Pemohon, Penetina Cani Cesya Kogoya, menilai praktik pengangkatan anggota DPRP Papua dan Papua Barat oleh pemerintah daerah merupakan tindakan penyimpangan terhadap demokrasi yang dianut di Indonesia serta berpotensi konflik.
Baca juga: Presiden Setuju UU Otsus Papua Dievaluasi
"Sebagaimana telah diakui oleh gubernur Papua dalam beberapa kali pernyataannya menyatakan bahwa sistem pengangkatan ini pada periode lalu potensi menimbulkan konflik," tutur kuasa hukum pemohon, Habel Rumbiak, dalam sidang pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin.
Selain itu, pemohon yang merupakan warga Papua merasa dirugikan dengan pasal tersebut lantaran mekanisme pengangkatan anggota DPRP yang ditunjuk pemerintah daerah itu menutup ruang pemohon untuk menjadi anggota DPRP.
Padahal pemohon merasa mempunyai kedudukan yang sama sebagai warga Papua dan berdomisili di Papua untuk dapat dipilih dan memilih anggota DPRP. Pemohon menyebut semestinya anggota DPRP dipilih melalui pemilu.
Baca juga: Presiden bersilaturahim dengan pimpinan Papua
"Menurut pemohon harus dinyatakan inkonstitusional atau tidak konstitusional sehingga dengan demikian kerugian pemohon dapat dipulihkan," tutur Habel Rumbiak.
Menanggapi permohonan itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta agar pemohon menelusuri permohonan sebelumnya yang berkaitan dengan UU Otsus Papua, khususnya yang sehubungan dengan keanggotaan anggota dewan yang merepresentasikan masyarakat adat.
Suhartoyo mengatakan Mahkamah Konstitusi sudah mempunyai pendirian soal anggota DPRD yang diangkat bertambah 11 dari yang sebelumnya 45 untuk ruang masyarakat adat.
"Dalam permohonan dulu itu justru MK sepertinya mengamini bahwa 11 yang diangkat ini oleh MK dinyatakan tidak ada persoalan, hanya memang diatur dalam Perdasus, bukan peraturan perundang-undangan secara general, begitu," tutur dia.
Baca juga: Pemerintah diminta realisasikan 14 kursi Orang Asli Papua
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020