“Ini berbahaya untuk kepercayaan investor karena seolah-olah kita ini terhadap kelembagaan negara itu tidak ada kepercayaan jangka panjang,” katanya di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, jika kinerja OJK dinilai belum optimal dalam melakukan pengawasan terhadap suatu lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan maka seharusnya sistem pengawasannya yang diperkuat dan diperbaiki.
“Kalau ada masalah jangan dapurnya yang dibakar tapi bagaimana memperbaiki sistem yang menjadi masukan dari masyarakat. Misalnya yang non bank banyak masalah jadi diperbaiki dari OJK sistem pengawasannya,” jelasnya.
Tak hanya itu, Aviliani mengatakan bahwa saat ini pihak OJK telah berusaha untuk membuat suatu sistem pengawasan terhadap sektor non perbankan agar dapat sama ketatnya dengan perbankan.
“Menurut saya saat ini OJK itu sudah mulai memikirkan bagaimana memperketat sektor yang non keuangan supaya dia bisa seketat sektor perbankan,” katanya.
Aviliani menjelaskan ke depannya OJK perlu membuat sistem serta aturan yang lebih baik dan jelas termasuk terkait diperbolehkan atau tidaknya sebuah perusahaan asuransi untuk mengelola investasi.
“Artinya terdapat lembaga rangkap yang boleh mengeluarkan produk. Jadi harus dipikirkan kembali biar asuransi fokus kepada asuransi yang ada misalnya kesehatan dan jiwa serta bagaimana penempatan dananya,” katanya.
Hal tersebut harus dilakukan mengingat kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang mengelola dana nasabah dari premi asuransi sekaligus mengelola produk investasi bancassurance dengan program Jiwasraya Saving Plan.
“Jiwasraya Saving Plan itu kan model bancassurance sementara dia asuransi jadi dia mengelola dua jarinya. Mengelola investasi dari sisi premi dan dari sisi orang berinvestasi,” ujarnya.
Ia menuturkan model bisnis yang dijalankan oleh Jiwasraya tersebut mengikuti skema ponzi yang akibatnya justru akan merugikan perusahaan itu sendiri.
"Produk saving plan itu menggunakan skema ponzi dan ketika jatuh tempo diambil dari sini (investasi). Ketika berhenti (preminya) enggak bisa bayar jadi itu berarti skemanya enggak betul,” katanya.
Senada dengan Aviliani, Wakil Direktur Eksekutif Indef Eko Listiyanto juga menyatakan wacana DPR untuk membubarkan OJK sangat tidak tepat karena yang harus dilakukan adalah pembenahan terhadap sistem pengawasannya.
“Itu sangat tidak relevan karena sebetulnya ini kan pembenahan pengawasan yang harus dilakukan. Jadi kalau ada tikus di lumbung padi ya jangan padinya yang dibakar tapi tikusnya saja yang dicari,” katanya.
Menurut Eko, jika OJK dibubarkan maka justru berpotensi semakin memperburuk kualitas lembaga keuangan non perbankan sebab dahulu pembentukan OJK didasari agar antara pengawasan dan pengatur kebijakan moneter dibedakan instansinya.
“Bank Indonesia dalam konteks kan mengatur kebijakan moneter semuanya jadi yang mengawasi harus beda jadi menurut saya lebih kacau lagi kalau dibubarkan (OJK),” ujarnya.
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020