selama 10 tahun memimpin Indonesia dirinya masih merasakan suasana dunia yang lebih baik. Kehangatan dan kedekatan di antara pemimpin dunia kala itu, menurut SBY, masih terasa.
Misalnya, dia menjelaskan, meskipun ada perbedaan kepentingan antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dan Rusia, namun para pemimpinnya masih membuka ruang untuk berdialog dan berkolaborasi untuk kepentingan bersama.
Demikan juga antara Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan. Juga antara Inggris, Perancis dan Jerman untuk urusan Eropa serta antara Tiongkok dengan negara-negara ASEAN menyangkut urusan Laut Tiongkok Selatan.
Termasuk antara Saudi Arabia, Iran, Qatar, Mesir dan negara-negara Islam di Timur Tengah dalam urusan kerjasama dunia Islam serta kemesraan antara Amerika Serikat dengan kedua tetangganya, Kanada dan Meksiko.
Kedekatan antar pemimpin dunia, kata SBY, juga tercermin dalam kebersamaan di berbagai forum. Misalnya PBB, G20, G8 (+), APEC, OKI, D8, ASEAN, EAS, GNB, ASEM, serta forum-forum kerjasama multilateral dan regional yang lain.
"Tentu saja minus perseteruan yang terjadi di antara negara-negara tertentu yang memang sudah berlangsung lama dan nyaris permanen. Misalnya, antara Iran dengan Israel, antara Amerika Serikat dengan Korea Utara, Iran dan juga Venezuela," kata dia.
Dalam pengamatan SBY, G20 kini tidak sekokoh dulu, sementara G8 sudah mati suri. Di tubuh OKI, menurut pandangannya, nampak ada jarak dan ketegangan internal yang meningkat.
"Bahkan, ASEAN pun tidak sekohesif dulu. Di internal Uni Eropa sering terjadi 'pertengkaran' yang antara lain ditandai dengan keluarnya Inggris dari organisasi itu," kata dia.
Dia menilai menguatnya kembali sentimen nasionalisme dan populisme turut menjadi penyebab. Berbagai organisasi kerjasama kawasan ikut melemah semangatnya untuk selalu berada dalam satu posisi, karena kemungkinan masing-masing negara harus mengutamakan kepentingan nasionalnya masing-masing.
Dia menekankan jika ada yang sangat mencemaskan dan sungguh ingin tahu apakah ketegangan yang begitu memuncak di Timur Tengah bakal menyulut terjadinya perang terbuka di kawasan itu, maka tiga faktor yang disebutkannya dapat dijadikan pisau analisis yakni miskalkulasi, pemimpin yang eratik dan nasionalisme yang ekstrim.
Namun dia mengingatkan, ada satu hal yang mungkin luput dari percaturan para pengamat geopolitik dan hubungan antar bangsa yang mungkin akan sangat menentukan akhir dari kemelut berintensitas tinggi di Timur Tengah ini.
SBY mengaku tidak yakin, paling tidak untuk saat ini, jika Presiden Trump maupun Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani benar-benar siap dan sungguh ingin berperang.
"Pasti para pemimpin itu sangat menyadari bahwa di belakangnya ada puluhan bahkan ratusan juta manusia yang dipimpinnya. Mereka juga tahu keputusan dan tindakan yang akan diambil akan berdampak pada situasi kawasan secara keseluruhan, bahkan dunia. Mereka juga tidak ingin punya legacy yang buruk dalam biografinya masing-masing jika keputusan dan pilihannya salah," yakin SBY.
Dengan alasan itu semua, SBY meyakini pilihan yang diambil para pemimpin dunia akan sangat rasional dan "bermoral". Artinya, perang terbuka di antara kedua negara bukanlah pilihan utama.
Menurut dia, sangat mungkin ketegangan bahkan permusuhan yang sangat memuncak ini akan berakhir dengan sebuah kesepakatan besar strategis yang adil.
"Tentu ada take and give diantara mereka. Elemennya bisa soal sanksi ekonomi, pengembangan nuklir Iran, atau komitmen untuk tidak saling menyerang aset dan objek militer masing-masing," jelasnya.
SBY mengajak seluruh pihak membiarkan para pemimpin kedua negara menentukan dan memilih bentuk kesepakatannya bersama.
Dunia dan sejarah menurut dia, harus memberikan kesempatan kepada keduanya. Namun di sisi lain pemimpin dunia juga harus mendorong dan mempersuasi agar solusi indah itu terjadi, bukan sebaliknya merintangi dan memprovokasi untuk tidak terjadi.
"Siapa tahu sejarah menyediakan peluang baru bagi hubungan antara Amerika Serikat dan Iran. Siapa tahu para pemimpin di kedua negara penting ini tergerak untuk berpikir out of the box, misalnya membangun paradigma dan cara pandang baru dalam hubungan bilateralnya di masa depan," urainya.
Baca juga: KBRI Kuwait imbau WNI waspada terkait perkembangan situasi di kawasan
Baca juga: Indonesia minta AS dan Iran tahan diri pasca serangan di Irak
Baca juga: Pemerintah antisipasi dampak konflik Iran-Amerika
Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020