Presiden Jokowi: UU baru KPK tidak melemahkan

17 Januari 2020 18:35 WIB
Presiden Jokowi: UU baru KPK tidak melemahkan
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno berbicara dalam acara diskusi dengan wartawan di Istana Merdeka Jakarta, Jumat (17/1). (ANTARA FOTO/Desca Lidya Natalia)

Tidak melemahkan, buktinya KPK dapat melakukan OTT, Bupati Sidoarjo dan (komisioner KPU), meskipun komisioner KPK masih baru, dewan pengawasnya masih baru

Presiden Joko Widodo menilai bahwa UU No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK tidak melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Tidak melemahkan, buktinya KPK dapat melakukan OTT, Bupati Sidoarjo dan (komisioner KPU), meskipun komisioner KPK masih baru, dewan pengawasnya masih baru," kata Presiden Joko Widodo dalam acara diskusi bersama wartawan di Istana Merdeka Jakarta, Jumat.

KPK melakukan dua operasi tangkap tangan (OTT) pada satu pekan yaitu pada Selasa (7/1) KPK melakukan OTT terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan pada Rabu (8/1) OTT dilakukan kepada komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Baca juga: Wapres Ma'ruf nilai UU KPK tidak lemahkan penindakan korupsi

"Dewan pengawasnya masih baru, saya kira memang di KPK masih banyak aturan-aturan yang harus dibuat dan diperbaharui dan saya tidak mau berkomentar banyak, nanti dianggap melakukan intervensi," ungkap Presiden.

Terkait OTT terhadap Wahyu Setiawan yang juga menetapkan politikus PDIP Harun Masiku sebagai tersangka, PDIP lalu membentuk tim hukum karena menduga oknum KPK elah menyalahgunakan wewenang dan melakukan tindakan melawan hukum yang merugikan partai berlambang banteng moncong putih itu.

Salah satu anggota tim hukum tersebut adalah Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, tapi Presiden Jokowi enggan berkomentar mengenai keberadaan Yasonna di tim tersebut.

"Tanyakan ke Pak Yasonna Laoly karena Pak Yasonna juga pengurus partai," ucap Presiden.

Baca juga: Menkumham tegaskan tidak intervensi kasus suap KPU

Menurut salah satu anggota Tim Hukum PDIP, Maqdir Ismail, banyak kejanggalan yang dilakukan oknum penyidik KPK yang melakukan tindakan di luar dari prosedur hukum seperti surat perintah penyelidikan (sprilindik) KPK dalam kasus dugaan suap itu diteken pada 20 Desember 2019.

Dalam perkara tersebut, KPK menetapkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebagai tersangka karena diduga menerima suap Rp600 juta dari kader PDIP Harun Masiku agar menetapkan Harun menjadi anggota DPR daerah pemilihan Sumatera Selatan I agar menggantikan caleg DPR terpilih Fraksi PDIP dari dapil Sumsel I yaitu Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.

Untuk memenuhi permintaan Harus tersebut, Wahyu meminta dana operasional sebesar Rp900 juta. Namun dari jumlah tersebut, Wahyu hanya menerima Rp600 juta yang diterima dalam dua tahap.

Pertama pada pertengahan Desember 2019. Saat itu, Wahyu menerima uang dari orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fridelina, sebesar Rp200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Uang ini didapat Agustiani dari Saeful Bachri yang merupakan staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

Baca juga: Konsultasi ke Dewan Pers, PDIP sebut tidak sedang ancam kebebasan pers

Wahyu diduga kembali menerima suap sebesar Rp400 juta pada akhir Desember 2019. Uang tersebut masih ada di tangan Agustiani. Agustiani yang sebelumnya menerima uang dari Saeful, sementara Saeful diduga menerima uang itu dari Harun.

Dalam proses OTT tersebut, tim KPK juga sempat bergerak hingga ke PTIK (Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian) karena menduga Harun ada di lokasi tersebut. Saat itu, tim penyelidik KPK hendak shalat di Masjid PTIK, namun dilakukan strelisasi di lokasi, namun tiba-tiba tim dicegah petugas kepolisian yang berjaga di PTIK dan tim penyelidik KPK pun diperiksa dengan ditanyakan identitas hingga dites urin.

Insiden lain adalah tim penyelidik KPK batal untuk memasang KPK line di sekretariat DPP PDIP karena lamanya meminta izin dari pihak keamanan sekretariat. Hingga saat ini KPK pun belum melakukan penggeledahan di sekretariat DPP PDIP.

Baca juga: Polisi siap gandeng Interpol cari Harun Masiku

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020