Mengambil latar cerita Perang Dunia I, film berfokus pada dua tentara muda Inggris - William Schofield (George MacKay) dan Tom Blake (Charles Chapman), yang ditugaskan untuk menyampaikan sebuah pesan kepada pos tentara Inggris lainnya yang akan menyerang Jerman.
Pesan tersebut memperingatkan penyergapan selama pertempuran, segera setelah Jerman mundur ke Garis Hindenburg selama Operasi Alberich pada tahun 1917.
Baca juga: Menang di Golden Globes, pre-order tiket bioskop "1917" melejit
Bermodalkan rasa takut dan kegigihan hati sebagai seorang tentara, Tom Blake dan Schofield berangkat memenuhi tugasnya - yang rupanya juga untuk mencegah 1600 tentara gugur dalam perang - termasuk kakak dari Tom.
Perjalanan kedua prajurit ini dikemas dengan pengambilan gambar yang seakan diambil dengan teknik one-shot - dimana adegan demi adegan terus bersambung tanpa adanya pemotongan gambar (cut).
Penggunaan teknik ini bisa dibilang merupakan pencapaian teknis yang impresif, karena selain menghasilkan visual yang cantik dan memanjakan mata, penonton seakan bisa merasakan pengalaman penuh dari film berdurasi hampir dua jam ini.
Kisah yang berfokus di dua karakter, seakan bertambah menjadi tiga bersama dengan keikutsertaan penonton. Sama seperti Schofield dan Blake, audiens pun tak bisa beristirahat ketika menonton "1917".
Bahkan, ketika kedua karakter itu "beristirahat" dari perjalanan mereka, penonton akan menjadi "mata" bagi sang prajurit - dengan pengalaman menegangkan di tengah medan perang.
Bicara mengenai visual, tentu Mendes tidak bekerja sendirian. Ada sosok Dennis Gassner sebagai desainer produksi yang mampu menampilkan detail-detail secara teliti dan mendukung gambar yang disajikan.
Desain produksi yang apik itu kemudian ditunjang dengan tangan dingin dari sineas ulung Roger Deakins - Sinematografer Terbaik Academy Awards 2018 untuk film "Blade Runner 2049" (2017).
Deakins mampu membuat kamera menjadi mata penonton - yang bergeser dari permukaan tanah hingga ke level "pandangan mata Tuhan" (God's eye level shot), yang memperlihatkan gambar dan menawarkan pengalaman sinematik secara penuh.
Selain membuat perasaan dekat dengan kejadian, variasi teknik yang dituangkan Deakins bersama Mendes juga mampu menggambarkan berbagai sisi emosional dan psikologis para karakter kepada penonton.
Mulai dari rasa gelisah, ketakutan, hingga kejutan-kejutan kecil seperti saat para prajurit mengendap-endap atau bahkan terjatuh. Adegan demi adegan dijahit dengan rapi dan intens.
Selain memiliki visual yang diambil dengan cantik, ketegangan aksi heroik para tentara Inggris di film "1917" juga didukung dengan seni penyuaraan dan music scoring yang tak kalah epik.
Ada sosok Thomas Newman sebagai komposer yang bertanggung jawab di scoring film ini. Newman dikenal melalui film Mendes lainnya "American Beauty" (1999), "Wall-E" (2008), hingga "Passengers" (2016) - yang semuanya menjadikannya sebagai nomine Academy Awards di kategori Scoring Terbaik.
Komposer "Shawshank Redemption" (1994) ini kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam menggubah musik dan sukses melengkapi ketegangan kisah perjalanan Schofield dan Blake.
Meski memiliki premis yang sederhana, film didukung dengan cerita, penokohan, hingga tahapan produksi yang matang. Ketiga hal tersebut membawa "1917" meraih sejumlah nominasi di Academy Awards 2020 termasuk Film, Sutradara, Naskah Original, hingga Penyuaraan Terbaik.
Film Terbaik di ajang Golden Globes 2020 yang juga turut dibintangi Benedict Cumberbatch ini akan tayang di bioskop Indonesia mulai Rabu (22/1).
Baca juga: Kalahkan "Joker" dan "Parasite", "1917" jadi film terbaik PGA Awards
Baca juga: Film "1917" melejit di box office setelah menang Golden Globes
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2020