Pengiriman kendaraan utuh (Complete Built Up/CBU) Toyota mencatatkan capaian tertinggi selama lima tahun terakhir yaitu sebesar 208.500 unit, naik tipis dibandingkan volume ekspor tahun 2018 sebesar 206.500 unit.
"Mempertahankan serta meningkatkan performa ekspor merupakan hal yang tidak mudah karena menyangkut banyak faktor seperti daya saing baik daya saing produk, infrastruktur pendukung hingga regulasi," kata Warih Andang Tjahjono, Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) dalam keterangan pers, Senin.
Baca juga: Ekspor Toyota Indonesia turun di tengah tekanan ekonomi global
"Karenanya kami berterima kasih atas dukungan dari semua pihak terutama pemerintah Indonesia yang selalu melakukan evaluasi terhadap sektor-sektor yang memengaruhi kegiatan ekspor nasional,” ujar Warih.
Performa ekspor disokong model Sport Utility Vehicle (SUV) Fortuner dan Rush masing-masing sebesar 45.300 unit dan 50.300 unit. Model sedan Vios turut mendukung capaian positif ekspor CBU bermerek Toyota dengan volume 31.000 unit.
Dari segmen Multi-Purpose Vehicle (MPV), model-model andalan seperti Kijang Innova dan Avanza berhasil dikapalkan ke mancanegara dengan volume masing-masing 5.300 unit dan 28.900 unit.
Adapun model Low Cost Green Car (LCGC) Agya juga ambil bagian dalam capaian ekspor tahun 2019 dengan volume 27.800 unit. Sedangkan model Yaris, Sienta, dan Town Ace/Lite Ace melengkapi kinerja ekspor CBU bermerek Toyota dengan total volume sebesar 19.900 unit.
Ekpsor CKD
Selain mengekspor kendaraan utuh, Toyota juga mengirimkan kendaraan terurai (Complete Knock Down/CKD) sebanyak 45.400 unit, mesin bensin dan etanol dengan tipe TR dan NR dengan total 123.600 unit serta komponen kendaraan dengan volume 94,2 juta unit.
Produk ekspor Toyota telah merambah lebih dari 80 negara tujuan di kawasan Asia-Pasifik, Timur Tengah, Amerika Latin, Afrika dan Karibia.
Krisis global dirasakan sangat signifikan memperlambat laju pertumbuhan ekspor produk Toyota dari Indonesia. Belum lagi ditambah adanya hambatan dengan skema non-tarif di beberapa negara tujuan ekspor yang turut memperburuk performa pengiriman produk otomotif dari dalam negeri.
Tantangan ekspor otomotif ke depan adalah menurunnya konsumsi produk otomotif imbas dari melemahnya kondisi perekonomian di negara maju, sehingga mencari negara-negara tujuan baru merupakan hal penting untuk mempertahankan performa ekspor.
"Adanya tambahan negara tujuan baru di kawasan Amerika Tengah, Mekong dan Afrika cukup membantu dalam mengompensasi penurunan volume di beberapa negara terdampak krisis dan negara yang menerapkan hambatan non-tarif," imbuh Warih.
Direktur Administrasi, Korporasi dan Hubungan Eksternal TMMIN, Bob Azam menyatakan bahwa ke depan, selain karena dampak krisis global, disrupsi digital juga menjadi tantangan sekaligus peluang tersendiri bagi industri otomotif.
Untuk menghadapi hal tersebut, pihak korporasi tengah menyiapkan upaya, salah satunya dengan meningkatkan efisiensi melalui penerapan teknologi dengan tetap menjadikan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai “center of transformation”.
“Selain menjaga konsistensi performa ekspor maupun operasi yang telah eksis, saat ini kami tengah mempersiapkan diri agar transformasi menuju era elektrifikasi dan mobilitas dapat berjalan dengan mulus," pungkas Bob Azam.
Baca juga: Ekspor Toyota Indonesia tetap tumbuh meski ekonomi dunia melambat
Baca juga: Ekspor mobil bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi global
Baca juga: DFSK Indonesia akan ekspor 3.000 mobil ke Filipina
Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2020