"Transfer uangnya sudah melalui handphone kaya gini, 'smartphone'. Jadi, sudah digital," katanya di Jakarta, Jumat, seraya menunjuk "smartphone" awak media yang digunakan merekam wawancara.
Mahfud ditemui usai menunaikan Shalat Jumat di Kantor Kemenko Polhukam, dan baru saja juga bertemu dengan Direktur Jenderal Penanggulangan Terorisme Pemerintah Jepang Shigenobu Fukumoto.
Dalam pertemuan yang berlangsung di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius ikut mendampingi Menko Polhukam.
Kalau dulu, kata Mahfud, pendanaannya masih secara konvensional melalui bank sehingga memudahkan aparat penegak hukum untuk melacak aliran dana untuk kegiatan terorisme.
Namun, menurut dia, dengan pola seperti sekarang membuat aliran dananya susah terlacak, apalagi disebar ke berbagai orang sebagai penerima dana sebelum dikumpulkan kembali.
"Sekarang, 'jret' gitu sudah sampai ke yang bersangkutan, dan itu disamarkan dan dibagi. Misalnya, di Indonesia ada yang nerima 100 orang dibagi-bagi, dikumpulkan. Itu dioperasikan untuk beli senjata merakit senjata, dan sebagainya," katanya.
Selain itu, Mahfud juga mengkhawatirkan semakin canggihnya terorisme karena lebih banyak melibatkan kaum perempuan dan anak-anak.
Ia mencontohkan warga negara Indonesia yang terindikasi terlibat terorisme yang masih berada di Suriah, atau sering disebut FTF (Foreign Terrorist Fighter).
"Coba yang ada di Suriah itu ada 187 orang kita di sana yang diduga bergabung dengan teroris. Sebanyak 31 orang itu laki-laki, sisanya itu perempuan dan anak-anak," kata Mahfud.
Baca juga: Mahfud bahas kerja sama penanggulangan terorisme dengan Jepang
Baca juga: Mahfud sebut 187 WNI terindikasi terorisme masih di Suriah
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2020