"Sepanjang tahun lalu ada 10.434 rumah, 35 sekolah dan sejumlah fasilitas umum terkena bencana ekologis banjir dan tanah longhsor, pada tahun ini diprediksi bisa lebih banyak lagi," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, M Hairul Sobri pada acara Tinjauan Lingkungan Hidup selama 2019, di Palembang, Selasa.
Untuk mencegah agar tidak terjadi bencana yang lebih parah dan korban yang lebih banyak, diharapkan pemerintah daerah dan aparat terkait untuk melakukan berbagai tindakan penyelamatan lingkungan.
Banjir dan tanah longsor akibat ulah sekelompok masyarakat tertentu dan perusahaan melakukan penebangan pohon secara ilegal, sementara upaya penghijauan oleh pemerintah daerah sangat sedikit.
Selain itu maraknya aktivitas industri ekstraktif yang berbasiskan lahan dan sumberdaya alam merupakan bagian dari pembangunan yang selama ini turut berperan menjadi penyebab bencana ekologis.
Baca juga: Walhi : 1,03 juta penduduk Sulsel terdampak bencana ekologis
Baca juga: Koala, walabi terancam punah akibat "bencana ekologis" Australia
Baca juga: Walhi ingatkan reklamasi Jakarta bisa timbulkan bencana ekologis
Bencana ekologis adalah akumulasi kerusakan akibat kesalahan pengolahan dan pemanfaatan sumberdaya alam, serta eksploitasi karena kepentingan industri, katanya.
Banyaknya korban dan kerugian yang disebabkan bencana ekologis itu menunjukkan telah terjadi ketidakseimbangan ekologis, yang kemudian memicu perubahan iklim.
Perubahan iklim menimbulkan bencana ekologis dengan dampak yang sangat luas dirasakan oleh masyarakat, kondisi tersebut menandakan ada sesuatu yang tidak beres dalam pengelolaan sumberdaya alam di provinsi ini, ujar Direktur Walhi Sumsel.*
Baca juga: Sumsel alami 176 bencana ekologis, sebut Walhi
Baca juga: KLHK susun kebijakan jauhkan masyarakat dari bencana ekologis
Baca juga: Banjir di Indonesia bencana ekologis, kata Menteri LH
Pewarta: Yudi Abdullah
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020