Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfriman mengatakan bahwa alokasi pembiayaan proyek infrastruktur melalui Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara untuk 2020 mencapai Rp27,35 triliun.skema pembiayaan proyek infrastruktur melalui SBSN merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendorong percepatan pembangunan di tengah keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Luky mengatakan skema pembiayaan proyek infrastruktur melalui SBSN merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendorong percepatan pembangunan di tengah keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“SBSN proyek salah satu alternatif pembiayaan dalam APBN, jadi salah satu fiturnya misalnya pembiayaan itu sudah ada underlying-nya yang dikaitkan dengan proyek,” katanya di Auditorium DJPPR, Jakarta, Kamis.
Meskipun nilai alokasi pembiayaan untuk 2020 lebih rendah dibandingkan 2019 yang mencapai Rp28,34 triliun, namun jumlah kementerian atau lembaga yang menerima pembiayaan tersebut meningkat dari tujuh menjadi delapan K/L.
“Kalau tahun lalu bicara tujuh K/L saat ini 2020 delapan K/L karena tambahan satu K/L. Tahun lalu 619 proyek dan tahun ini mencapai 728 proyek dibiayai SBSN,” ujarnya.
Baca juga: Penerbitan Sukuk Negara hingga Januari 2020 capai Rp1.230,44 triliun
Ia menyebutkan alokasi pembiayaan untuk 2020 mencapai Rp27,35 triliun yang meliputi 17 unit eselon I di delapan K/L untuk 728 proyek yang tersebar di 34 provinsi.
Alokasi pembiayaan proyek melalui SBSN pada 2019 sebesar Rp28,34 triliun meliputi 16 unit eselon I di tujuh K/L untuk 619 proyek yang tersebar di 34 provinsi.
“Paling banyak (untuk 2019) tetap Kementerian PUPR, Kemenhub, Kementerian Agama, dan sekarang mulai Kemenristek Dikti. Kalau yang baru untuk 2020 adalah LAPAN,” katanya.
Luky melanjutkan, untuk penyerapan SBSN proyek pada 2019 sudah mencapai 90,5 persen per Desember namun K/L dapat melakukan perpanjangan pelaksanaan pekerjaan selama 90 hari kalander pada tahun berikutnya
“Mereka diberi waktu tambahan sampai Maret sehingga penyerapan bisa mencapai di atas 95 persen,”katanya.
Ia menegaskan yang terpenting bukan nilai besaran total pengalokasian SBSN untuk proyek infrastruktur, melainkan kualitas dan pencapaian dari proyek itu sendiri.
“Karena yang berbeda begitu tentang SBSN proyek, ada investor yang membeli surat berharga negara kita tapi yang berbasis syariah, ada akadnya. Jadi ada pertanggungjawaban yang memang dituntut lebih,” katanya.
Baca juga: Kemenkeu pantau potensi dampak penyebaran virus korona
Luky mengatakan pihaknya juga berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk melakukan perencanaan alokasi tersebut sedangkan DJPPR bertugas dalam penyelenggaraannya.
“Kami selalu rutin, kembali lagi di alternatif skema pembiayaan misal K/L bisa tetap mendapat alokasi APBN regular. Kami kan ada usulan jadi kami routinize dan review hingga dapat angka Rp27,35 triliun pada 2020,” jelasnya.
Ia merinci 728 proyek pada 2020 meliputi Kementerian PUPR dengan 171 proyek infrastruktur jalan serta jembatan dan 66 proyek sumber daya air seperti irigasi, embung, bendungan, danau, air baki, drainase, dan sebagainya.
Kemudian Kementerian Perhubungan dengan 19 proyek infrastruktur transportasi perkertaapian, tiga terminal, empat pelabuhan, dan empat bandara.
Selanjutnya untuk Kementerian Agama dengan 40 proyek asrama haji dan Pusat Layanan Haji Terpadu, 228 proyek balai nikah dan manasik haji (KUA), delapan proyek gedung dan fasilitas PTKI, dan 136 madrasah.
Kemendikbud dengan 24 proyek gedung dan fasilitas perguruan tinggi, Lipi dengan empat proyek sarana pengembangan Iptek dan laboratorium riset.
Berikutnya KLHK dengan enam proyek taman nasional dua laboratorium dan satu SMK kehutanan, LAPAN satu proyek laboratorium, dan BSN dengan satu proyek laboratorium.
Baca juga: PUPR: Pembiayaan infrastruktur kerakyatan di perkotaan lewat KPBU
Sementara itu, Direktur Pembiayaan Syariah DJPPR Dwi Irianti Hadiningdyah menyatakan penurunan alokasi pembiayaan SBSN 2020 karena melihat hasil evaluasi untuk 2019.
Dwi menjelaskan melalui evaluasi tersebut maka akan diterapkan pemberian penghargaan maupun sanksi bagi K/L penerima pembiayaan dengan melihat dari capaian penyelesaian proyek sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
Sanksi itu berupa moratorium yaitu K/L yang tidak dapat menyelesaikan proyeknya sesuai dengan target waktu yang telah ditetapkan maka tidak akan diberi proyek lagi sampai setahun berikutnya.
“Contohnya 2019 kita bisa melihat proyek mana yang mangkrak. Nah nanti di sini dia enggak bisa 2020 langsung kena penalti karena tahunya baru di akhir 2019 jadi 2021 dia baru dikenakan. Begitu juga yang kena di 2020 ini berarti proyek mangkraknya di 2018,” jelasnya.
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020