Banyak dari hotel virtual ini yang memanfaatkan pondokan sebagai tempat usahanya. Tentunya, hal ini justru merugikan konsumen
Pemerintah Kota Yogyakarta akan melakukan kajian dengan berbagai pihak termasuk Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia untuk menyiapkan regulasi guna menyikapi menjamurnya bisnis hotel virtual, sekaligus untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
“Kami akan menyiapkan regulasi. Tujuannya untuk perlindungan konsumen. Ini yang penting,” kata Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti usai bertemu dengan DPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY di Yogyakarta, Senin.
Menurut Haryadi, PHRI DIY sudah memberikan masukan mengenai kondisi bisnis hotel di Yogyakarta, di antaranya persaingan usaha antar hotel termasuk dengan hotel virtual yang memanfaatkan berbagai bangunan yang semula tidak diperuntukkan untuk usaha hotel.
Oleh karena itu, lanjut dia, regulasi utama yang akan diterapkan adalah melalui izin membangun bangunan (IMB) sehingga pemanfaatan bangunan sesuai dengan izin yang dimintakan, tidak serta merta pondokan dapat dimanfaatkan untuk usaha hotel.
Baca juga: Yogyakarta targetkan aturan teknis izin "guest house" selesai bulan ini
Baca juga: Yogyakarta perpanjang moratorium izin pembangunan hotel
Selain regulasi untuk hotel virtual, Haryadi juga mengatakan akan melakukan pengawasan terhadap usaha perhotelan di Yogyakarta sehingga setiap hotel beroperasi sesuai dengan kategori hotel yang dimiliki. “Hotel bintang 4 atau 5 tidak mengambil pasar hotel bintang tiga ke bawah. Persaingan usaha harus dilakukan secara sehat,” katanya.
Sementara itu, Ketua DPD PHRI DIY Deddy Pranawa Eryana mengatakan, belum mengetahui secara pasti jumlah hotel virtual yang beroperasi di Kota Yogyakarta namun ada empat operator besar yang mengelola hotel virtual tersebut. Seluruhnya berbasis di luar negeri.
“Banyak dari hotel virtual ini yang memanfaatkan pondokan sebagai tempat usahanya. Tentunya, hal ini justru merugikan konsumen. Terkadang, perbedaan harga sewanya pun sangat tinggi bahkan lebih mahal dibanding hotel,” katanya.
Deddy mencontohkan, harga yang ditawarkan hotel virtual saat “low season” bisa sangat murah yaitu Rp90.000 namun saat “peak season” bisa mencapai lebih dari Rp1 juta.
“Kami menilai, penetapan tarif dilakukan dengan aji mumpung. Saat permintaan besar, mereka menerapkan tarif yang sangat tinggi,” katanya.
Ia menambahkan, sistem operasional yang dilakukan hotel virtual tersebut justru berpotensi merugikan konsumen karena tidak ada standarisasi layanan yang seharusnya diterima konsumen.
“Ada lembaga sertifikasi usaha (LSU) yang melakukan standarisasi terhadap operasional hotel sehingga layanan yang diberikan pun sesuai standar,” katanya.
Baca juga: Yogyakarta ancam cabut izin hotel langgar aturan
Oleh karena itu, lanjut Deddy, regulasi terhadap operasional hotel virtual ini sangat penting untuk segera ditetapkan sehingga pelaku usaha hotel virtual juga berkonstribusi membayar pajak kepada pemerintah daerah untuk kebutuhan pembangunan.
“Jika beroperasi seperti ini, maka bisa saja mereka tidak membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan,” katanya.
Ia menyebut, penerapan regulasi untuk hotel virtual dapat diawali dari IMB yang dimiliki bangunan yang digunakan untuk usaha hotel virtual. “IMB bangunan harus sesuai dulu,” katanya yang menyebut akan menggandeng usaha hotel virtual untuk masuk sebagai anggota PHRI.
Dengan menjadi anggota PHRI, sebut Deddy, maka data mengenai jumlah kunjungan wisata termasuk potensi pajak daerah dari hotel dapat dihitung dengan lebih tepat.
Baca juga: Walau dikritik, izin pembangunan hotel berbintang di Yogyakarta lanjut
Baca juga: Pengelola hotel Yogyakarta diharapkan hindari perang tarif
Pewarta: Eka Arifa Rusqiyati
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020