"Ketika pemerintah meyakini hanya mereka yang bisa menjaga hutan, sebenarnya di seluruh pelosok negeri ini juga banyak komunitas masyarakat adat atau lokal yang sudah mempraktikkan itu," ujar Dahniar dalam konferensi pers yang diadakan di Jakarta, Kamis.
Meski pemerintah sudah mulai bergerak dengan pengadaan dana desa, katanya, tapi itu semua perlu juga didukung, termasuk masyarakat adat, dengan usaha untuk mengurangi konflik agraria yang masih terjadi hingga sekarang.
Menurut data yang dikumpulkan oleh HuMa, hingga Desember 2019 telah terjadi konflik agraria dan sumber daya alam sebanyak 346 kasus di 166 kabupaten dan kota di 32 provinsi.
Konflik agraria tersebut melibatkan areal seluas 2.322.699,325 hektare (ha) dan 1.164.174 jiwa masyarakat adat. Konflik perkebunan sendiri menempati tempat tertinggi dengan 161 konflik.
Baca juga: Komnas HAM: RUU Pertanahan tak hadirkan penyelesaian konflik
Karena itu HuMa meminta, selain mendukung investasi, pemerintah juga bisa mulai menguatkan masyarakat di akar rumput yang paling mengetahui kebutuhan mereka.
Baca juga: KSP sepakati 14 hari percepat penyelesaian konflik agraria kehutanan
Menurut dia, pemerintah harus mulai sadar bahwa peningkatan investasi harus berjalan beriringan dengan kesadaran bahwa ada keperluan untuk merancang program dan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan semua masyarakat.
Baca juga: Masyarakat adat perlu dilibatkan dalam rencana perpindahan IKN
Dia mengambil contoh bagaimana masyarakat adat Karampuang di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, berhasil mendorong pemerintah lokal untuk mengoptimalkan pemanfaatan Dana Desa untuk pelestarian wilayah adat.
"Masyarakat yang paling tahu apa yang mereka butuhkan dan bagaimana cara mengalokasikan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pemerintah hanya perlu membuka kesempatan untuk mendengar dan mendampingi masyarakat dalam menyusun perencanaan yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan konflik," ujar dia.
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020