Sepertinya, dokumen di ingatan kades baru itu menyeruak tentang betapa usaha dan perjuangan tanpa lelah mereka berperan penting dalam mengantarkan dirinya menjadi orang nomor satu di desa tak jauh dari Kota Magelang tersebut.
Dari kejauhan, senyap terasa menyergap massa, ketika sang kades dari atas panggung tasyakuran kemenangan pilkades, yang wujudnya pengajian dan pementasan wayang kontemporer di depan rumahnya di Kampung Jurang, Desa Bandongan itu, mengungkapkan terima kasih atas perjuangan bersama untuk menang pilkades, beberapa waktu lalu.
Buku tipis 13 halaman tentang visi, misi, dan program kerjanya yang beredar selama masa kampanye pencalonan, menjadi rujukan dan dipegang erat-erat Kades Sujono yang pensiunan tentara itu, untuk dilaksanakan selama periode kepemimpinannya, 2020-2026.
Ia ungkapkan tekad dan komitmen untuk melaksanakan berbagai program pembangunan dan pemerintahan desa guna membawa kemajuan seluruh masyarakat setempat, baik yang tidak mendukung maupun mendukungnya selama pesta demokrasi tingkat desa setempat.
Dialog yang membetot ger-geran hadirin di tasyakuran, dihadirkan dari tokoh Mbilung dan Gareng, dalam pentas wayang dengan dalang Sih Agung Prasetyo dari Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang itu.
Perbincangan mereka selain memperkuat pengaduk-adukan ingatan Sujono tentang upayanya menang pilkades, juga mencairkan suasana massa menjadi terasa asyik.
Dalang Sih Agung menyuguhkan lakon wayang "Wahyu LA" pada acara yang selain dihadiri massa juga pemuka masyarakat dan jajaran musyawarah pimpinan kecamatan setempat. Dalang menyebut singkatan LA sebagai Lurah Anyar.
Keduanya, Mbilung-Gareng, diceritakan sebagai tim sukses masing-masing calon kades yang sedang bertemu. Mereka bercakap-cakap secara terbuka tentang calon kades masing-masing, antara lain menyangkut sosok jagonya, visi, misi, program kerja, termasuk jatah akomodasi untuk penggalangan massa, dan praktik politik uang dalam pilkades.
"'Mbuh, ra ngerti kadese entek piro' (Entah, habis berapa banyak uang dikeluarkan kades)," demikian celetukan sang dalang di sela mendialogkan kedua wayang itu. Penonton pertunjukan pun tertawa lepas merespons pernyataan dalang itu.
Baik pidato haru Kades Sujono maupun cerita wayang "Wahyu LA", sepertinya mengajak publik setempat menarik mundur kepada ingatan soal proses yang dijalani selama pilkades.
Orientasi keduanya sama-sama menjadi titik awal kepemimpinan pemerintahan desa setempat itu melangkah, mewujudkan kemajuan desa.
Langkah orientasi selalu menjadi kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik untuk memulai ihwal yang baru maupun menyelesaikan suatu masalah kekinian.
Dalam menghadapi penguatan politik identitas beberapa waktu lalu, secara masif pula para elite, nasionalis, dan tokoh bangsa, termasuk Presiden Joko Widodo, mewujudkan bangunan orientasi untuk penguatan kembali semangat keindonesiaan.
Politik identitas yang sempat menguat kala itu, tentu saja dibangun tidak secara instan. Boleh diduga ada siasat dirancang, siraman pengaruh secara perlahan-lahan dikerjakan, dan penanaman identitas pemikiran sempit terus menerus dilakukan, sehingga politik identitas yang mengancam perpecahan bangsa sempat mengemuka dan bahkan nampak jelas, sebagaimana dalam Pilkada DKI Jakarta, beberapa tahun lalu.
Ketangkasan berbangsa membawa kesadaran bahwa politik identitas berseberangan dengan tujuan luhur pendiri bangsa mewujudkan Indonesia sebagai bangsa dan negara. Arus balik dari politik identitas bergulir untuk mengembalikan kepada jati diri bangsa kepada keindonesiaan.
Narasinya, antara lain berupa penegasan atas Negara Kesatuan Republik Indonesia, falsafah Pancasila, kebhinekaan, dan pentingnya pendidikan karakter bagi anak-anak agar menjadi sumber daya manusia yang unggul serta menghormati keberagaman.
Seruang mereka yang lantang tentang orientasi keindonesiaan dengan merujuk kecerdasan dan kearifan para pendiri bangsa itu, untuk mewujudkan kemajuan masa depan bangsa dan negara. Persatuan dan kesatuan terjadi karena penghargaan tinggi terhadap nilai-nilai keberagaman dan kemanusiaan.
Berbeda dengan orientasi terhadap Kerajaan Majapahit (1293-1500) dengan kejayaannya, yang dibangun kembali narasinya oleh sejumlah pelaku terkait dengan Keraton Agung Sejagat.
Mereka menggalang pengikut hingga kehadirannya menghebohkan publik setelah viral, melalui rangkaian acara "Wilujengan dan Kirab Budaya" di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jateng, selama 10-12 Januari 2020.
Oleh karena kegiatan mereka meresahkan warga, adanya hal-hal yang tidak nalar bagi publik, dan indikasi modus penipuan, kisah orientasi keraton itu pun gugur. Para pelaku utama kini berhadapan dengan jeratan hukum.
Hal demikian itu, kemungkinan malah bisa menjadi inspirasi menarik jika dituangkan menjadi karya sastra atau kisah imajinatif lain yang mengaduk-aduk cara bernalar yang kuat sehingga melahirkan kecerdasan berpikir dan kearifan bersikap.
Budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut yang beristri asal Jepang, Mami Kato, senyum-senyum ketika membaca halaman 87-94 novel karya Bre Redana, "Mahapahit Milenial" (2019). Tokoh utama novel itu, bernama Karebre, yang kemudian dikenal dalam legenda Joko Tingkir, dan lalu menjadi Sultan Pajang Hadiwijaya.
Dalam cerita rakyat lainnya, menyangkut perseteruan Hadiwijaya dengan Adipati Jipang Arya Penangsang, melahirkan tarian tradisional "Soreng" di masyarakat kawasan Gunung Merbabu hingga saat ini.
Baca juga: Polres akan klarifikasi munculnya Keraton Agung Sejagat di Purworejo
Bagian dari novel "Majapahit Milenial" itu, berupa bangunan cerita berorientasi kepada sosok Ki Sela dengan istrinya, Giarmi. Orang-orang memanggil istri dalang itu dengan sebutan Nyi Mami. Mereka pindah tinggal dari Mungkid ke kawasan Gunung Merapi.
Saat ini, di kawasan antara Gunung Merapi dan Merbabu terdapat wilayah bernama Kecamatan Sela, Kabupaten Boyolali, sedangkan budayawan Sutanto dan Mami Kato bertempat tinggal di Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang. Tanto dan Bre Redana bersahabat sejak lama.
Baca juga: Raja dan Permaisuri Keraton Agung Sejagat ditahan polisi
Orientasi penulis tentang Ki Sela dalam novel, nampak dikemas dalam persahabatannya dengan sang budayawan, sedangkan pencantuman sebutan istri budayawan untuk panggilan sehari-hari Giarmi dalam karya itu, membuat alur narasi menjadi "sesuatu".
Tanto Mendut pun manggut-manggut.
Baca juga: Polda Jateng temukan cabang Keraton Agung Sejagat di Klaten
Orientasi berpikir untuk mencapai titik temu. Kalau belum bertemu, gali terus! Bukan malah berpikiran menyimpang.
Para pendiri bangsa sudah membuktikan orientasi keindonesiaan itu.
Baca juga: 18 saksi diperiksa dalam kasus Keraton Agung Sejagat di Purworejo
Baca juga: Lima Gunung dalam dongeng versus Keraton Agung Sejagat
Pewarta: M. Hari Atmoko
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020